Mohon tunggu...
SEBASTIAN TEGAR TRI PUTRANTO
SEBASTIAN TEGAR TRI PUTRANTO Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar Sekolah

I see myself as a responsible and hardworking person. Whenever I am part of a team, I do my part the best that I can. I am not afraid to admit my mistakes and work to learn from them. Meeting deadlines is important to me, and I dedicate extra time and effort to grasp challenging tasks. I am good at multitasking, which helps me efficiently handle various tasks, especially when they take up a lot of time. I am a practical learner, I tend to focus on learning knowledge that is useful in real life. When I encounter problems, I am solution-oriented, especially when I can do something about it. The most significant part of my life is self-development. I am always eager to learn and grow. This personal journey of growth that I have been on throughout my life means a lot to me, and I am genuinely excited about the opportunities it brings.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Religius Belum Tentu Spiritualis: Perbedaan Beragama dan Berspiritualitas

8 Februari 2024   22:41 Diperbarui: 8 Februari 2024   22:46 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beragama dan berspiritualitas, dua konsep yang sering kali menjadi landasan bagi kehidupan banyak orang di planet bumi ini, baik seorang 'theist', 'atheist',  maupun 'agnostik'. Dalam melihat keduanya, seringkali kita menemui perbedaan yang cukup signifikan, terutama dalam fokus dan pengimplementasian nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Ada sebagian orang yang memandang beragama sebagai kewajiban formal yang hanya memerlukan pemenuhan syarat-syarat tertentu, tanpa benar-benar memahami esensi dan tujuan dari praktik beragama tersebut demi memenuhi tuntutan dan menghindari penghakiman masyarakat kolektif. Mereka mirip dengan anak-anak yang submisif terhadap perintah untuk belajar dan mengerjakan PR, tanpa memahami bahwa di balik tugas tersebut terdapat target perkembangan yang harus dicapai melalui proses belajar dan mengerjakan PR.

Hal ini menciptakan paradoks di mana sebagian orang dapat menjalankan ritual-ritual keagamaan dengan patuh, namun tanpa pemahaman mendalam terhadap ajaran agama yang dianut. Seperti anak yang hanya tuntutan tugasnya tanpa meresapi nilai-nilai pendidikan yang seharusnya diperoleh dari proses tersebut, orang yang hanya terfokus pada ritual keagamaan seringkali gagal meresapi makna sejati dari agama yang dianutnya. Dalam hal ini, penekanan pada tampilan luar menjadi lebih dominan daripada perkembangan batin dan pemahaman mendalam terhadap prinsip-prinsip agama.

Bagi sebagian orang, menjadi terlihat religius di mata orang lain seringkali menjadi tujuan utama tanpa menyadari bahwa keberagamaan seharusnya membawa seseorang pada kedewasaan batin. Dewasa, dalam konteks ini, bukanlah hanya terkait dengan umur biologis semata, melainkan juga mengandung dimensi kedewasaan batin, emosional, dan intelektualitas. Kebijaksanaan, sebagai hasil dari kedewasaan tersebut, seharusnya mewarnai setiap aspek dari kehidupan beragama.

Namun, seringkali kita melihat bahwa orang yang tekun dalam menjalankan praktik keagamaan belum tentu bijaksana dalam menyikapi kehidupan sehari-hari. Mereka dapat terlihat ketat beribadah, mengenakan pakaian dan aksesoris yang bersifat ritual, namun perilaku buruk seperti menghina, memaki, atau bahkan menyebarkan fitnah tetap merajalela. Masalah lain yang muncul adalah interpretasi secara harafiah sesuai dengan kitab suci suatu agama. Tak heran jika beberapa orang membenarkan perilaku yang melawan prinsip universalisme dan humanisme demi melaksanakan perintah secara harafiah berdasarkan kitab suci agama mereka. Hal ini menciptakan citra yang paradoksal di mana aksesori atau praktek ritual yang terlihat religius tidak selaras dengan kualitas batin yang seharusnya berkembang seiring dengan kedalaman pemahaman agama.

Mementingkan kesan 'sudah terlihat' atau 'sudah melakukan' rupanya tidak hanya terjadi dalam lingkup individu, melainkan juga menyebar ke dalam umat beragama secara kolektif dalam masyarakat. Banyak umat agama yang lebih memfokuskan diri pada ritualitas harian, seperti beribadah tepat waktu dan sesuai ketentuan agama, namun mengabaikan pentingnya mengembangkan dan mengelola pikiran, emosi, serta tindakan agar sesuai dengan prinsip-prinsip universal dan humanis. Dalam hal ini, kegiatan beragama menjadi sekadar rutinitas harian tanpa memberikan dampak nyata dalam peningkatan kualitas diri dan hubungan sosial.

Lebih jauh lagi, terlihat bahwa kesalahan ini bukanlah privasi atau 'aib' dari satu agama saja, melainkan menyebar ke berbagai keyakinan. Semua umat agama, terlepas dari keyakinan apa yang mereka anut, dapat terperangkap dalam pola perilaku yang menitikberatkan pada praktik dan aksesori ritual, tanpa memberikan perhatian yang cukup pada pengembangan kualitas batin.

Namun, jika kita mengarahkan pandangan ke dimensi spiritualitas, kita dapat menemukan sudut pandang yang berbeda. Spiritualitas, dalam sebagian umat beragama dan juga sebagian manusia yang tidak menganut kepercayaan atau agama, menekankan pada pengembangan kualitas batin. Mereka yang berspiritualitas tidak hanya mementingkan aksesori atau praktek religius, melainkan fokus pada realitas diri yang berkualitas. Bahkan, seseorang juga dapat menjadi seorang spiritualis tanpa perlu menjadi seorang religius yang terikat pada aturan dalam ajaran religi tertentu.

