Mohon tunggu...
Sedardjuningsih
Sedardjuningsih Mohon Tunggu... PNS -

Seorang yang tertarik mempelajari tentang Ketauhidan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pelajaran dari Arena Ice Skating

1 September 2015   00:16 Diperbarui: 1 September 2015   00:40 283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah saya menginjak usia 45 th, barulah saya memiliki kesempatan untuk menginjakkan kaki di arena Ice Skating. Pada waktu itu, kami kedatangan tamu-tamu kecil kami, teman dari anak-anak kami yang masih ingin menghabiskan waktu bersama sebelum mereka kembali disibukkan dengan kegiatan-kegiatan di sekolah mereka masing-masing.

Kami tiba sekitar pukul 17.00 di BX Rink BXC Bintaro, ternyata arena sedang dibersihkan untuk dilakukan pelapisan es kembali dan baru dibuka kembali pukul 17.30. Kami berjalan-jalan di sekitar vendor yang lain sambil menunggu waktu tiket penjualan kembali dibuka.

Akhirnya loket penjualan tiket pun dibuka kembali pada pukul 17.25. Sebagai bentuk solidaritas, kami semua mengantri untuk membeli tiket. Awalnya kami hanya membelikan tiket untuk anak-anak saja, sementara kami -  berdua dengan suami -  berencana hanya menonton dan mungkin kami akan membeli secangkir kopi hangat sambil berbincang-bincang dan mengawasi anak-anak menghabiskan waktu mereka di arena Ice Skating. Namun sebelum itu, kami bermaksud menyaksikan dahulu anak-anak bermain di arena Ice Skating.

Kami menunggu agak lama sampai akhirnya muncullah salah satu rombongan dari anak-anak kami. ‘Ah itu mereka rupanya….’ Kami berfikir mengapa lama sekali mereka muncul di arena.

Yang pertama kami lihat muncul adalah Fira, teman anak kami, disusul Rozan dan Bhrissa. Ah kemana anak-anak kami? Akhirnya Ame muncul dan setelah beberapa saat muncullah Salsa dan Fadhila.

Kami memperhatikan anak-anak yang mulai belajar beradaptasi dengan sepatu dan arena Ice Skating. Hmm….. banyak hal yang harus disesuaikan rupanya. Masing-masing dari mereka mencoba beradaptasi dengan cara mereka masing-masing. Ada yang dalam sekejap berani mencoba meluncur, kelihatannya dia tipe seorang risk taker – seseorang yang berani mengambil risiko – sesuatu hal yang memang kita perlukan dalam menjalani kehidupan ini, karena kalau tidak, bisa-bisa kita hanya diam di tempat dan tidak mampu bergerak ke mana-mana. Hanya bisa menonton orang lain tanpa melakukan action apa-apa dari diri kita sendiri.

 

 

Tipe yang lain muncul : Sangat berhati-hati – akibatnya gerakannya lamban sekali dan di wajahnya terpancar ketakutan serta ketidaktenangan. Wah padahal kita pergi ke arena Ice Skating kan untuk Having Fun, bukan untuk merasa ketakutan ataupun ketidaktenangan. Mengapa bisa demikian?

Aneka pemandangan dari arena Ice Skating terpampang di hadapan kami. Ketika kami melihat wajah-wajah ketakutan mereka untuk mencoba meluncur di arena, kami tertawa cekikikan. Seolah itu adalah pemandangan yang lucu. Kami berdua tertawa-tawa sampai tak terasa kadang air mata kami ikut berderai kareka mentertawakan mereka.

Akhirnya Salsa, salah satu anak kami meminta kami berdua untuk mencoba bergabung di arena agar bisa merasakan sendiri bagaimana situasi yang dihadapi oleh anak-anak.

Kami pun memutuskan untuk mencoba, walaupun tanpa persiapan pakaian yang seharusnya kami pakai bila bermain Ice Skating, kami tidak membawa kaos kaki dan jacket. Untunglah di situ kami bisa membeli kaos kaki yang memang disediakan bagi para pengunjung tanpa persiapan seperti yang terjadi pada diri kami.

Kami pun membeli tiket, kaos kaki dan sewa locker untuk menyimpan barang bawaan kami. Kami pergi menuju counter penyewaan sepatu Ice Skating dan mengukur kaki kami agar mendapat ukuran sepatu yang pas bagi kami.

Setelah kami memperoleh sepatu, kami memakainya dan mencoba beradaptasi dengan sepatu tersebut. Sepatu dengan alas pisau bermata tajam untuk meluncur di arena Ice Skating. Akhirnya tibalah saya di arena ……Tara……ketika pertama kali saya  menginjakkan kaki di atas es, sedikitpun tidak terbayang oleh saya akan terasa sangat….licin. OMG….padahal saya sejak dulu kala selalu “takut jatuh”. Tidak lama setelah menginjakkan kaki di arena saya pun terjatuh. Ternyata untuk bangun lagi dari jatuh tersebut, kita harus tahu ilmunya bagaimana bangun dari jatuh tersebut. Karena saya dan Salsa yang bermaksud membantu saya berdiri kembali belum tahu ilmu bangun dari jatuh di arena Ice  Skating, maka saya belum bisa berdiri kembali. Tidak berapa lama, datanglah petugas BX Rink untuk memberikan ilmu bangun dari jatuh di arena Ice Skating. Ternyata saya harus bertekuk lutut terlebih dahulu, kemudian menjejakkan sebelah kaki ke es dan tangan berpegangan pada tepi pembatas arena, baru kemudian berdiri kembali. Alhamdulillah….

Kemudian saya mencoba berjalan perlahan-lahan, namun sungguh kelicinan arena itu sangat menakutkan saya. Kadang saya tidak mampu mengontrol kaki saya sendiri, maksud hati ingin merapat, eh kaki malah melebar, sehingga saya hampir melakukan “split” di atas es. Kegalauan makin bertambah, mengingat usia saya yang sudah tidak muda lagi. Saya mencoba beberapa saat lagi, akhirnya terjatuh untuk kedua kali. Saya takut tulang ekor saya mengalami cidera, ataupun jatuh yang mengakibatkan tulang saya memar-memar, tentu recovery bagi orang seusia saya akan sangat lama dan banyak hal yang saya fikirkan sehingga menyurutkan saya untuk terus berlatih Ice Skating.

Akhirnya saya memutuskan untuk menonton saja orang-orang yang berada di arena Ice Skating, namun dengan cara pandang yang berbeda dari cara pandang saya sebelum saya mencoba sendiri bagaimana situasi di arena Ice Skating.

Saya menjadi lebih bisa menghargai mereka yang berada di arena itu dan tidak lagi mampu untuk mentertawakan mereka. Inilah, salah satu pembelajaran yang dapat saya ambil dari Ice Skating ini.

Kalau kita mau merenung sejenak, maka sebenarnya dalam kehidupan ini, kitapun sering kali mentertawakan orang-orang yang sedang berada di arena ujian kehidupan. Begitu mudahnya kita mentertawakan mereka, namun ternyata ketika kita berada di tempat yang sama dengan arena ujian mereka, barulah kita menyadari betapa berat ujian tersebut, sehingga kita tidak lagi mampu mentertawakan orang-orang yang sedang berada di arena ujian kehidupan, setelah kita mampu memahaminya. Untuk dapat memahami tersebut, kadang kita harus merasakan sendiri bagaimana hal itu berproses, biasanya hal ini akan menjadi pembelajaran yang sangat menghujam, karena kita telah isbat…karena kita telah membuktikan ke dalam diri kita sendiri….

 

Jakarta, 24 Juli 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun