Mohon tunggu...
Cerita Pemilih

MASA ORIENTASI, PERPELONCOAN YANG DIPERHALUS?

24 Agustus 2015   22:05 Diperbarui: 24 Agustus 2015   22:05 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Lunturnya semangat kebangsaan serta semakin besarnya sikap apatis mahasiswa akan nilai-nilai kebangsaan diusung sebagai tema bagi beberapa perguruan tingi yang akan melaksanakan masa orientasi mahasiswa baru. Seperti yang kita ketahui masa orientasi atau apapun namanya kini telah menjadi suatu kegiatan yang mendarah daging sejak dahulu pada institusi atau lembaga pendidikan di Indonesia terutama pada masa penerimaan pelajar/ mahasiswa baru.

Pada dasarnya masa orientasi memiliki tujuan mulia untuk mengenalkan dan mempersiapkan pelajar/ mahasiswa baru untuk menjejaki lingkungan pendidikan yang baru dengan serangkaian materi, tugas-tugas aneh, atribut-atribut yang agak merepotkan dan sulit di dapat, serta puluhan bahkan ratusan sanksi yang dipadatkan dalam beberapa hari.

Seiring munculnya pemberitaan tentang masa orientasi di media publik dikarenakan banyaknya korban, masa orientasi mengalami pergantian nama untuk memperhalus dan memulihkan nama baiknya sebagai ajang penggojlokan. Bahkan sebagian besar perguruan tinggi di Indonesia telah sepakat mengucapkan selamat tinggal pada perpeloncoan. Tapi sepertinya dalam praktiknya, belum banyak perubahan yang terjadi pada masa orientasi tersebut.

Menurut saya, masa orientasi sendiri merupakan ajang pembalasan dendam bagi para senior atas perlakuan senior mereka yang terdahulu. Rasa dendam akan selalu muncul atas segala perbuatan yang menyakitkan, namun berhubung masa orientasi adalah sesuatu yang dilegalkan membuat para senior melestarikan budaya yang mewajibkan para peserta didik baru nya untuk menghormati dan menuruti segala kemauan senior. Hal ini terkesan memuaskan para senior yang “berkuasa” dan menganggap rendah para junior mereka.

Kekuasaan dekat dengan kekerasan, hal ini membuat para “penguasa” akan melakukan kekerasan kepada peserta didik baru. Mungkin saat ini sudah tak ada yang berani melakukan kekerasan fisik pada para peserta didik baru karena adanya larangan mengenai hal itu. Namun hal ini tidak dijadikan alasan menghentikan kegiatan perpeloncoan yang semakin marak di Indonesia. Para senior telah mengubah perpeloncoan dengan sedemikian halusnya.

Para senior melancarkan serangan-serangan kepada para peserta didik baru dengan kekerasan batin, sedikit demi sedikit menyakiti hati para peserta didik baru dengan segala macam bentakan maupun tekanan dan kalimat-kalimat yang cukup membuat hati para peserta didik baru seakan teriris, pedih. Jika semakin banyak yang merasakan sakit hati atas kegiatan ini, maka semakin lestari lah kegiatan perpeloncoan yang mengatasnamakan masa orientasi ini.

Pembuatan berbagai atribut-atribut yang tak sebanding dengan nilai-nilai yang ditanamkan hanya merupakan pemborosan dan kegiatan sia-sia. Karena pada dasarnya peserta didik yang kurang tidur dan kelelahan karena mengerjakan setumpuk tugas tidak memiliki kesiapan yang maksimal dalam menghadapi hari. Terkadang yang mereka kerjakan pun hanya pendapat cercaan atau bahkan cemoohan (karena tugas yang diberikan tidak dikerjakan dengan sempurna) dari para senior.

Dalam benak peserta didik baru, sang “penguasa” sangat tidak menghargai kerja keras mereka mengerjakan segala macam hal yang merepotkan. Belum lagi saat mereka diberikan hukuman. Hal ini memupuk percikan dendam yang ada dalam hati para peserta didik baru dan membuat sebagian besar dari mereka membenci masa orientasi. Segala macam kegiatan menguras emosi yang terjadi inilah yang membuat tujuan mulia masa orientasi ternodai oleh hal-hal yang tak perlu.

Solusinya adalah menghentikan kegiatan perpeloncoan yang ada dan mengembalikan citra serta tujuan mulia masa orientasi. Mengurangi bentakan, tekanan, dan hukuman dan menggantinya dengan kalimat-kalimat penyemangat yang memiliki arti positif bagi para peserta didik baru dirasa cukup efektif untuk membenahi perilaku tidak baik yang dibawa para peserta didik baru dari lingkungan lamanya. Karena sejatinya, tekanan dan hukuman dirasa kurang efektif untuk membuat peserta didik menghilang perilaku buruknya. Bahkan bagi sebagian orang yang memiliki kerentanan psikologis, hukuman hanya akan semakin menekan mental dan kejiwaan mereka sehingga menyebabkan trauma dan ketidaknormalan kejiwaan pada diri mereka. Kenangan pada masa orientasi sendiri sejatinya hanya akan menyulut percikan rasa tak suka menjadi perasaan benci dan dendam yang tak terkendali. Hal yang tidak menyenangkan akan menimbulkan trauma bagi diri seseorang.

Pengenalan lingkungan baru bagi para peserta didik baru dirasa cukup dengan melalukan pendekatan emosional oleh para senior sehingga mereka dapat dengan mudah mengenalkan lingkungan baru pada para peserta didik. Kegiatan-kegiatan yang menyenangkan telah terbukti dapat membentuk dan mempertahankan perilaku baru yang lebih baik tentunya. Pembentukan kelompok-kelompok kecil dan pemberian materi yang tidak berlangsung terus-menerus dengan diselingi dengan permainan-permainan ringan dengan hadiah tanpa hukuman dapat membentuk karakter kepribadian seseorang menjadi lebih santai dan tidak terlalu kaku. 

Pemberian materi yang terus-menerus selama berjam-jam hanya akan membuat para peserta didik menjadi bosan dan melakukan segala tindakan yang mereka lakukan bedasarkan emosi mereka, bukan berdasarkan pemikiran-pemikiran yang jelas. Hal ini akan menjadikan mereka melakukan pemberontakan dewasa nanti. Segala macam pemberontakan yang tidak beralasan hanya akan membuat keaadan semakin buruk bukan? 

Banyaknya korban masa orientasi yang berjatuhan dan di beritakan di media publik tentunya bukanlah hal yang bagus. Apalagi jika berita-berita tersebut sampai pada ranah internasional. Apa yang akan mereka pikirkan tentang Indonesia? Apa pandangan mereka terhadap Indonesia? Masih maukah mereka menerima lulusan Indonesia? Masih adakah dari mereka yang mau berkerjasama dengan lulusan Indonesia yang tidak memiliki kestabilan emosi yang baik? Mungkinkah Indonesia menjadi Negara maju?

Semoga dewasa nanti sistem perpeloncoan dalam pendidikan di Indonesia sampai pada batas akhir dan hilang sama sekali. Melahirkan lulusan-lulusan dengan kestabilan emosi dan kemampuan berpikir yang semakin baik, yang siap menantang dunia dengan segala pemikirannya. Ya, semoga saja. Kita hanya bisa berharap bukan? Segalanya masih berada di tangan senior untuk saat ini.

 

Kapan ya Indonesia bisa seperti itu?

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun