"Heh! Gue nggak ngerusak diri sendiri!"
"Terus, apa namanya kalo gitu? Elu nggak pernah kayak gini sebelumnya Rhein. Dalam beberapa bulan aja elu berubah jadi zombie sok cuek. Padahal, elu nyaris menyalip Sofia. Otak lu jauh lebih keren daripada Sofia. Sekarang, elu malah kelihatan payah di mata gue. Well, mungkin di mata yang lain, elu tetep keren. Tapi, di mata gue, elu payah!"
Aku nyaris saja tersedak liurku sendiri. Napasku terasa panas. Ingin rasanya menyangkal kalimat itu, bahwa aku tidak suka dibanding-bandingkan dengan Sofia, tetapi semua kata-kata itu tersangkut di kerongkongan. Dan, kenapa akhir-akhir ini Mario ataupun Damar senang membanding-bandingkan aku dengan Sofia? Apa tidak ada siswi lain yang bisa jadi pembandingku? Ingin sekali rasanya dibanding-bandingkan dengan Raisa yang menang Olimpiade Matematika. Atau, dengan Kirana yang berhasil ke luar negeri gratis karena kemampuan menarinya. Bukan dibanding-bandingkan dengan Barbie hidup yang wajahnya mirip boneka Jepang. Itu mengerikan, meskipun dulu aku memang ingin sekali menjadi seperti Sofia.
"Mending elu pulang aja, Rio." Akhirnya cuma itu yang bisa keluar dari mulutku. Aku kembali memunggungi Mario sambil merapatkan selimutku.
"Mbak Rara telepon gue," kata Mario.
Terus? Aku harus koprol sambil Gangnam Style, gitu?
"Mbak Rara makin khawatir sama kondisi lu, Rhein," katanya lagi. "Apalagi nyokap lu belum bisa ke Jakarta."
Aku berbalik. "Rio..., kenapa, sih, elu nggak mau nyerah aja?"
"Nyerah?"
"Sorry, kalo kemaren-kemaren gue sepertinya ngasih harapan ke elu. Tapi, gue rasa kita nggak bisa kayak dulu lagi."
Aku berusaha bangkit dan duduk di dekat Mario. Ia meraih tanganku, mengusap-usapkan ibu jarinya di punggung tanganku. Sesuatu yang baru kuingat lagi rasanya setelah sekian lama, bahwa gerakan sederhana itu amat menenangkan. Jika saja aku tidak ingat untuk apa aku bicara sekarang, aku akan membiarkan ibu jari Mario tetap di sana.