Mohon tunggu...
Sekar Mayang
Sekar Mayang Mohon Tunggu... Editor - Editor

Editor. Penulis. Pengulas buku. Hidup di Bali. http://rangkaiankatasekar.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Memilih (Episode 2)

12 November 2018   22:53 Diperbarui: 12 November 2018   23:50 603
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Maya, lebih baik kamu kembali ke lajur kiri," ucap Al, lebih mirip perintah. "Bahaya, Maya. Kamu tidak tahu apa yang akan muncul di balik tanjakan itu."

"Tenang saja, Sayang," sahut Maya dengan santai.

Kecepatan mobil sudah lebih dari tiga puluh kilometer per jam dan masih terus bertambah. Lalu, dari balik tanjakan, muncul kendaraan besar berkecepatan tinggi. Truk itu tidak bisa mengurangi kecepatannya karena sedang dalam posisi menurun. Maya kaget dan langsung membanting kemudi ke kanan.

Hal terakhir yang Al ingat adalah pohon perindang besar yang seolah-olah menghampirinya dengan kecepatan cahaya.

***

Al menatap tubuh kaku kekasihnya. Rahang Al terkatup rapat, ia tak sanggup berkata-kata. Dua orang perawat sedang melepas seluruh alat penunjang kehidupan yang menancap di beberapa bagian tubuh Maya. Jarum-jarum itu sudah dua bulan menjajah kulit halus Maya. Seorang dokter wanita berdiri di samping Al. Berkali-kali sang dokter itu mengatakan sesuatu pada Al, tetapi Al tidak mendengarkan. Al tahu, dokter itu sedang mencoba menghibur Al dan itu sungguh sudah tidak ada gunanya lagi menurut Al. Toh perkataan sang dokter tidak dapat mengembalikan napas Maya, perempuan yang teramat Al cintai.

Perawat-perawat itu masih sibuk dengan tubuh Maya. Sejujurnya, Al tidak kuat melihat pemandangan itu, tetapi ia tidak bisa menangis. Tidak! Entah mengapa. Mungkin liang-liang di kedua matanya telanjur menderita kekeringan, karena selama dua bulan ini terus-menerus mengeluarkan isinya. Atau, mungkin Al sudah lupa caranya menangis. Namun, hatinya tetap menangis. Menangisi kepergian Maya yang begitu cepat.

Al menghempaskan diri ke sofa di kamar rawat Maya. Tatapannya masih nanar ke arah tubuh Maya. Ia melihat di tangan kiri Maya. Di jari manis wanita itu, dulu sempat tersemat cincin pertunangan. Kilau cincin itu masih tampak di mata Al, walaupun benda itu sudah tersimpan rapi di lemari pakaiannya. Warna perak kesukaan Maya dengan berlian delapan belas karat berwarna merah muda. Al sendiri yang memilihkan cincin itu untuk Maya. Walaupun sempat ragu, ternyata Maya menyukai pilihan Al. Dan, Al tidak pernah lupa seperti apa ekspresi Maya ketika ia menunjukkan cincin itu.

Siang ini matahari sedang berada tepat di atas kepala, namun sengatannya seolah-olah tunduk pada lapisan tipis awan-awan kelabu bulan April. Pusara Maya masih basah. Para pelayat sudah pergi sejak setengah jam yang lalu. Al masih berdiri di samping pembaringan terakhir Maya. Lagi-lagi, Al tidak sanggup berkata satu patah pun, apalagi untuk menangis.

"Menangislah, Al." Sebentuk suara hadir di liang pendengaran Al. Ia mencari sumber suara tersebut dan ia mendapati sosok Maya berada di sisi lain pusara, tepat berhadapan dengannya.

"Maya?" Akhirnya bibir Al mengucap sesuatu, walaupun terdengar sangat lirih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun