Tidak lama di toilet Bi Kirin keluar. Gegas ia melangkah menuju meja mereka, ia kuatir akan Wulan keponakannya. Belum sampai ke tempat Wulan duduk, seseorang menghampirinya.
"Hai, Kirin apa kabarmu?" tanyanya sembari menghampiri Kirin.
Tersentak Bi Kirin saat melihat orang yang menghampirinya.
"Gino?" Ternyata dia yang pernah mengisi hatiku," gumam Kirin di benaknya.
"Apa, kamu sudah lupa kepadaku?" tanya orang tersebut.
Ternyata dia teman Bi Kirin saat SMA dulu. Dia pernah menaruh hati kepada Kirin, demikian juga dengan Kirin. Namun, pertemanan mereka hanya sesaat. Pria itu bernama Gino. Dia pria yang tampan dan baik hati. Saat mereka jadian Gino tetiba pergi merantau mengadu Nasib. Gino masih seperti dulu dia sangat mencintai Kirin. Saat itu belum ada alat komunikasi alias handphone, sehingga mereka tidak dapat berkomuniksi.
"Kirin, apa kamu sudah menikah?" siapa anak perempuan yang duduk bersamamu? Apa dia anakmu?" tanya Gino secara beruntun.
Jantung Kirin berdebar tidak karuan, rasa yang lama tiba-tiba bergleora. Kirim bergeming sembari menunduk, dia tidak berani menatap wajah Gino. Rasa bersalah menyelimuti hatinya.
"Kirin, jawablah dengang jujur, aku tidak marah ini salahku," imbuh Gino membuyarkan lamunan Kirin.
Kirin memberanikan diri mengajak Gino duduk bersam mereka.
"Mas, mari kita duduk di sana, tidak enak dilihat orang banyak," balas Kirin sembari melangkah ke tempat Kirin dan Wulan duduk.