Mohon tunggu...
Sekar Mayang
Sekar Mayang Mohon Tunggu... Editor - Editor

Editor. Penulis. Pengulas buku. Hidup di Bali. http://rangkaiankatasekar.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Hati-hati Memakai "Setting" Waktu dalam Naskahmu

16 November 2018   22:24 Diperbarui: 18 November 2018   10:35 1043
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pertemuan sebelumnya kita sudah membahas poin apa saja yang perlu dipercantik dalam naskah, khususnya novel. Kali ini kita akan membahas lebih detail soal pemakaian waktu. Detail yang satu ini erat kaitannya dengan pembentukan konflik dalam kisah yang kalian tulis.

Dalam banyak cerita yang mungkin pernah kalian baca, tentu kalian mendapati tokoh(-tokoh) di sana sedang melakukan perjalanan. Bisa dengan berjalan kaki, bersepeda, menumpang mobil teman, atau dengan angkutan umum. Untuk tiga jenis aktivitas yang saya sebut pertama, tidak masalah jika kalian memakai sembarang waktu, asal memang sesuai dengan kebutuhan.

Misal, menumpang mobil teman setelah menghadiri sebuah undangan pesta yang kebetulan baru selesai lewat tengah malam. Atau, bersepeda menuju tempat kerja selepas subuh sebab jarak tempuhnya sepuluh kilometer. 

Si tokoh memang harus berangkat lebih awal jika tidak ingin terlambat. Itu risiko. Sebab, ia hanya punya sepeda dan tidak punya ongkos untuk naik angkutan umum seperti rekan-rekannya. Atau, si tokoh memilih berjalan kaki ke tempat tujuan karena memang jaraknya dekat, hanya seratus lima puluh meter, dan akan sangat merepotkan jika harus memakai kendaraan bermotor.

Bebas. Sesuai kebutuhan.

Namun, lain perkara jika si tokoh menumpang angkutan umum.

Untuk angkutan kota/desa, kebanyakan memang tidak berjadwal tetap. Rasanya masih aman untuk menulis semau kalian, meskipun rata-rata angkutan tersebut akan ngandang selepas pukul sembilan malam. Nah, kalau si tokoh harus naik kereta api, bus malam antarkota antarprovinsi (AKAP), atau pesawat, maka berhati-hatilah.

Kita bahas kereta dulu, ya.

Kalau kalian sudah biasa naik kereta, tentu paham bagaimana ritme pergerakan kereta. Kalian mungkin bahkan hafal nama-nama kereta, jadwal keberangkatan, juga kedatangannya. Tidak hanya itu, bagaimana suasana perjalanan pun rasanya sudah seperti di luar kepala untuk dituliskan.

Tetapi, bagi yang jarang, apalagi belum pernah naik kereta api, tentu akan menemui kesulitan jika tidak melongok jadwal. Tenang saja. Situs resmi KAI dan banyak agen perjalanan bisa dijadikan rujukan. 

Hanya saja, ya, kalian tetap harus berhati-hati dalam memilih. Sama-sama trayek Jakarta-Surabaya, ada yang lewat Semarang (jalur utara), ada juga yang lewat Yogyakarta (jalur selatan). Stasiun tujuan di Surabaya pun berbeda. Kereta jalur utara berujung di Stasiun Pasar Turi, sedangkan kereta jalur selatan berujung di Stasiun Surabaya Kota (terkenal pula dengan sebutan Stasiun Semut). Kalau sampai tertukar, modyaaarrr kowe dilok-lokno bonek *eh

Lagi, sama-sama trayek Surabaya-Ketapang/Banyuwangi, ada kereta pagi, ada pula kereta malam. Boleh juga dari Ketapang dilanjut naik bus Damri ke Denpasar, supaya bisa ketemu saya *hayyaaahhh

Sekarang bus malam AKAP.

Bus-bus malam rata-rata berangkat sore hari. Paling siang mungkin sekitar pukul dua. Dan, sampai di tempat tujuan pun rata-rata pagi. Tetapi, di tengah perjalanan tentu tidak ada yang bisa menduga. Kesempatan ini bisa kita pakai untuk memunculkan konflik.

Kalau saja si tokoh tidak tertinggal bus malam...

Kalau saja si tokoh tidak terlambat sampai terminal...

