Mohon tunggu...
Sekar Mayang
Sekar Mayang Mohon Tunggu... Editor - Editor

Editor. Penulis. Pengulas buku. Hidup di Bali. http://rangkaiankatasekar.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Drama

Mbak, Ijinkan Aku Membalas Budi

26 Mei 2012   09:18 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:46 3733
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13380234191988884878

"Dan kamu melupakan kuasa Tuhan akan segalanya, Dik?" sahutku dengan cepat.

Dia memutar bola matanya lagi, sikap yang membuatku kadang kesal dalam menghadapinya. Nafasku memburu, kemarahan itu nyaris tak tertahankan.

"Ini bukan soal kuasa, tapi lebih pada usaha!" Dia memperjelas dalam nada tegas. "Bolehkah kita kembali pada dunia yang realistis?" tanyanya sambil menatapku tajam. "Tuhan takkan mengubah umatnya yang tak berusaha."

Apa yang dia ucapkan sedikit ada benarnya, tapi entah kenapa arah pembicaraan kami jadi begitu jauh.

"Oke. Jadi ini kembali lagi ke soal pekerjaan mas Yatno, kan?! Boleh aku simpulkan, kau ingin aku meminta mas Yatno untuk berganti pekerjaan. Iya, kan?!" Sedari tadi aku sudah mengerti, inilah inti permasalahannya. "Tapi apa kau pernah berpikir, Dik? Kakak laki-lakimu itu hanya tamatan SMP, tidak sepertimu yang merasakan bangku kuliah! Apa kau lupa darimana kau mendapat biaya kuliah yang tak sedikit itu?" Aku ingin menyadarkannya sebelum dia menjadi kacang yang lupa akan kulitnya. "Pekerjaan di darat memang banyak, tapi apakah bisa menghasilkan sebanyak rupiah yang Mas Yatno bawa pulang setiap enam bulan sekali?" nadaku meninggi.

Kurasa kata-kataku sedikit menyentuh hati Putri. Dia menatapku, tak lagi dengan mata bulat besarnya yang tajam. Ada raut malu pada wajahnya, tapi itu tak lama. Aku tahu betapa keras kepalanya dia.

"Mas Yatno bisa berhenti. Kalian berdua bisa menjual rumah ibu. Dan dari uang itu, Mbak Mirah dan Mas Yatno bisa buka toko sembako." Dia berbicara seakan hal itu hanya masalah mudah.

Aku terdiam cukup lama, aku memikirkan kata-kata yang mengalir dari bibirnya. Sampai tak terasa hari berubah menjadi senja, malam akan segera tiba. "Itu... sempat kami pikirkan. Mungkin lebih tepatnya, aku yang mengusulkan seperti itu. Bukan menjual rumah ibu tapi tanah warisan dari orang tuaku yang tak seberapa luasnya."

"Lalu kejelasan rencananya bagaimana, Mbak?" Dia nampak mulai jenuh dengan pembicaraan kami "Kira-kira usaha apa yang akan kalian jalankan? Lagipula aku cuma orang luar. Tidak ada hak ikut campur urusan rumah tangga kalian." Akhirnya dia menyadari kapasitasnya.

"Hmm.... Sayangnya Mas Yatno tidak pernah setuju dengan hal itu. Entah apa yang ada di pikirannya. Ia tak mau mengatakannya padaku."

"Aku masih tak mengerti. Mengapa dia masih bertahan dengan otak konvensionalnya? Sedari dulu aku menawarinya bantuan dana, tapi dia selalu menolak." Putri terdengar kesal. Tidakkah dia sadar sikap kerasnya serupa dengan sang kakak? "Bukankah pada akhirnya aku harus membantunya juga? Aku tak ingin merasa berhutang terus. Katakan pada Mas Yatno agar meninggalkan pekerjaan lamanya. Berusahalah di rumah dengan resiko pekerjaan tak banyak. Intinya aku hanya mau.... Anggaplah ini saatku membalas budi padanya. Sejak sepeninggal ayah dan ibu, Mas Yatno membuatku menjadi seperti diriku yang saat ini. Anggaplah apa yang kulakukan sebagai wujud terima kasih. Bukankah impas bila sekarang aku membantunya?!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Drama Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun