kisah sebelumnya di episode 10
Satu jam berlalu sejak percakapan pertamanya dengan Julie, William masih duduk di tempat yang sama. Ia menyalakan batang rokok keempat, lalu menghisapnya perlahan. Ia memperhatikan para pekerja di kedai itu, mereka sedang berbenah. Nampaknya ini sudah waktunya tutup, ujarnya dalam hati. Ia melihat jam tangannya sekali lagi, masih lima menit sebelum pukul sebelas malam, dan hujan di luar sana sudah berhenti sedari tadi.
Lampu-lampu kedai dimatikan, termasuk lampu yang menerangi neon box di luar bangunan. Mereka hanya menyisakan dua lampu menyala, satu lampu di dapur dan satu lagi di ruang duduk pengunjung. Julie melangkah dari balik bar, mendekat ke arah William.
"Sejak kapan kau mulai merokok lagi, Bill?" Julie bertanya keheranan.
"Ah ini...," William mematikan rokoknya, "ini bukan apa-apa. Ayo kita keluar," sahutnya sambil melangkah menuju pintu kedai.
Jalanan sudah teramat sepi. Tidak ada manusia yang berlalu lalang di trotoar, apalagi hujan deras sempat mengguyur kawasan ini. Hanya beberapa mobil dan motor yang melintas di atas lapisan aspal. Julie merapatkan mantelnya. Musim gugur sudah hampir berakhir dan suhu udara di luar menjadi semakin dingin.
"Di mana kau tinggal, Jules?"
"Tiga blok dari sini. Apartemen bertingkat lima di sebelah gedung serba guna. Dan kau?!"
"Pantas saja kita tidak pernah bertemu. Aku tinggal empat blok ke timur dari stasiun subway."
"Dan kau baru pertama kali makan di kedai itu?! Hmm..., apa ini ada alasannya?"
"Entah. Mungkin memang ada," sahut William. "Dan aku yakin, pasti ada alasannya," gumamnya dalam hati.
"Aku akan berbelok di sini," ujar Julie setelah bertemu persimpangan pertama. "Kau akan langsung pulang?"
"Bolehkah aku mengantarmu sampai di depan apartemen?"
"Tapi itu akan membuatmu berjalan lebih jauh lagi. Ini sudah hampir tengah malam, Bill. Kau tidak perlu mengantarku. Tidak apa-apa aku berjalan sendiri, aku sudah biasa."
"Aku memaksa," sahut Bill disertai senyum khasnya.
Julie terdiam sejenak untuk berpikir.
"Baiklah, jika itu maumu," kata Julie.
Mereka berdua berjalan beriringan.
Sebenarnya banyak tanya di benak William. Semua ingin ia dapatkan jawabannya malam ini. Tapi ia berpikir lagi, nampaknya itu tidak mungkin. Julie tidak akan bersedia menceritakan. Ini pertemuan pertamanya dengan Julie setelah lima tahun. Ini seperti memutar lagi kejadian dua puluh tahun yang lalu, di mana ia baru berkenalan dengan Julie. Sama-sama canggung dan bingung apa yang harus dibicarakan untuk memulai sebuah percakapan yang serius.
"Sudah berapa lama kau bekerja di kedai itu, Julie?" tanya William setelah satu blok perjalanan yang penuh keheningan.
"Empat tahun."
Jawaban Julie sangat singkat. Terkesan sangat berhati-hati dalam mengontrol nada suaranya. Pertanyaannya memang sederhana, dan memang hanya itu yang ingin William ketahui. Hanya saja, dalam hati, William menginginkan jawaban yang lebih dari itu.
"Dan kau? Apa yang kau kerjakan sekarang?" tanya Julie.
"Aku bekerja di bisnis pengiriman."
"Oya?! Pengiriman apa?"
"Mereka mengirim ikan-ikan beku dari Asia Tenggara ke tempat kerjaku. Aku dan teman-temanku lalu mengantarkan ke banyak restoran di Manhattan keesokan harinya."
"Bisnis yang bagus ya."
"Aku hanya supir yang merangkap sebagai pegawai gudang, Jules," sahut William dengan pasrah.
"Owh.... I'm sorry...." Julie menyesal. Ia sedikit salah mengartikan kalimat William.
"Tidak apa-apa."
Satu setengah blok selanjutnya kembali dirajai dengan keheningan di antara mereka berdua. Sampai tak terasa mereka sudah berada di depan bangunan apartemen tempat Julie tinggal.
"Oke," ujar William. "Kini aku tahu di mana kau tinggal. Aku bisa mampir kemari kapanpun. Atas ijinmu, tentu saja."
"Look, Bill. Aku berjanji, akan kuceritakan semuanya padamu. Aku benar-benar berjanji. Hanya saja bukan dalam waktu dekat ini. Beri aku sedikit lagi waktu agar aku siap berbicara padamu." Julie berkata sambil menggenggam kedua tangan William.
William tersenyum. Lalu berkata, "Aku tidak memaksamu, Jules. Aku mengerti, kehidupanmu adalah milikmu sendiri. Kau berhak tidak menceritakannya kepada orang lain, termasuk padaku."
"Tapi aku yang memaksa untuk bercerita, Bill. Aku serius. Tapi bukan sekarang. Kau mengerti kan?!" tanya Julie.
William kembali tersenyum, dan mengangguk mengiyakn perkataan Julie.
"Masuklah. Malam sudah bertambah dingin."
"Baiklah, Bill. Sampai jumpa lain waktu."
Julie masuk ke dalam apartemennya dan langsung menuju kamar mandi. Ia membuka kran air hangat dan membiarkannya sejenak hingga bath up penuh. Sementara menunggu, ia kembali ke ruang tengah dan menyalakan televisi. Ia menekan tombol remote beberapa kali untuk mencari channel yang menarik. Tapi tidak ada yang menarik bagi Julie malam ini. Ia hampir saja mematikan televisi ketika tiba-tiba channel tersebut menayangkan sebuah breaking news. "Alicia Jensen telah dibebaskan sekitar dua jam yang lalu," ujar si pembaca berita. "Apa?!" gumam Julie tak percaya. "Seorang pengusaha asal Mexico yang tidak disebutkan namanya," lanjut si pembaca berita, "diduga telah membayar sejumlah uang jaminan untuk kebebasan Alicia. Ada sumber yang menyebutkan, jumlah uang itu adalah 2 juta dolar. Tapi ada juga yang berkata 5 juta dolar. Kita tentu masih ingat kasus ini menjadi pembicaraan hangat lima tahun yang lalu. Dan saat itu, hakim memberi vonis 25 tahun penjara untuk Alicia Jensen, dengan kemungkinan bebas bersyarat. Dan baru saja sekitar tiga puluh menit yang lalu, reporter kami berhasil menemui Tiffany Goldberg - putri tunggal mendiang Owen Goldberg." "Aku belum bisa berkata apa-apa," yang ini suara Tiffany. "Beri aku waktu. Jika sudah siap, aku pasti akan bicara di hadapan kalian semua. Satu yang bisa kukatakan saat ini. Alicia hanya seseorang yang berada di waktu dan tempat yang salah." "Jadi menurutmu Alicia Jensen hanyalah korban dan pembunuh ayahmu masih berkeliaran bebas di luar sana?" tanya salah seorang reporter. "Entahlah, aku tidak tahu," jawab Tiffany. "Tapi aku pasti akan mencari tahu." Julie yang sedari tadi berdiri di depan televisi, masih tetap di situ sampai siaran breaking news itu habis. Ia bahkan tidak ingat sedang menyalakan air di kamar mandi. Ia malah sibuk berpikir tentang hal baru saja ia lihat di televisi. "Aku tahu, ada sesuatu yang hilang di sini," gumam Julie. "Dan aku ingin mengetahuinya."
--- to be continued ---
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H