Oleh Maulana Kurnia Putra & Umi
(Kontributor SObat Yogyakarta)
"Michiko, andaikata kamu muslim dan ikut mengaji Al-Qur'an, mungkin Jepang tidak akan menjajah Indonesia."
Seorang ibu paruh baya biasa mengajarkan Al-Qur'an di rumahnya saban sore di satu kampung di Banyuwangi. Rumah itu penuh dengan anak-anak yang masih berusia sekitar 7-14 tahunan. Di antara anak-anak yang mengaji ada seorang gadis, berambut lurus dan bermata sipit keturunan Jepang bernama Michiko yang berusia sekitar 10 tahun, yang ikut bermain di lingkungan anak-anak mengaji.
Sang Ibu yang seorang guru ngaji kala itu sudah aktif mengajar Al-Qur'an setiap sore hari di tengah kerja-kerja paksa (romusha) yang dilakukan Jepang. Trauma atas kekejaman penjajahan Jepang sebelum kemerdekaan 1945 masih melekat kuat pada ingatan sang Ibu. Sang Ibu pun berandai, "Michiko, andaikata kamu muslim dan ikut mengaji Al-Qur'an, mungkin Jepang tidak akan menjajah Indonesia."
Tetapi tentu saja Michiko hanyalah seorang gadis kecil yang tak paham kekejaman yang dilakukan pada masa penjajahan Jepang. Hingga ia tetap nyaman berkawan dengan lingkungannya yang sebagian besar adalah masyarakat Jawa Muslim di Banyuwangi.
Ucap "andai" dari sang ibu pengajar Al-Qur'an itu pun melekat kuat di benak Noor Wachid, sang Anak. Kalimat yang terucap pada satu sore Banyuwangi tahun 1958 itu terus dibawa dan menjadi sulut semangat perjalanan dakwah Noor Wachid. Noor Wachid sekarang sudah berusia 73 tahun dan tekadnya untuk mencetak kader-kader dakwah Al-Qur'an terus dipegang. Hingga tahun 2020, Noor Wachid telah mendirikan tempat-tempat belajar Al-Qur'an di berbagai daerah sebagai jalan dakwahnya meneruskan Sang Ibu yang sudah dimulai beberapa dekade lalu.
"Wong ora biso bahasa Jepang, ora tahu hubungan karo wong Jepang kok reko-reko gawe metode belajar Al-Qur'an bahasa Jepang," begitulah selalu teman-teman mengatakan pada diri Noor Wachid. Namun tekadnya sudah begitu kokoh, tak terkoyak oleh omongan sana-sini.
Kini tepat pada tahun 2020 perjuangan Noor Wachid membuat metode membaca Al-Qur'an berbahasa Jepang dan Korea telah dirampungkan. Tepat enam tahun lebih kertas bendel-bendel tebal itu ia kerjakan sampai larut malam itu kini telah dijilid rapi tanpa terlihat tempelan sana-sini menjadi sebuah metode A-I-U Houhou. Sebuah metode belajar membaca Al-Qur'an yang unik diciptakan untuk saudara Muslim "Michiko" di Jepang.
Noor Wachid, akrab dipanggil Ustadz Noor, mulai menceritakan perjalanannya membuat metode A-I-U Houhou pada satu malam di kantor PPPA Daarul Qur'an Yogyakarta. Noor Wachid berharap metode A-I-U Houhou yang didesainnya diharapkan bisa dibantu untuk sampai dan disyiarkan oleh jaringan dakwah PPPA Daarul Qur'an dan SedekahOnline di Jepang dan Korea.
Â
"Yang saya hadapi dari calon-calon murid yang akan belajar dengan metode ini adalah, pertama, orang Jepang dimana belum banyak lingkungan sekitarnya yang bisa membaca Al-Qur'an. Kedua, susah mencari pengajar Al-Qur'an di Jepang. Ketiga, yang bisa membaca Al-Qur'an belum tentu mau mengajarkan. Keempat, niat belajar Al-Qur'an minim karena beranggapan itu adalah hal yang sulit, padahal menurut saya tidak, karena jumlah huruf hijaiyah cuma 28 sedangkan huruf Jepang masih ada Hiragana dan Katakana. Dengan metode A-I-U Houhou saya berharap akan lebih mudah dipahami untuk belajar baca Al-Qur'an," ujar Ustadz Noor yang membawa dua bendel hasil karyanya yang telah dijilid rapi.
Tentu saja hasil dua bendel buku metode A-I-U Houhou itu telah mengalami perjalanan panjang dan berliku. Ustadz Noor memulainya enam tahun lalu, hanya tekad kuat yang membawanya, tanpa bekal kemampuan bahasa Jepang, ia memulainya dengan blusukan sana-sini. Beberapa metode baca Al-Qur'an yang pernah dipelajarinya ia gunakan sebagai referensi menyusun metode A-I-U Houhou-nya. Mulai dari metode Iqro, metode Ummi, Qira'ati, sampai Al-Barka. Berkat kesukaannya membaca berbagai buku dan literatur ia pun menggunting dari setiap buku-buku yang dibacanya setiap kata yang diperlukan, ditempel sana-sini dalam kertas HVS lalu di fotocopy untuk kemudian dijilid.
Noor Wachid bukanlah seorang guru, ia menyelesaikan pendidikannya di Madrasah Muallimin Muhammadiyah kemudian melanjutkan ke IKIP Yogyakarta (sekarang UNY) dan lulus tahun 1975. Ia melanjutkan hidupnya dengan bertanam buah nanas di Banyuwangi. Keputusan mulai bertani ia ambil lantaran keinginannya untuk pergi ke tanah suci. Ingatannya akan cerita sang guru SD tentang hebatnya tanah Raudhatul Jannah atau sering disebut dengan Raudhah, dimana merupakan tempat di kompleks masjid Nabawi yang mustajab untuk berdoa, menjadi motivasi kuatnya mengunjungi dua tanah suci, Mekah dan Madinah.
Tepat pada 2014, impian Ustadz Noor mengunjungi kota suci tersampaikan. Bersama istrinya, ia pergi dan berdoa di Raudhah, menyaksikan keindahan Raudhah yang diceritakan gurunya semasa sekolah dasar, juga tentang harapan dan impiannya membuat keinginan Sang Ibu menjadi kenyataan. Pontang-panting ia lakukan, bertemu dengan orang-orang yang tidak disangkanya di tengah jalan, serta dipertemukan dengan orang-orang yang bergelut di bidang bahasa dan sastra Jepang di Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta.
"Saya ini nekat aja tidak punya kenalan, terus ditunjukan untuk ketemu ini-itu. Saya biasa makan di kantin fakultas bahasa UGM itu dan tanya-tanya ke mahasiswa, saya minta tolong nerjemahin," terang Ustadz Noor, pendiri Pendidikan Al-Qur'an Nitikan (PAN) pada 1992.
Setelah mengerjakan metode baca Al-Qur'an A-I-U Houhou berbahasa Jepang dan Korea, kakek dua cucu ini juga bercita-cita menerjemahkannya dalam bahasa Mandarin, Perancis, dan Jerman. Bismillaah, dua bendel buku A-I-U Houhou berbahasa Jepang dan Korea pun segera akan dikirim untuk dikaji jaringan Muslim Indonesia di Jepang sebelum disebarluaskan. Insya Allah, ikhtiar Ustadz Noor bisa menjadi salah satu jalan mendakwahkan Al-Qur'an juga Tahfidzul Qur'an untuk masyarakat Muslim yang lebih luas. Aamiin. Mabruk![]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H