Moy bergeming. Benaknya masih berkutat soal pernikahannya yang batal. Dinding retinanya masih terisi raut wajah yang dulu katanya sangat mencintainya, tapi berbalik seratus depalan puluh derajat ketika tahu bagaimana masa lalunya. Moy sendiri bukannya tidak pernah membicarakan hal itu dengan kekasihnya, tapi memang ia tidak pernah cerita mendetail, apalagi mengenai kegiatan membolosnya. Harusnya itu bukan masalah. Toh Moy merasa yang terpenting adalah hasil akhirnya, bukan prosesnya.
Ya, Moy memang sudah sembuh. Ia tidak pernah lagi mengurung diri berhari-hari di kamarnya sambil menangis. Kebanyakan orang-orang berpikiran ia terkena pengaruh ilmu hitam. Padahal, tidak ada yang tahu kalau Moy pernah nyaris mati di tangan salah satu teman SMA-nya yang, yah, kebetulan saja jadi kekasihnya kala itu. Bahkan, orang tua Moy sendiri tidak tahu hal itu. Yang mereka tahu; anaknya bermasalah dan harus segera mendapat pertolongan. Moy berakhir di sofa empuk dalam ruangan beraroma lavender.
"Kamu siapa?" tanya Moy, membalas ajakan Ru untuk duduk.
“Bukan siapa-siapa,” jawab Ru. “Hanya seseorang yang kerap mengamatimu duduk di bangku ini… sejak tujuh tahun lalu.”
Tubuh Moy limbung. Ru dengan sigap meraih lengan Moy dan membimbingnya untuk duduk.
“Sudah kubilang, kita duduk di sini saja,” kata Ru.
Sejak saat itu, Ru tidak pernah meninggalkan Moy, bahkan ketika Ru teramat jengkel karena tidak paham apa yang Moy bicarakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H