Dialah orang terbahagia dan paling tegar yang pernah aku kenal. Setiap hari dia menjalani harinya dengan senyum dan penuh semangat. Padahal, hidupnya penuh dengan rintangan yang sebenarnya terlalu berat untuk dihadapi seorang dia, yang harus membiasakan dirinya bersusah payah sejak SD. Itulah yang membuatnya terlihat beda dengan yang lain.
Neisya dan Katja, 2 bersaudara terkuat yang aku kenal. Sejak umur 5 tahun dan 3 tahun, mereka mulai berjuang hidup ditengah kumuhnya tempat tinggal mereka. Orang tua yang pergi merantau dan seorang nenek yang sabar membesarkan mereka, adalah satu-satunya relasi yang mereka kenal. Neneknya pernah bercerita tentang betapa enaknya hidup mereka 10 tahun yang lalu, sebelum anak lelakinya yang pertama mengenal dunia judi dan akhirnya menyerahkan semua yang menjadi kekayaan mereka untuk dijadikan alat bayar. Ayah mereka yang adalah anak kedua menikah dengan seorang wanita yang cukup berpendidikan dan mempunyai paras yang elok. Efek kemaksiatan anak pertama membuat semua tabungan ayah Neisya dan simpanan perhiasan ibu mereka habis dimakan para penjudi ulung yang ditantang oleh si sulung yang serakah.
Demi menyambung hidup, ayah ibu Neisya dan Katja pergi merantau ke kota lain yang lebih kecil tapi mempunyai prospek kerja tinggi. Maka, tinggalah Neisya dan Katja bersama neneknya disebuah perkampungan kumuh dekat TPA yang ada di Jakarta. Sayangnya, Katja tidak bisa melanjutkan hidup dan mencapai cita-citanya untuk menjadi seorang guru sastra bahasa Indonesia. Katja meninggal di usia yang sangat muda, 10 tahun. Katanya, anak seumuran dia tidak pernah mengenal yang namanya Marga.T. jangankan yang seumuran dengan Katja, beberapa orang dewasa yang tinggal didekatnya pun tidak mengenal seorang penulis besar bernama Marga T. Keprihatinan Katja muncul dan bertekad melindungi karya sastra di Indonesia dan mengenalkannya kepada semua orang. Neisya sering kali menjadi korban dongengnya. Padahal, karya-karya Marga T tidak cocok untuk anak seumuran Katja saat itu. tapi apa daya, rasa keingin tahuannya sangat besar. Sang nenek yang sabar dan baik hati membimbing serta membantu Katja untuk menjelaskan arti dari beberapa adegan dalam novel yang kurang dia mengerti. Sayangnya, si pendongeng sebelum tidur harus kalah dengan bakteri yang sudah menguasai tempat tinggal mereka. Katja pergi meninggalkan keluarganya.
Nenek dan Neisya akhirnya memutuskan untuk pergi menyusul orang tua Neisya ke Jawa Tengah, ke sebuah kota yang namanya asing dan lucu, Salatiga. Semua ini terjadi 1 bulan setelah kepergia Katja.
Salatiga adalah kota kecil tentram dengan biaya hidup jauh lebih terjangkau dari Jakarta. Tak heran bila orang tua Neisya sangat bahagia dan mudah untuk melanjutkan hidup disana. Semua serba terjangkau dan murah. Neisya tidak melanjutkan sekolahnya, tapi membantu ayah ibunya berjualan batagor dan es degan di lapangan Pancasila tengah kota. Sang nenek kadang membantu mereka disana, tapi Neisya selalu ingin neneknya diam dirumah dan beristirahat. Ayah ibu Neisya terkadang bergantian menemani si nenek. Katanya, jangan terlalu sering meninggalkan nenek sendirian dirumah. Tapi memang benar adanya. Usia sang nenek baik hati sudah lanjut, saatnya mengahabiskan waktu dengan anak, menantu dan cucu tercinta. Neisya mengerti sangat maksud ibunya, dengan senang hati Neisya menawarkan dirinya menemani nenek setiap hari Senin-Rabu-Jumat.
Saat dirumah, Neisya memanjakan sang nenek dengan treatment wanita masa kini. Contohnya membeli lulur badan yang terjangkau harganya tapi cocok untuk kulit nenek. Neisya tahu akan keinginan nenek yang satu ini. Saat nenek dan ayah ibunya masih bisa memegang uang berjuta-juta dalam rekeningnya, nenek sering berlama-lama di kamar mandi berukuran 4mx3m untuk merawat kulitnya. Perawatan rumahan dengan bahan-bahan bernilai sejumlah uang makan 1 bulan untuk dikonsumsi keluarga Neisya, sudah menjadi kebutuhan pokok nenek Neisya. Setelah kejadian yang tak terduga, nenek Neisya harus merelakan hobinya terhenti. Seperti pecandu alcohol yang harus meninggalkan alkoholnya untuk selamanya.
Pertama kali saat Neisya memanjakan neneknya dengan cara seperti ini, nenek sangat terharu dan menggunakan lulur tersebut sedikit demi sedikit, mengingat pekerjaan anak serta menantunya cukup bersaing dengan pedangan batagor-es dengan lainnya.
" Kamu mau makan disini nggak? Aku ngidam batagor. "
" Mel, kamu kan barusan makan nasi padang sebrang. Masih kurang?! ", tanyaku geram.
" Tapi tadi nasi padangnya nggak abis. Kan ikannya bau. "
" Eh iya ya? "
" Iya! Kamu kan Cuma makan ayam goreng. "
" Ya udah deh masuk aja. "
Tenda kecil dengan 1 anak gadis yang tangannya sibuk memotong-motong tahu dan bakso, menjadi pemandangan pertamaku. Itulah moment dimana aku bertemu Neisya pertama kali. 1 lembar menu yang di laminating rapi dan meja bersih tanpa bekas minyak sedikit pun, sudah ada didepan mata.
"Mbak, aku pesen batagor 2 sama es dengan.. eee… ", Melanie masih ragu-ragu.
" Disini nggak Cuma ada es degan kok. Ada es campur, es buah, sup buah sama es teller. Oh! Ada es soda gembira!! ", jawabnya dengan senyum kecil serta logat Jakarta yang masih kental. Tidak ada logat medok sama sekali. Bukan orang Jateng-Jatim-Jogja pastinya.
" Kalo gitu aku pesen es teller aja. Kamu apa, Don? "
" Ehh bentar! Kamu barusan pesen batagor 2 porsi buat kamu sendiri atau sama aku? "
" Sama kamu. "
" Kalo gitu batagornya yang 1 diganti kentang goreng keju sama es soda gembira. "
" SIAP! "
Tangannya lincah menyiapkan 2 piring dan 2 mangkok putih. 10 menit kemudian 3 pesanan sudah disajikan, tinggal es tellerku yang belum tersaji di atas meja.
" Dona, kamu tumben pesen kentang goreng. "
" Biar bisa nyomot punyamu. "
" Ehh! Pinter bener! "
" Mbak, es tellernya. "
" Makasih. "
" Neisya… bantuin bentar!! ", teriak bapak separuh baya.
Dari situlah aku tau namanya Neisya. Bapak yang meneriaki namanya tentunya ayahnya, mereka mempunya mata yang sama cerah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H