Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum  Pidana (RKUHP) memang menjadi polemik dari berbagai kalangan masyarakat, salah satunya dikalangan mahasiswa. Pasalnya, polemik RKUHP dan problem pembahasan yang terkesan tertutup.
Pemerintah dan DPR memberi sinyal Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum  Pidana (RKUHP) akan segera disahkan pada juli 2022 mendatang.Â
Namun, hingga saat ini pembahasan draft RKUHP antara kementrian hukum dan HAM (Menkumham) dengan DPR dalam rapat dengar pendapat (RDP) pada 25 mei 2022 tak kunjung dibuka.
Salah satu yang melatar belakangi tercetusnya draft Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum  Pidana (RKUHP) tentang pidana bagi penghina penguasa yaitu pada kesempatannya presiden Jokowi yang menyatakan bahwa presiden adalah simbol negara layaknya di berbagai negara lain sehingga perlu dilindungi kewibawaannya.
Jika kita merujuk pada  UU 24 tahun 2009 tentang bendera sang merah putih, garuda pancasila, dan lagu kebangsaan Indonesia raya merupakan jati diri bangsa dan identitas Negara Kesatuan Republik Indonesia. Keempat simbol tersebut adalah cerminan kedaulatan negara dalam tata pergaulan dengan negara negara lain.
Dari UU tersebut, sangat jelas dinyatakan bahwa presiden tidak termasuk simbol negara, melainkan hanya kepala pemerintahan.
Dilansir dari pernyataan wakil menteri hukum dan HAM (Wamenkumham) Eddie OS Hiariej mengatakan, pasal terkait penghinaan pemerintah dipertahankan dalam draft Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum  Pidana (RKUHP).
Eddie mengakui bahwa passal terkait penghinaan pemerintah tidak dimasukan kedalam 14 isu krusial di RKUHP yang tengah dibahas.
Eddie menjelaskan passal penghinaan pemerintah sudah pernah dibawa ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk diuji. Hasilnya, MK menyatakan ditolak. "Kalau MK Â menolak, kira kira bertentangan dengan konstitusi atau tidak? Tidak kan." tuturnya.
Eddie menekankan bahwa passal penghinaan pemerintah tidak bertentangan dengan konstitusi.
Namun, jika sampai disahkan, justru ini akan menimbulkan polemik baru serta multitafsir pada passal tersebut, sebab bentuk bentuk penghinaan yang seperti apa yang dapat dipidanakan?.Â
Selain daripada itu, ini juga akan merusak sistem demokrasi di  republik ini, karena masyarakat sangat dibatasi dalam bersuara, dan tentu saja berlawanan dengan UUD 1945 passal 28E ayat (3) yang jelas menyatakan "Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H