Perempuan itu muncul di pintu kedatangan. Kulihat punggungnya menggendong ransel Rip Curl warna hitam---aku tahu dari logo di bagian talinya---dan di tangannya tergenggam sebuah ponsel. Ia akan berada di kota ini selama dua hari. Lima puluh jam yang akan kujalani, kunikmati, kumasukkan ke dalam memori, dan tidak akan pernah kuhapus.
Begitu melihatku, Bunga langsung berlari. Lenganku membentang, kuterima tubuhnya dengan segera. Aku tidak peduli orang-orang memberi tatapan aneh atau bahkan celetukan bernada sumbang. Aku tidak peduli. Aku hanya ingin mendekap Bunga, menghilangkan masa dua tahun yang luar biasa perih dan tak tertahankan.
"Ehm, Bunga?"
"Ya?"
"Mau sampai kapan kita pelukan di sini?"
Bunga tertawa. Ia lalu melepaskan diri dari pelukanku. "Ayo makan. Aku lapar. Porsi makanan di kereta hanya sanggup memuaskan satu atau dua cacing. Sementara kamu tahu, kan, Nug, aku memelihara satu batalion cacing," celotehnya, seperti biasa, sanggup membuat kepenatanku seolah-olah sirna dalam sekejap. Suara Bunga agak berbeda dengan yang biasa kudengar lewat telepon. Mendengarnya langsung terasa begitu melegakan, begitu menyenangkan.
Pukul delapan malam, aku dan Bunga sudah duduk di balkon apartemen yang kusewa selama tiga hari. Aku datang lebih dulu kemarin, dari Bandung, sementara Bunga baru bisa sampai kota ini tadi sore. Kata Bunga sewaktu kami merencanakan pertemuan ini, "Aku tidak mau di hotel, Nug. Carikan tempat lain, yang sekiranya kamu pikir aku akan nyaman menempatinya selama dua hari."
Ah, Bunga, bukankah tempat ternyaman untukmu adalah hatiku? Kamu sendiri yang mengatakannya tepat satu bulan kita menjalin temali kisah.
Aku mendapat apa yang Bunga inginkan untuk kami menghabiskan waktu. Sebuah apartemen di pinggiran kota dengan pemandangan malam hari yang luar biasa menawan. Kami menikmati gemerlap lampu kota, menyesap teh, mendengar kisah masing-masing. Aku dengan perjalanan menggambarku, Bunga dengan segala rangkaian diksinya. Lalu, ketika semua kisah terasa nyaris habis dituturkan, kuberanikan diri menyentuh wajahnya.
***
Tangan Nug kini berada di wajahku. Rasanya hangat, dengan aroma frangipani yang berasal dari sabun tangan di wastafel. Rasanya hangat, dengan buku-buku sedikit kasar karena terlalu banyak memeluk pensil. Rasanya hangat, dengan ritme belaian yang mulai aku ingat dan aku sukai. Oh, aku tidak tahu ternyata aku begitu mengharapkan tubuhnya hadir secara nyata di hadapanku. Aku masih tidak percaya, aku benar-benar bisa menyentuh raganya malam ini. Masih terasa seperti mimpi, terasa seperti jauh dari jangkauanku. Sungguh, dua tahun yang luar biasa menyakitkan.