Dalam masyarakat modern yang terus berkembang, perawatan kesehatan menjadi aspek penting yang tidak dapat diabaikan, termasuk perawatan kehamilan dan persalinan. Namun, ketika berbicara tentang dokter obgyn laki-laki yang menangani ibu hamil dan bersalin, muncul berbagai pandangan dan perdebatan, terutama dari perspektif agama Islam. Apakah ada ruang toleransi dalam praktik agama untuk menghadapi kebutuhan medis yang mendesak, atau apakah ada batasan yang tetap harus dijaga?
Menurut mazhab Syafi'i dalam Kitab Al-Umm, batasan aurat wanita memiliki cakupan yang cukup ketat. Aurat wanita di hadapan laki-laki yang bukan mahram mencakup seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan, sehingga wanita wajib menutupi seluruh tubuhnya dengan pakaian yang tidak memperlihatkan bentuk tubuh dan tidak tembus pandang.(1) Hal ini berdasarkan pada firman Allah berikut:
"Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya" (QS. An Nur: 31).Â
Menurut para ahli tafsir, yang dimaksud adalah wajah dan kedua telapak tangan. Keduanya tidak termasuk aurat karena adanya keperluan yang mengharuskan bagian tersebut untuk terlihat.
Di hadapan sesama wanita Muslim, aurat yang harus ditutupi adalah bagian tubuh antara pusar dan lutut, sehingga bagian tubuh lainnya diperbolehkan untuk diperlihatkan. Namun, di hadapan mahram dan sesama wanita non-Muslim, pendapat yang lebih ketat menyarankan agar wanita tetap menutupi lebih banyak tubuhnya untuk menghindari potensi fitnah.
Ketika seorang dokter obgyn laki-laki menjalankan tugas-tugasnya dalam melakukan perawatan kehamilan dan persalinan, tugas tersebut sering kali melibatkan melihat dan menyentuh aurat wanita. Ini termasuk pemeriksaan fisik yang melibatkan area perut dan panggul. Bahkan selama proses persalinan, dokter obgyn laki-laki harus menangani proses kelahiran yang memerlukan intervensi langsung pada area kewanitaan.
Perawatan kehamilan dan persalinan oleh dokter obgyn laki-laki diperbolehkan dalam Islam karena ada pengecualian yang mempertimbangkan jika tidak tersedia dokter wanita Muslimah yang kompeten atau dalam situasi darurat di mana penanganan medis segera diperlukan untuk menyelamatkan nyawa ibu dan bayi. Prinsip dasar dalam Islam adalah menjaga kesehatan dan nyawa ibu dan bayi, yang dalam situasi tertentu bisa lebih diutamakan dibandingkan batasan aurat. Dalam kondisi darurat, hukum Islam memberikan keringanan atau rukhsah untuk melakukan tindakan yang biasanya dilarang, demi mencegah bahaya yang lebih besar. Salah satu dalil yang mendukung hal ini adalah firman Allah berikut:
"Barang siapa dalam keadaan terpaksa, padahal dia tidak menginginkannya dan tidak melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Q.S. Al-Baqarah:173).(2)
Selain itu, terdapat juga kaidah fiqh yang menyatakan:
"Kebutuhan darurat membolehkan sesuatu yang terlarang."(3)
Kaidah ini menegaskan bahwa dalam kondisi darurat, tindakan yang biasanya dilarang dapat dibolehkan untuk mencegah bahaya atau kerugian yang lebih besar. Dalam konteks medis, menjaga kesehatan dan keselamatan ibu dan bayi adalah prioritas utama.
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Bassam rahimahullah menyatakan bahwa darurat adalah kondisi yang memungkinkan seseorang melakukan tindakan yang biasanya terlarang.(4) Dengan kata lain, perkara yang dilarang dalam syariat bisa dilakukan jika ada kebutuhan mendesak atau situasi darurat. Ini berarti, jika seseorang tidak melakukan hal yang dilarang itu, ia bisa menghadapi kematian atau bahaya serupa. Secara singkat, darurat atau kebutuhan mendesak membolehkan seseorang melakukan hal-hal yang biasanya tidak diperbolehkan dalam syariat.
Para ulama telah menetapkan beberapa syarat yang harus dipenuhi ketika seorang wanita melakukan perawatan kehamilan dan persalinan dengan dokter obgyn laki-laki. Syarat-syarat ini bertujuan untuk menjaga prinsip-prinsip syariat Islam, khususnya terkait dengan aurat, sambil tetap memastikan kesehatan dan keselamatan ibu dan bayi. Beberapa syarat ketika wanita berobat dengan dokter laki-laki sebagai berikut:
- Jika dokter wanita Muslimah tidak tersedia, maka bisa beralih ke dokter wanita non-Muslim. Jika tidak ada juga, dokter laki-laki Muslim menjadi pilihan berikutnya, dan terakhir dokter laki-laki non-Muslim. Prinsipnya adalah memprioritaskan tenaga medis yang paling sedikit menimbulkan pelanggaran terhadap aurat.
- Mengenai izin untuk menyentuh dan memeriksa pasien, serta mendapatkan perawatan medis dari dokter lawan jenis yang muslim, diperbolehkan. Jika dalam keadaan darurat, diperbolehkan juga untuk berobat ke dokter dari golongan dzimmi. Informasi lebih lanjut mengenai hal ini dapat diambil dari penjelasan berikut ini:
"Jumhur fuqaha' berpendapat bahwasannya boleh bagi dokter ketika adanya hajat yang mendesak untuk membuka aurat pasien baik laki-laki maupun perempuan, baik yang berjenis kelamin sama dengannya atau berjenis kelamin berbeda. Para fuqaha' selanjutnya berpendapat: .....boleh bagi seorang dokter muslim jika tidak ditemukan dokter perempuan untuk mengobati pasien wanita ajnabiyah yang muslim, serta melihatnya dan menyentuhnya sekedar hajar kebutuhan yang mendesak, dengan catatan jika tidak ditemukan adanya dokter perempuan. Dan dalam kondisi ketiadaan dokter muslim, boleh periksa ke dokter dzimmy (non-muslim)"(5)
- Selama pemeriksaan atau intervensi medis, sebaiknya didampingi oleh suami sehingga ibu hamil dan dokter laki laki tidak hanya berdua dalam ruang praktik. Selain itu, pendampingan oleh mahram juga penting seperti orangtua dan keluarga atau tenaga medis seperti perawat atau bidan, untuk menjaga privasi dan mengurangi potensi pelanggaran aurat.
Ketentuan ini berasal dari penjelasan yang terdapat dalam kitab Hsyiyah al-Bajury, yang mencakup beberapa poin berikut:
"Hukumnya boleh, melihatnya dokter ke perempuan bukan mahram pada anggota badan yang dibutuhkan untuk pengobatan, bahkan di area farji. Namun demikian itu (harus) disertai kehadiran mahram, suami, atau sayid, (dengan catatan) jika tidak dijumpai adanya perempuan yang bisa mengobatinya."(6)
- Dokter laki-laki harus bersikap profesional dan menjaga etika medis dengan tidak memperpanjang durasi pemeriksaan atau intervensi lebih dari yang diperlukan. Setiap tindakan harus dilakukan dengan tujuan medis yang jelas dan dalam waktu sesingkat mungkin.
- Kontak fisik antara dokter laki-laki dan pasien wanita harus dibatasi hanya pada area yang benar-benar diperlukan untuk pemeriksaan atau intervensi medis. Bagian tubuh lainnya harus tetap tertutup.
- Perawatan oleh dokter laki-laki harus didasarkan pada kebutuhan medis yang mendesak untuk mendukung kesehatan dan keselamatan ibu dan bayi. Jika tidak ada kebutuhan mendesak, sebaiknya tetap mencari tenaga medis perempuan.
Sebagai kesimpulan, perawatan kehamilan dan persalinan oleh dokter obgyn laki-laki diperbolehkan dalam Islam, khususnya dalam situasi darurat atau keterbatasan sumber daya medis. Meskipun demikian, sangat penting untuk tetap mematuhi prinsip-prinsip syariat Islam yang ketat terkait dengan aurat wanita. Hal ini mencakup upaya maksimal untuk memilih tenaga medis perempuan, didampingi oleh suami atau pendamping perempuan selama pemeriksaan, menjaga sikap profesional, serta meminimalkan kontak fisik yang tidak diperlukan. Dengan demikian, meskipun kebutuhan medis dapat menjadi prioritas utama dalam situasi tertentu, tetap harus ada upaya yang sungguh-sungguh untuk menghormati dan menjaga nilai-nilai agama. Pendekatan ini memastikan bahwa kesejahteraan ibu dan bayi terpenuhi tanpa mengabaikan kepatuhan terhadap ajaran Islam.
Daftar Pustaka
1. Â Â Â Â Asy-Syafi'i I. AL UMM. Jakarta: PUSTAKAAZZAM; 2017.
2. Â Â Â Â RI KA. Al-Qur'an dan Terjemahannya. Jakarta: Kementrian Agama RI; 2024.
3. Â Â Â Â Burnu MS ibn A. al-Wajiz fi idah qawa`id al-fiqh al-kuliyyah. Mu'assasat al-Risalah; 1998.
4. Â Â Â Â Al-Bassam SA bin A. Taudhih al-Ahkam fi Bulugh al-Maram. Jeddah: Dar al-Qiblah li ats-Tsaqafah al-Islamiyah; 1996.
5. Â Â Â Â Al-Mishri BAII bin M bin AA-BA-M. Hasyiyat al-Bajuri ala Ibni Qasim. Juz 2. Beirut: Daru al-Kutub al-'Ilmiyyah; 1999. 99 hal.
6. Â Â Â Â Al-Islamiyyah W al-auqaf wa al-S-n. al-Mausatu al-Fiqhiyah. Juz 31. Kuwait: 'Umm-Ghilah; 1994. 56 hal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H