Ketika tokoh-tokoh nasionalis bersedia melakukan kerja sama dengan pemerintah Jepang, sikap yang berbeda justru ditunjukkan oleh Sjahrir. Ia tetap teguh menunjukkan sikap nonkooperatif terhadap Jepang. Sjahrir berpendapat bahwa kaum penjajah tetap akan bersikap buruk terhadap jajahannya. Sjahrir aktif mengelola jaringan pergerakan bawah tanah kemerdekaan di berbagai lokasi di Jawa dan juga rutin menyusun dan menyebarkan berbagai materi propaganda termasuk melalui informasi yang diterima dari siaran luar negeri.
Sjahrir mendapatkan informasi itu melalui pesawat radio gelap yang tidak disegel oleh Jepang. Ketika Jepang menduduki Indonesia, tindakan pertama yang dilakukan oleh pemerintah Jepang adalah dengan menyegel pesawat radio. Dengan adanya pesawat radio gelap yang tidak disegel oleh Jepang, Sjahrir dapat menangkap berbagai macam informasi yang disampaikan oleh pihak Jepang.
Sebagai aktor gerakan bawah tanah, Sjahrir rajin menggelar diskusi. Menurut Des Alwi, anak angkat Sjahrir, selain di rumahnya sendiri, Sjahrir sering berdiskusi di daerah Manggarai, Jakarta. Â Jika tidak di manggarai, diskusi digelar di Sindanglaya, Cipanas, di tempat kerabat Sjahrir yang bernama Halim. Orang-orang yang mengikuti diskusi Sjahrir ini adalah mahasiswa kedokteran seperti Soedjatmoko, Abu Bakar Lubis, Subianto, dan Suroto Kunto.
Pada tahun 1944, tentara-tentara Jepang mulai mengalami kekalahan di berbagai tempat. Sjahrir tahu persis situasi sulit yang dihadapi oleh Jepang. Ia tidak pernah percaya Jepang akan bisa memenangkan perang melawan Sekutu. Karena ia tahu bahwa industri perang dan logistik Amerika Serikat jauh lebih unggul daripada Jepang.
Oleh karena itu, Sjahrir mulai melakukan persiapan untuk melakukan perlawanan dan mengambil tindakan tegas saat Jepang kalah perang. Untuk mengetahui perkembangan perang Jepang melawan Sekutu, Sjahrir mengandalkan siaran radio, termasuk dari BBC. Ia punya radio yang disembunyikan di dalam lemari. Agar tak kentara, radio itu sudah dibuka rangkanya dan disembunyikan di balik kain batik.
Mendesak Kemerdekaan
Pada suatu hari di tahun 1944, Sjahrir mendengar dari radionya bahwa Jepang hampir kalah. Mendengar kabar itu, Sjahrir ingin kemerdekaan Indonesia segera diproklamasikan. Namun Soekarno memilih menunggu lampu hijau dari Jepang. Sjahrir merasa kesal. Oleh karena itu, pada Juli 1944, ketika mendengar Tan Malaka ada di Bayah, Banten, menyamar sebagai Ibrahim, dia segera mencari Tan Malaka. Sjahrir meminta Tan Malaka memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, tapi Tan Malaka menolak karena ia sudah mempercayakannya kepada Soekarno.
Pada tanggal 6 Agustus 1945, bom atom pertama dijatuhkan di Hiroshima yang menewaskan 78.000 orang. Dan bom atom kedua jatuh di Nagasaki. Membuat Jepang menyerah tanpa syarat pada tanggal 15 Agustus 1945. Dengan dijatuhkannya bom atom di kota Hiroshima dan Nagasaki serta tidak adanya persiapan dari sekutu untuk cepat-cepat masuk kawasan Asia Tenggara ini memberikan suatu kesempatan bagi Indonesia untuk menyatakan Kemerdekan.
Soekarno dan Hatta yang belum mengetahui berita menyerahnya Jepang, tidak merespon secara positif. Mereka lebih memilih menunggu keterangan dari pihak Jepang yang ada di Indonesia. Saat itu, Sjahrir bertemu dengan Soekarno yang mengajaknya berkeliling Jakarta menggunakan mobil. Di perjalanan, Soekarno mengatakan bahwa Jepang tidak sedikit pun mengisyaratkan akan menyerah. Soekarno membantah informasi yang dibawa oleh Sjahrir yang mengatakan bahwa Jepang telah takluk kepada sekutu. Mengetahui Soekarno tidak mempercayainya, Sjahrir merasa kesal. Ia pun menantang Soekarno dengan mengatakan siap mengantarkannya ke kantor Kenpeitai, polisi rahasia Jepang untuk mengecek kebenaran informasi yang ia berikan walaupun sangat beresiko karena ia bisa saja ditangkap. Tapi, Soekarno menolak karena yakin bahwa Jepang belum menyerah. Itulah yang menyebabkan Sjahrir marah meski ia tidak menyampaikannya secara terbuka kepada Soekarno.
Pada 14 Agustus 1945, Sjahrir mendengar dari BBC, Jepang akhirnya menyerah kepada Sekutu. Buru-buru dia menemui Bung Karno, memintanya memproklamasikan kemerdekaan Indonesia saat itu juga. Karena menurut Sjahrir, saat itu merupakan saat yang tepat untuk memproklamasikan kemerdekaan karena secara 'psikologis' Jepang sudah tidak berdaya. Namun, Soekarno-Hatta terlalu percaya dengan janji Jepang melalui Jenderal Terauchi yang mengatakan bahwa kemerdekaan pasti diberikan.
Hal itu membuat Sjahrir kecewa. Dia lalu meminta dokter Soedarsono memproklamasikan kemerdekaan di alun-alun Kejaksan, Cirebon pada tanggal 15 Agustus 1945 dengan menggunakan teks proklamasi yang telah disusun sebelumnya oleh Sjahrir. Namun sayangnya, teks proklamasi tersebut telah hilang. Maka, di Cirebon, Indonesia merdeka lebih dulu dua hari dari Jakarta.