Ketika seseorang menjalani kehidupan spiritual, ia berusaha menjadi individu yang santun, damai, humanis, dan menjunjung prinsip-prinsip universalisme, tanpa perlu mengharapkan adanya 'timbal balik baik' dari perbuatan baiknya di 'akhirat' atau setelah 'kematian'nya. Perilaku baik yang mereka tunjukkan tidak terbatas pada kelompok atau golongan tertentu, melainkan konsisten pada siapa pun, karena spiritualitas memandang semua manusia sebagai bagian dari keberadaan yang satu. Analoginya, seperti berlian yang berkualitas, dapat terlihat mengilap dalam kondisi cahaya apapun. Spiritualitas tidak hanya cemerlang di kalangan 'borjouis' atau kelompok tertentu, melainkan juga tetap bersinar ketika dihadapkan pada kondisi keberagaman masyarakat apapun.

Dalam praktik spiritualitas, seringkali pelakunya tidak mencari validasi dan mencitrakan keanggotaan mereka dalam sebuah lembaga atau organisasi masyarakat. Mereka juga tidak membanggakan afiliasi kelompok atau gelar keanggotaan yang mereka miliki. Sebaliknya, mereka lebih fokus pada perbaikan diri tanpa perlu mengumbar keanggotaan atau status spiritual mereka. Hal ini menciptakan kesan bahwa kualitas individu lebih dihargai daripada status atau identitas kelompok.

Fenomena menarik muncul ketika melihat perilaku seseorang tergantung pada sejauh mana ia mencitrakan dirinya sebagai bagian dari kelompok atau organisasi tertentu. Semakin seseorang bersikeras dan 'berisik' tentang kelompoknya, semakin rendah level kualitasnya di dalam kelompok tersebut. Ini dapat diamati dalam berbagai konteks, seperti sederhananya dalam belajar seni bela diri, hingga dalam konteks kesejahteraan ekonomi, atau kekuasaan politik.

Contoh nyata dapat ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, seperti anak yang baru belajar karate yang cenderung sok berbicara dan memamerkan kemampuannya di depan teman-temannya. Dibandingkan dengan yang sudah memiliki tingkat keahlian tinggi, yang cenderung lebih rendah profilnya. Analogi ini dapat diterapkan dalam berbagai situasi, seperti seseorang yang sebenarnya tajir melintir namun tetap memilih tampil sederhana atau individu yang berkuasa namun memilih bersikap lembut, diplomatis, dan berperikemanusiaan.

Dalam konteks ini, kualitas batin seseorang menjadi penentu utama dalam menilai nilai sejati seseorang. Tidak ada kemungkinan bagi seseorang untuk menyembunyikan kualitas aslinya, karena kualitas sejati tidak dapat dibohongi. Sikap dan perilaku yang mencerminkan kualitas batin seseorang akan menjadi objek penilaian utama, melampaui tampilan fisik atau afiliasi kelompok.

Menghadapi kompleksitas kehidupan modern, penting bagi setiap individu dan masyarakat untuk mencapai harmoni antara beragama dan berspiritualitas. Ritual dan praktik yang religius harus diimbangi dengan perkembangan kualitas batin yang mendalam. Oleh karena itu, pemuka agama memiliki peran sentral dalam membimbing umatnya mencapai keseimbangan ini. Mereka tidak hanya berfungsi sebagai pemandu dalam praktik keagamaan, melainkan juga sebagai mentor yang mendorong umatnya untuk merenung dan mengembangkan kualitas batin.

Sehingga, perbedaan antara beragama dan berspiritualitas dapat bersatu dalam harmoni yang menyeluruh. Negara ini negara yang mayoritas penduduknya memeluk agama dan kepercayaan. Maka dari itu, negara ini membutuhkan pemuka agama yang matang, moderat, intelek, dan memiliki kemampuan untuk membimbing umatnya ke arah kematangan spiritual. Dengan demikian, kita dapat menciptakan masyarakat yang bijak, santun, dan bertanggung jawab, serta menciptakan lingkungan yang memiliki keseimbangan antara praktik religi dan kualitas batin.

Kesimpulannya, perbedaan antara beragama dan berspiritualitas menggarisbawahi bahwa fokus pada aktivitas ritual seringkali menghasilkan keberagamaan yang terbatas pada aspek formalitas, tanpa pengembangan kedewasaan batin. Fenomena ini tidak terbatas pada satu agama saja, melainkan tersebar dalam berbagai keyakinan. Di sisi lain, spiritualitas memiliki perspektif yang lebih mendalam dan menekankan pada pengembangan kualitas batin tanpa perlu validasi atau afiliasi kelompok. Kualitas batin menjadi penentu nilai atau prinsip sejati seseorang daripada sekedar aksesori ritual atau afiliasi kelompok. Mencapai harmoni antara beragama dan berspiritualitas menjadi esensial dalam kehidupan modern, di mana ritual keagamaan harus diimbangi dengan perkembangan kualitas batin yang mendalam. Pemuka agama memegang peran sentral dalam membimbing umatnya menuju keseimbangan tersebut. Itulah mengapa pentingnya untuk bersikap 'selektif' memilih narasumber atau pemuka agama yang matang dan intelek agar menciptakan kematangan spiritual dan lingkungan yang mengedepankan keseimbangan antara aktivitas religius dan kualitas batin.. Dengan demikian, tujuan akhirnya adalah menciptakan masyarakat yang bijak, humanis, dan moderat. 

Tim penulis:

  • Aloysius Mahardhika / XII_IPS_2_04
  • Glennaldo Bucho / XII_IPS_2_16
  • Natasya Samantha / XII_IPS_2_24
  • Sebastianus Tegar / XII_IPS_2_28

SMA Pangudi Luhur II Servasius

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun