Dalam mitologi Yunani, diceritakan, Narkissos adalah seorang pemuda yang sangat tampan, anak dari dewa sungai Cephissus dan peri Liriope. Karena ketampanannya banyak perempuan dan peri yang jatuh hati kepadanya. Namun, tidak ada satupun cinta tersebut dibalas oleh Narkissos.
Salah satu peri yang jatuh hati pada Narkissos adalah Echo. Echo si peri hutan, yang dikutuk oleh Hera istri Zeus. Dia hanya bisa mengulangi kata-kata orang lain dan tidak bisa berbicara sendiri. Echo juga jatuh cinta pada Narkissos. Karena kutukannya, dia tidak bisa mengungkapkan perasaannya secara langsung. Pada akhirnya Narkissos menyadari Echo jatuh hati kepadanya. Tidak berbeda dengan yang lain, dengan angkuh Narkissos menolak cinta Echo.
Suatu hari, Narkissos melihat bayangannya sendiri di permukaan air. Narkissos begitu terpesona dengan bayangan yang dilihatnya, hingga sampai terobsesi. Dia terus-menerus memandangi bayangannya, tanpa makan, tanpa minum, hingga akhirnya dia meninggal dunia di sana.
Dari kisah tersebut muncul istilah Narsisme dalam konsep Psikologi, narsime merupakan salah satu bentuk gangguan kepribadian. Para pengidap narsisme, memiliki kekaguman yang sangat  besar terhadap dirinya sendiri, ada perasaan superior dan perasaan lebih baik dari pada orang lain. Dengan demikian, mereka akan selalu membanggakan pencapaian pribadinya, menganggap dirinya sangat penting sehingga tidak ada orang lain yang mampu seperti dirinya.
Perilaku narsistik dapat kita lihat dalam berbagai kajadian. Dalam dunia kerja misalnya, ketika kalian memiliki teman kerja yang selalu merendahkan kontribusi orang lain, dan menganggap kontribusinya yang paling penting, kita bisa curiga, kalau dia mengidap gangguan kepribadian narsistik. Â Di media sosial, sering kita jumpai orang yang sangat rajin memposting dirinya dan berharap akan validasi serta pujian, bisa jadi mereka juga pengidap narsisme.
Dalam dunia politik perilaku narsistik ini sering ditemukan pada pemimpin dari berbagai belahan dunia. Mereka menganggap hanya dirinya yang dapat memimpin negara, orang lain tidak ada yang sebaik dirinya. Karena pemikiran tersebut, dengan segala upaya mereka mempertahankan kekuasaan.
Adolf Hitler misalnya. Hitler terobsesi dengan citranya dan sering kali memanipulasi media untuk menciptakan kultus pribadi. Dia sangat sensitif terhadap kritik dan menunjukkan kurangnya empati, terutama dalam keputusan-keputusannya yang menyebabkan Holocaust dan Perang Dunia II.
Di korea utara ada Kim Jong Il dan anaknya Kim Jong Un. Kedua pemimpin ini membangun kultus pribadi yang ekstrem di sekitar diri mereka, dengan propaganda yang menggambarkan mereka sebagai pemimpin super. Mereka menuntut ketaatan dan penghormatan total dari rakyat mereka, sering kali melalui indoktrinasi dan kekerasan.
Di Uganda, ada Idi Amin. Idi Amin melihat dirinya sebagai pemimpin besar, dengan memberikan gelar-gelar besar kepada dirinya sendiri. Dia memerintah dengan brutal, menghilangkan oposisi melalui pembunuhan massal dan penganiayaan, serta mempromosikan citranya sebagai sosok yang kuat dan tak terkalahkan.
Di sebuah negeri antah barantah, kita mendengar. Ada seorang kepala negara, yang berusaha memperpanjang kekuasaaanya menjadi tiga periode, dengan alasan rakyat yang menginginkan. Walaupun pada akhirnya upaya tersebut gagal. Tidak berputus asa, sang kepala negara masih ingin memperpanjang kekuasaannya dengan menunda pemilu, yang akhirnya gagal juga.
Apakah berhenti berusaha?. Ternyata tidak, gagal memperpanjang kekuasannya sendiri, gini giliran anaknya yang maju. Melalui  berbagai intrik kekuasaan, dengan cara mengubah konstitusi akhirnya anaknya berhasil menang sebagai orang kedua.
Dengan terpilihnya anaknya apakah selesai?. Ternyata tidak juga. Melalui cara yang hampir serupa sang penguasa berusaha memajukan anak keduanya yang belum cukup umur, untuk maju dalam proses pemilihan kepala daerah. Utuk sementara upaya ini gagal. Karena rakyat yang sering dia katakana puas dengan kinerjanya, ternyata memilih turun ke jalan menetang upaya tersebut.
Dengan berbagai upaya yang dilakukan sang kepala negara, kita bisa menduga mereka sekeluarga telah mengidap narsisme politik. Menganggap hanya keluarganya yang bisa mengurus negara, keluarganya adalah keluarga terbaik sehingga semua harus jadi pejabat, dari anak, menantu, mungkin nanti juga cucunya.
Tapi, jangan-jangan, sebagaian besar orang yang memperoleh kekuasaan akan mengidap gangguan narsisme dari taraf ringan sampai akut?. Termasuk yang menulis artikel ini juga?.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H