Sutan Sjahrir, mungkin namanya terdengar asing bagi generasi muda sekarang. Namanya juga tidak terlalu banyak muncul dalam buku sejarah, Sutan Sjahrir biasanya dikenal hanya sebatas menjadi perdana menteri pertama dan aktor utama dalam Perundingan Linggarjati. Namun, jika kita telusuri dengan lebih dalam, Sjahrir adalah sosok yang berperan besar bagi demokrasi Indonesia.
Sjahrir lahir di Padang Panjang, Ranah Minangkabau, Sumatera Barat. Ia lahir pada tanggal 5 Maret 1909. Ayahnya bernama  Mohamad Rasad gelar Maharadja Soetan, yang berasal dari Kota Gadang, dan bekerja sebagai Jaksa Kepala Landraad, Pengadilan Negeri. Ibunya, Poetri Siti Rabiah asal dari Natal, daerah pantai bagian Selatab Tapanuli, dari keluarga raja-raja lokal swapraja.
Sejak datang ke Negeri Belanda pada 1929, Sjahrir lebih banyak menghabiskan waktunya diluar kampus. Ia jarang mengikuti kuliah karena minat dan perhatiannya berada di tempat lain, yaitu forum diskusi.
Rencana Sjahrir
Saat Jepang mulai masuk ke Indonesia pada Januari 1942, pemerintah Hindia Belanda mengasingkan Hatta dan Sjahrir ke Sukabumi, Jawa Barat. Sebelum diasingkan ke Sukabumi, Sjahrir sudah dan Hatta sudah diasingkan terlebih dahulu di Banda Neira. Mereka dipulangkan dari Banda Neira oleh Belanda karena saat itu tentara Jepang mulai menyerang Ambon dengan menjatuhkan bom-bom di pulau itu. Jika telat beberapa jam saja mereka dijemput, mungkin nasib Indonesia bisa saja berbeda karena bom-bom tersebut dijatuhkan oleh tentara Jepang setengah jam setelah Hatta dan Sjahrir diterbangkan. Dan seperti yang kita ketahui saat ini Hatta dan Sjahrir mempunyai peran yang begitu besar dalam usaha Kemerdekaan Indonesia. Jadi bisa saja nasib Indonesia saat ini berbeda jika kedua tokoh itu tidak dijemput oleh Belanda.
Sekembalinya dari pengasingan di Banda Neira, Maluku. Syahrir bertemu dengan Sastra yang merupakan teman lama di Bandung saat masih aktif di PNI-Baru. Sastra menemui Sjahrir setelah mendengar kabar bahwa temannya telah kembali ke Jawa dan tinggal bersama Hatta di kompleks polisi Sukabumi.
Di rumah Sjahrir, Sastra tinggal sehari semalam dan mereka membuat rencana. Hatta akan berpura-pura bekerja sama dengan Jepang untuk melindungi teman-temannya yang berjuang melawan Jepang. Dari sinilah awal mula perjuangan Sjahrir dan kawan-kawannya dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Selain Hatta, tokoh-tokoh nasionalis Indonesia yang lainnya juga bersedia melakukan kerja sama dengan pemerintah Jepang seperti Soekarno. Alasan pihak Jepang melakukan kerja sama dengan para tokoh nasionalis terkemuka adalah untuk mendapatkan dukungan dari rakyat Indonesia untuk membantu Jepang.
Selama masa pendudukan Jepang ini, Sjahrir memilih menjauhi "Saudara Tua" ini. Sjahrir membangun jaringan gerakan bawah tanah anti-fasis Dai Nippon (militer Jepang). Ini berbeda dengan tokoh pemuda lain seperti Soekarno dan Hatta, yang "bekerja sama" dengan Jepang.
Pada akhir tahun 1943, Jepang mendekati Soekarno dan Hatta untuk diminta bekerja sama, Soekarno dan Hatta menyetujuinya namun dengan syarat ia diperbolehkan mengorganisasi pembangunan bangsa Indonesia. Keadaan Jepang yang sulit dan kesadaran akan pentingnya pemimpin yang popular seperti Soekarno dan Hatta membuat Jepang dengan mudahnya menerima syarat- syarat tersebut. Namun, Jepang gagal ketika mengharapkan Sjahrir bekerja sama dengan mereka. Sjahrir beralasan bahwa ia terlalu disibukan oleh kegiatan 'pendidikannya' untuk memikirkan hal yang lain. Alasan tersebut digunakan untuk menutupi kegiatan bawah tanahnya.