Kalau saja si tokoh tidak terlambat memesan taksi daring menuju terminal...

Kalau saja si tokoh tidak menerima telepon dari seseorang yang menyebabkan ia terlambat memesan taksi...

Kalau saja sehari sebelumnya si tokoh bersedia bicara dengan si penelepon...

Banyak yang bisa digali dari hanya adegan ketinggalan bus.

Bisa juga begini:

Si tokoh berharap bus malam tiba tepat waktu di kota tujuan sekitar pukul lima pagi, sehingga ia bisa sarapan nasi rawon dulu, di warung langganan dekat terminal, sebagaimana kebiasaannya jika berkunjung ke kota itu. Tetapi, sesuatu terjadi di tengah perjalanan. 

Misal, macet parah belasan kilometer sehingga bus tiba di kota tujuan ketika matahari sudah berada di puncak kepala, dan si tokoh tidak kebagian nasi rawon. Padahal, nasi rawon itu merupakan pembangkit semangatnya ketika harus bertemu dengan kerabat yang nasibnya kurang beruntung. Tidak ada nasi rawon, tidak ada tambahan semangat, membuatnya memandang segala sesuatu dengan sedikit berbeda.

Misal lagi, bus tersebut mengalami kecelakaan. Tidak parah, tetapi membuat semua penumpang harus dialihkan ke armada lain, sementara bus tersebut harus dibawa ke kantor polisi. Di bus pengganti, ternyata si tokoh bertemu dengan orang baru, lawan jenis, dan mereka terlibat percakapan. Lalu, jreeenggg, di imajinasi kalian terdengar musik latar lagu berjudul Sephia milik Sheila on 7.

Yang perlu diperhatikan juga adalah suasana selama perjalanan dengan bus malam tersebut.

Apakah si tokoh lebih sering terlelap? Kalau tidak, apa yang ia lakukan? Mendengarkan musik? Bermain ponsel? Membaca? Atau sesederhana menatap ke luar jendela bus? Ketika melewati daerah sepi, tentu tatapannya akan berbeda dengan saat bus melewati daerah ramai seperti perkotaan.

Pemandangan apa yang ia nikmati? Alun-alun kota? Deretan pertokoan dan mal? Bagaimana suasana alun-alun kota ketika pukul dua dini hari? Apakah sama dengan suasana pukul delapan malam? Berlaku juga untuk pertokoan dan mal. Bisa jadi si tokoh melihat daerah pertokoan yang ternyata masih ramai meskipun sudah pukul dua pagi.

Dari situ bisa berkembang banyak sekali paragraf bagus yang akan memanjakan pembaca.

Nah, giliran moda pesawat.

Kalian yang pernah naik pesawat tentu paham bahwa moda yang satu ini terjadwal ketat. Maskapai mewajibkan penumpang hadir di bandara paling tidak sembilan puluh menit sebelum waktu keberangkatan. 

Para penumpang harus didata ulang, koper-koper harus diberi nomor dan masuk bagasi, beberapa lansia yang butuh penanganan khusus, ibu hamil yang harus melakukan pemeriksaan, dan banyak lagi poin yang harus dilewati. Semuanya perlu waktu dan tidak bisa diburu-buru.

Selain waktu keberangkatan, perhatikan pula waktu kedatangan, juga durasi transit jika memang diperlukan. Kita tidak bisa seenak jidat. Jika memang pesawat tepat waktu lepas landas dan mendarat pagi hari, jangan ditulis mendarat siang. Kecuali, kalau diceritakan pesawat mengalami keterlambatan lepas landas.

Dari adegan keterlambatan juga bisa dieksplorasi banyak detail untuk si tokoh. Kalau pesawat tepat waktu, bagaimana reaksinya? Kalau pesawat terlambat tiba, apa saja yang berubah pada rutinitasnya? Apakah yang terkena dampak hanya satu tokoh, atau ada tokoh lain? Semua dapat memperkaya konflik sehingga cerita kalian tidak jatuh membosankan.

Sama seperti detail lain, kalian bisa memanfaatkan internet untuk memastikan jadwal moda transportasi yang akan kalian gunakan dalam naskah. Jangan sampai kalian dapat teguran sayang dari editor hanya gara-gara salah memasukkan detail waktu, ya.

Selamat menulis.

Salam lemper, eh, cilok.

Artikel pertama tayang di sini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun