Media sosial (medsos) pada dasarnya merupakan sebuah cara untuk berkomunikasi secara digital (online), membangun dan menjaga hubungan dengan orang lain serta mempromosikan produk atau jasa kepada konsumen.Â
Medsos juga merupakan platform yang diharapkan dapat memberikan kemudahan dan dampak positif kepada pengguna atau pribadi untuk dilirik oleh public. Contoh seperti tokoh public, tokoh politik atau influencer. Pengguna aktif di medsos pada Januari 2022 mencapai 191 juta akun.Â
Pengguna medsos ada yang cenderung untuk menunjang gaya hidup, termasuk memamerkan kekayaan dan kemewahannya. Hal ini dilakukan sebagai bentuk menjadi diri sendiri untuk mencapai harga diri yang tinggi.Â
Namun, harga diri yang tinggi bisa menimbulkan aspek negatif, seperti etnosentrisme ekstrim, narsisme, pamer kekayaan lewat media sosial atau atau perilaku flexing.Â
Koin Perak - Harta Kekayaan di Pertengahan Bulan Maret 2023
Perilaku flexing atau perilaku pamer menunjukan penampilan yang tidak biasa atau tidak pantas. Misalnya suka memperlihatkan sesuatu barang yang mahal yang dimiliki, suka menarik perhatian orang lain, suka cerita kebaikan dirinya, atau hal lain yang tidak umum. Flexing ini biasanya berhubungan dengan perilaku oleh influenser di medsos.
Inluencer di Indonesia sebagian sangat suka melakukan flexing di medsos. Wolipop.detik.com menulis bahwa ada influenser harus berurusan dengan kepolisian, dikarenakan kekayaannya merupakan hasil penipuan atau tindakan lain yang melanggar hukum. ada juga influeser yang tertipu.Â
Jika diperhatikan dari unggahan konten yang dimiliki memang mengandung flexing. Tindakan semacam ini dinilai sebagai sesuatu yang diluar batas normal.Â
Ketidaknormalan influenser ini ada yang sampai dikecam oleh masyarakat. Perkembangan situasi saat ini membuat masyarakat biasa mempertontontonkan semua hal. Tapi tentu saja itu tidak normal jika mengganggu kegiatan individu atau menunjukkan perilaku yang cenderung mendorong keinginan.  Coba kita melihat dari sisi psikologi sosial tindakan flexing  ini dengan harga diri.
Self-esteem
Self-esteem atau harga diri merupakan memperlakukan diri dan memberi harga untuk diri sendiri. Harga diri juga bisa dikatakan sikap yang dilakukan dalam menggambarkan cara  individu menghargai dirinya sendiri sebagai individu baik dalam kemampuan, nilai, dan kompetensi. Orang yang lebih menghargai dirinya bisa ditunjukan dengan sikap mandiri, bersifat terbuka dan lebih realistis dalam berbagai situasi.Â
Pribadi semacam ini sudah dikatakan oleh Mary H. Guindon bahwa pribadi ini memiliki Self-esteem yang tinggi. Sementara orang dengan nilai self-esteem yang rendah cenderung emosi atau terganggu dengan kritikan.Â
Orang yang memiliki nilai self-esteem rendah akan bersikap lebih hati-hati, protektif, dan konservatif. Pribadi ini kecenderungan rentan atau mudah depresi/stres, mudah terpengaruh menggunakan narkoba, dan bahkan cenderung melakukan kekerasan. Orang yang memiliki nilai self-esteem rendah lebih banyak mengeluh dan tidak merasa bahagia.Â
Berbeda dengan yang memiliki nilai self-esteem yang tinggi selalu beruntung, selalu berpersepsi yang akurat dan bisa dibenarkan apabila berhubungan dengan martabat pribadi, keberhasilannya. Namun self-esteem yang tinggi juga bisa membuat dirinya sombong, merasa lebih baik dari orang lain dengan sikap tidak mendasar.
Self-esteem atau penghargaan diri yang tinggi dapat menimbulkan kecenderungan perilaku yang ingin memuaskan diri dan orang lain. Hal ini dianggap "baik" oleh yang bersangkutan. Semakin tingginya self-esteem individu, dapat menarik individu lain untuk tertarik padanya. Namun umpan balik dari orang lain merupakan proses komunikasi dan reaksi akibat komunikasi. Hal ini menandakan adanya perilaku pribadi atau sebaliknya bisa menimbulkan hubungan keduanya.
Baca Juga:Â Motivasi Belajar Mahasiswa, 6 Faktor Penyebabnya
Faktor Yang Mendukung Perilaku Flexing
Tindakan pamer yang biasa dilakukan dimedsos sebenarnya menjadi target utama dalam konten. Hal ini juga dikarenakan dalam medsos terdapat fitur-fitur reaksi dan kolom komentar sehingga penonton atau followers dapat memberikan tanggapannya.Â
Tanggapan dari memberikan masyarakat ini dapat memberikan keuntungan bagi influerser. Respon masyarakat khususnya di medsos, menjadi alasan timbulnya atau meningkatkan perilaku flexing.
Usaha Pengendalian
Penghargaan diri yang tinggi berpengaruh pada perilaku flexing. Flexing selama ini dianggap berpengaruh positif bagi individu atau kelompok tertentu.Â
Namun kenyataannya, self-esteem tinggi bisa menimbulkan optimism dan kepercayaan diri yang ekstrem. Situasi ini menimbulkan hal negatif yaitu motivasi yang tinggi dengan ketekunan disertai rasa optimisme yang tidak realistis. Perilaku ini yang dikatakan dalam buku social psichology ini.Â
Selanjutnya dalam buku Life-Span Development mengungkapkan bahwa self-esteem merujuk pada sikap kesombongan, merasa diri besar, superioritas pada orang lain dan sikap narsistik. Pribadi narsistik tergolong gangguan mental.Â
Gangguang ini perlu adanya upaya pengendalian sehingga mengurangi efek negatifnya. Cara mengendalikannya yakni dengan mengontol pandangan pada diri supaya tidak menjadi superior dari orang lain.Â
Selain itu, kontrol perilaku juga perlu dilakukan oleh para influencer demi mempertahankan umpan balik (feedback) positif yang selama ini diperolehnya. Demikian tulisan ini, semoga bermanfaat, jangan lupa tanggapan dan komentarnya.
Baca Juga:Â Aku, Kamu dan Sebuah SenyumanÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H