Gerakan Bawah Tanah
Ketika tokoh-tokoh nasionalis bersedia melakukan kerja sama dengan pemerintah Jepang, sikap yang berbeda justru ditunjukkan oleh Sjahrir. Ia tetap teguh menunjukkan sikap nonkooperatif terhadap Jepang. Sjahrir berpendapat bahwa kaum penjajah tetap akan bersikap buruk terhadap jajahannya. Sjahrir aktif mengelola jaringan pergerakan bawah tanah kemerdekaan di berbagai lokasi di Jawa dan juga rutin menyusun dan menyebarkan berbagai materi propaganda termasuk melalui informasi yang diterima dari siaran luar negeri.
Sjahrir mendapatkan informasi itu melalui pesawat radio gelap yang tidak disegel oleh Jepang. Ketika Jepang menduduki Indonesia, tindakan pertama yang dilakukan oleh pemerintah Jepang adalah dengan menyegel pesawat radio. Dengan adanya pesawat radio gelap yang tidak disegel oleh Jepang, Sjahrir dapat menangkap berbagai macam informasi yang disampaikan oleh pihak Jepang.
Sebagai aktor gerakan bawah tanah, Sjahrir rajin menggelar diskusi. Menurut Des Alwi, anak angkat Sjahrir, selain di rumahnya sendiri, Sjahrir sering berdiskusi di daerah Manggarai, Jakarta. Â Jika tidak di manggarai, diskusi digelar di Sindanglaya, Cipanas, di tempat kerabat Sjahrir yang bernama Halim. Orang-orang yang mengikuti diskusi Sjahrir ini adalah mahasiswa kedokteran seperti Soedjatmoko, Abu Bakar Lubis, Subianto, dan Suroto Kunto.
Pada tahun 1944, tentara-tentara Jepang mulai mengalami kekalahan di berbagai tempat. Sjahrir tahu persis situasi sulit yang dihadapi oleh Jepang. Ia tidak pernah percaya Jepang akan bisa memenangkan perang melawan Sekutu. Karena ia tahu bahwa industri perang dan logistik Amerika Serikat jauh lebih unggul daripada Jepang.
Oleh karena itu, Sjahrir mulai melakukan persiapan untuk melakukan perlawanan dan mengambil tindakan tegas saat Jepang kalah perang. Untuk mengetahui perkembangan perang Jepang melawan Sekutu, Sjahrir mengandalkan siaran radio, termasuk dari BBC. Ia punya radio yang disembunyikan di dalam lemari. Agar tak kentara, radio itu sudah dibuka rangkanya dan disembunyikan di balik kain batik.
Mendesak Kemerdekaan
Pada suatu hari di tahun 1944, Sjahrir mendengar dari radionya bahwa Jepang hampir kalah. Mendengar kabar itu, Sjahrir ingin kemerdekaan Indonesia segera diproklamasikan. Namun Soekarno memilih menunggu lampu hijau dari Jepang. Sjahrir merasa kesal. Oleh karena itu, pada Juli 1944, ketika mendengar Tan Malaka ada di Bayah, Banten, menyamar sebagai Ibrahim, dia segera mencari Tan Malaka. Sjahrir meminta Tan Malaka memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, tapi Tan Malaka menolak karena ia sudah mempercayakannya kepada Soekarno.
Pada tanggal 6 Agustus 1945, bom atom pertama dijatuhkan di Hiroshima yang menewaskan 78.000 orang. Dan bom atom kedua jatuh di Nagasaki. Membuat Jepang menyerah tanpa syarat pada tanggal 15 Agustus 1945. Dengan dijatuhkannya bom atom di kota Hiroshima dan Nagasaki serta tidak adanya persiapan dari sekutu untuk cepat-cepat masuk kawasan Asia Tenggara ini memberikan suatu kesempatan bagi Indonesia untuk menyatakan Kemerdekan.
Soekarno dan Hatta yang belum mengetahui berita menyerahnya Jepang, tidak merespon secara positif. Mereka lebih memilih menunggu keterangan dari pihak Jepang yang ada di Indonesia. Saat itu, Sjahrir bertemu dengan Soekarno yang mengajaknya berkeliling Jakarta menggunakan mobil. Di perjalanan, Soekarno mengatakan bahwa Jepang tidak sedikit pun mengisyaratkan akan menyerah. Soekarno membantah informasi yang dibawa oleh Sjahrir yang mengatakan bahwa Jepang telah takluk kepada sekutu. Mengetahui Soekarno tidak mempercayainya, Sjahrir merasa kesal. Ia pun menantang Soekarno dengan mengatakan siap mengantarkannya ke kantor Kenpeitai, polisi rahasia Jepang untuk mengecek kebenaran informasi yang ia berikan walaupun sangat beresiko karena ia bisa saja ditangkap. Tapi, Soekarno menolak karena yakin bahwa Jepang belum menyerah. Itulah yang menyebabkan Sjahrir marah meski ia tidak menyampaikannya secara terbuka kepada Soekarno.
