***
Aku tidak tahu sudah berapa lama aku tidur sejak Mbak Rara keluar dari kamarku, ketika aku membuka mata, di kamarku sudah ada beberapa orang. Dokter Jimmy, seorang dokter yang juga sahabat baik papaku, sedang memeriksa tekanan darahku. Lalu, ekor mataku menangkap sosok tinggi menjulang dengan rambut ikal nyaris pirang. Ya, ampun. Untuk apa ia kemari? Dari mana ia tahu aku sakit? Apa Mbak Rara yang memberi tahu? Ingin rasanya tidak perlu peduli, tetapi tidak bisa.
"Tekanan darahmu rendah, Rhein," kata Dokter Jimmy. "Apa kamu masih sering begadang?"
Tanpa aku menjawab, Dokter Jimmy sudah tahu kebiasaanku akhir-akhir ini. Seminggu setelah pesta ulang tahunku yang ketujuh belas, Dokter Jimmy memberiku obat penenang. Mama khawatir padaku. Sebab, tiga hari aku tidak keluar kamar dan aku menghabiskan seluruh waktu malamku dengan terjaga, menangisi hal yang tidak seharusnya aku tangisi.
"Saya nggak bisa kasih obat apa-apa untuk kamu, Rhein. Mungkin cuma suplemen tambah darah," kata Dokter Jimmy lagi. Dokter Jimmy menghela napas panjang. "Saya sudah senang, Rhein, dua bulan ini nggak ada panggilan dari Rara. Saya pikir kamu sudah mulai berpikiran untuk hidup sehat, meninggalkan habit begadangmu. Tapi, ternyata dugaan saya salah. Kamu masih bandel, Rhein." Dokter Jimmy membereskan peralatannya, lalu mengeluarkan dua strip suplemen penambah darah. "Cuma ini yang bisa saya berikan untuk kamu."
Dokter Jimmy bangkit dari tepi tempat tidurku. Pria tua itu bicara dengan Mbak Rara. Entah apa saja yang mereka bicarakan di dekat pintu kamarku, pastilah membicarakan diriku. Aku memilih merapatkan selimutku memunggungi mereka. Setelah beberapa menit, aku tidak lagi mendengar suara Dokter Jimmy ataupun Mbak Rara, tetapi ada yang kemudian duduk di tepi tempat tidurku. Boleh kutebak, meskipun aku malas mengucap namanya? Ah, sudahlah. Kalau aku tidak segera menanggapi manusia yang satu ini, dia akan bertahan lebih lama di kamarku. Aku sudah hafal.
Aku berbalik dan melihat Mario duduk memandangku.
"What?" Aku tidak ingin terdengar kasar, tetapi aku pun belum bisa bersikap baik kepadanya.
"Denger kata dokter tadi?" Mario malah balik bertanya.
"Terus?"
"Gue pengen tahu. Pas begadang, elu ngapain aja, sih? Nongkrong semaleman di balkon, sambil ngobrol sama bintang kayak orang gila? Atau, lebih milih repot bersihin teleskop dibanding ngerjain soal-soal ujian tahun-tahun kemaren?" Mario diam dan masih memberondongku dengan tatapan menyelidik. "Apa, sih, mau lu, Rhein? Bisa-bisanya elu ngerusak diri sendiri."