"Kamu bisa jatuh cinta tanpa jatuh hati, Ru?"
        Ru memandang perempuan di sebelahnya, menatapnya lekat-lekat seolah-olah perempuan itu makhluk asing yang baru turun dari unidentified flying object. Seolah-olah perempuan itu baru saja menenggak bergalon-galon bir tanpa es batu. Seolah-olah ada makhluk astral yang menumpang sejenak di otak perempuan itu, mencuci otaknya, lalu pergi tanpa permisi.
        Tapi, yang Ru lihat hanya sorot kesungguhan dari perempuan itu. Dan, itu aneh, pikir Ru.
        "Jatuh cinta itu sakit, Ru."
        Ru tidak menanggapi. Tepatnya, bingung harus bereaksi seperti apa. Belum sampai lima menit lalu, mereka membahas hal lain, yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan diri mereka. Jenis obrolan siang hari, berteman sekantung besar keripik kentang rasa pedas -- kesukaan Ru -- dan dua gelas besar susu kocok rasa cokelat -- kesukaan Moy, yang terpaksa pula Ru nikmati karena Moy memaksanya. Benar-benar tipikal pertemuan dua orang tanpa embel-embel ikatan apa pun.
        Moy memainkan gelas minumannya, memutar-mutarnya perlahan. Sesekali ia angkat gelas plastik itu sejajar matanya, hanya untuk mengamati tetes-tetes embun yang menempel di sana. Ia tahu, Ru tidak mungkin menanggapi ucapannya, tapi ia menunggu, dengan persediaan kesabaran tak terbatas. Susu kocoknya sudah hambar, sudah tak layak disebut minuman manis.
        "Kenapa kita di sini, Ru?"
        Ru menghela napas panjang. Satu kali, tapi cukup panjang untuk diterjemahkan menjadi novel seribu halaman. Moy tahu itu. Moy paham itu.
        Ru meraih jemari Moy yang bebas. Ia tak punya kata-kata, ia tak punya janji-janji. Yang Ru punya hanya perhatian, dari jarak jutaan tahun cahaya. Moy tahu itu. Moy paham itu.
        "Kenapa harus jatuh cinta tanpa jatuh hati, Moy?"
        Suara Ru terdengar bermil-mil jauhnya dari gendang telinga Moy, bahkan nyaris tak tertangkap getarannya.