Kupeluk bintang yang melekat di setiap inci atap bentala
Mudah diabaikan ketika rintik sendu hujan menjadi penyerbu jalan setapak
Membuat genangan yang menjadi tempat bertumpu hidup bagi makhluk-makhluk kecil
Titisan yang menjalarkan kehangatan kepada setiap sukma yang menyala bagai lilin di tengah rumah sembari bercengkrama penuh kasih
 Kupegang pena yang tersisa, merangkai berbagai macan kalimat hingga mampu merangkap menjadi sebuah baju hangat
Haruskah, Pantaskah, Bolehkah?
Tiga pertanyaan yang kerap dilontarkan oleh sekawanan bintang gemerlap di atas sana
Pertanyaan yang kugenggam saat menyusuri cakrawala bahkan menyelami berbagai teluk maupun kala mengetuk sanubari yang terkunci
 Egois
 Kurebut seluruh sinar yang dimiliki para bintang
 Kehangatan yang dimiliki oleh hujan dan sesuatu yang penting bagi semesta
 Kuculik mereka. Lalu bertanya, "Sudah, bisa?"
Jawaban sama terulang. Mereka berbisik
Angin yang menyayat menyampaikan kata per kata
Amati bersama
 Kukembalikan lagi cahaya itu, kehangatan itu, dan sesuatu yang penting yang kucuri dari alam
Lalu kembali menjadi seonggok daging tak spesial.Â
Kurelakan mereka
 Benar kata Ratu angin
 Amati bersama saja
 Tak perlu menjadi kunci untuk menerobos masuk
Cukup amati dengan jarak yang dekat
Keputusan hebat
Kupikir
Duduk di depan, mengamati bagaimana hal itu hidup tanpa membawa hal-hal yang tak seharusnya kubawa
Pilihan tepat
Mengamati sesuatu dengan aliran darah murni
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H