Pada 14 Agustus 1945, Sjahrir mendengar dari BBC, Jepang akhirnya menyerah kepada Sekutu. Buru-buru dia menemui Bung Karno, memintanya memproklamasikan kemerdekaan Indonesia saat itu juga. Karena menurut Sjahrir, saat itu merupakan saat yang tepat untuk memproklamasikan kemerdekaan karena secara 'psikologis' Jepang sudah tidak berdaya. Namun, Soekarno-Hatta terlalu percaya dengan janji Jepang melalui Jenderal Terauchi yang mengatakan bahwa kemerdekaan pasti diberikan.
Hal itu membuat Sjahrir kecewa. Dia lalu meminta dokter Soedarsono memproklamasikan kemerdekaan di alun-alun Kejaksan, Cirebon pada tanggal 15 Agustus 1945 dengan menggunakan teks proklamasi yang telah disusun sebelumnya oleh Sjahrir. Namun sayangnya, teks proklamasi tersebut telah hilang. Maka, di Cirebon, Indonesia merdeka lebih dulu dua hari dari Jakarta.
Pada 15 Agustus 1945 setelah pukul lima sore, Sjahrir segera menginstruksikan para pemuda untuk segera mempercepat persiapan demonstrasi. Namun, Sjahrir melihat gelagat Soekarno tidak sepenuh hati menyiapkan proklamasi. Hal tersebut membuat kecewa para pemuda yang setuju dengan gagasan Sjahrir.
Saat itu, ribuan pemuda telah berkumpul di pinggir kota. Mereka sudah bersiap untuk segera memasuki Jakarta setelah proklamasi. Namun ternyata, pukul enam kurang beberapa menit, Soekarno mengabarkan belum akan mengumumkan proklamasi. Soekarno menundanya sehari lagi. Kabar tersebut membuat para pemuda pengikut Sjahrir marah. Para pemuda mendesak proklamasi diumumkan tanpa Soekarno dan Hatta. Namun, Sjahrir tidak setuju karena khawatir akan terjadi konflik di antara bangsa sendiri.
Pada Pukul 02.00 tanggal 16 Agustus 1945, Soebadio salah satu pengikut setianya Sjahrir, datang ke Sjahrir dan mengusulkan penculikan Soekarno dan Hatta. Akan tetapi, Sjahrir tidak setuju dengan usul tersebut. Menurut Sjahrir, ia dapat menjamin bahwa esoknya bisa memaksa Soekarno untuk membacakan proklamasi. Kemudian Soebadio pergi, namun satu jam kemudia ia datang lagi dan mengabarkan bahwa sekelompok pemuda nekat menculik Soekarno dan Hatta. Sjahrir meminta jangan sampai ada pertikaian. Karena yang paling penting adalah proklamasi harus diumumkan secepatnya.
Soekarno dan Hatta pun diculik oleh sekelompok pemuda pada pukul 04.30 WIB tanggal 16 Agustus 1945 dan dibawa ke Rengasdengklok. Penculikan dilakukan oleh pengikut Sjahrir agar dapat memaksa Soekarno dan Hatta untuk memproklamasikan kemerdekaan secepatnya.
Setelah Soekarno dan Hatta kalah, para penculik itu mengizinkan mereka dibawa kembali ke Jakarta pada malam tanggal 16 Agustus. Setelah diadakan perundingan yang halus dan benar-benar informal dengan pihak berwajib Jepang, Sukarno dan Hatta mengadakan pertemuan dengan anggota PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dan sejumlah pemimpin pemuda di rumah Laksamana Maeda dan menyiapkan naskah proklamasi kemerdekaan yang akan diumumkan esok paginya.Â
Sjahrir tidak ikut hadir di rumah Laksamana Maeda pada malam hari tanggal 16 Agustus ketika rumusan proklamasi dirancang, demikian juga ia tidak hadir di rumah Sukarno pada pagi hari tanggal 17 Agustus waktu proklamasi itu dibacakan.
Alasan ia tidak ikut dalam perumusan dan pembacaan proklamasi adalah karena ia menyatakan tekadnya agar republik yang merdeka bebas dari kesan sebagai ciptaan Jepang. Tetapi, kepeduliannya tidak hanya beranggapan bahwa nasionalisme hanya berarti perjuangan untuk membebaskan diri dari kekuasaan asing. Baginya, kemerdekaan berkaitan dengan wawasan-wawasan tentang kebebasan individu dan perubahan sosial yang dapat menjadikan kemerdekaan itu sebagai suatu kemerdekaan yang sejati. Cita-cita ini mempengaruhi pandangannya mengenai cara pencapaian kemerdekaan itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H