Al mengangguk, tetapi matanya belum lepas memandang gadis yang duduk di samping Dahlan. "Saya Alhatiry Nur Oktavian. Biasa dipanggil Al," katanya sambil menengok sebentar ke arah Dahlan.
"Nak Al sedang apa di sana? Sudah tahu hujan, kok, tidak mau berteduh," ujar Dahlan.
"Saya juga tidak tahu, Pak. Apa tadi itu saya pingsan?"
"Sepertinya begitu. Lama sekali saya berusaha membangunkan Nak Al."
Mata Al kembali ke paras putri Dahlan. Kali ini ia menjelajah paras itu lebih teliti lagi. Cantik, katanya dalam hati. Meski tidak secantik gadis-gadis yang sering ia lihat di mal atau di tempat kerjanya, tetapi Al merasa gadis itu sungguh rupawan. Dan, mata gadis itu, pikir Al, seperti mata yang sudah sangat sering ia lihat.
Seperti mata yang selalu ada untuk diriku.
"Kalau boleh tahu, siapa nama putri Bapak?" Al memberanikan diri untuk bertanya. Ia juga tidak tahu, kenapa tiba-tiba ia perlu menanyakan hal itu. Ia hanya tahu, ia harus melakukannya.
"Dia bukan putri kandungku. Percaya atau tidak, gadis ini saya temukan terbaring nyaman berselimut di dalam sebuah keranjang bayi. Seseorang meletakkan keranjang bayi di amben ini, dua puluh dua tahun yang lalu. Seseorang yang sepertinya bukan dari kalangan bawah karena keranjang bayi itu begitu bagus. Saya tidak tahu siapa yang tega berbuat seperti itu kepada gadis ini," jelas si pria tua itu dengan mata berkaca-kaca. "Walau begitu, saya tetap menganggapnya sebagai putri kandung saya. Di samping keranjang bayi itu, ada satu tas besar berisi pakaian bayi... dan selembar kertas. Tampaknya itu surat dari ibu si bayi. Tapi, tidak bisa juga dibilang surat, sebab isinya sangat pendek, hanya beberapa kalimat saja. Si ibu minta supaya bayi itu dirawat baik-baik. Di kertas itu juga dituliskan nama si bayi."
Dahlan diam dan memperhatikan langit-langit teras rumahnya. Matanya masih berkaca-kaca, walau tak menumpahkan apa-apa di sudutnya.
"Dan, namanya?" tanya Al.
"Kalina Mayasari," jawab Dahlan. "Panggilannya... Maya."