Mohon tunggu...
Sahdat MS
Sahdat MS Mohon Tunggu... Guru - Suka Ngopi

Hidupku adalah Kesaksianku

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Perempuan dan Pandemi (#1)

22 Juni 2020   00:51 Diperbarui: 22 Juni 2020   01:14 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa yang ada di benak anda ketika di sebut perempuan?. Tentu, berbagai perspektif akan muncul, atau kemungkinan anda akan mengingat ibu anda, atau isteri anda, pacar, atau puteri anda, atau saudara anda. Namun tidak sedikit juga orang memberi stigma, bahwa perempuan makhluk yang lemah. Pikiran ini  berakar dalam budaya patriakhal. 

Perempuan selalu ditempatkan dalam posisi dan status sosial yang paling rendah, bahkan cenderung direndahkan. Fakta perempuan telah direndahkan menjadi fenomena yang sudah biasa bagi tradisi patriakhal tulen, dan bagi mereka perlakuan atas ketidakadilan bagi perempuan merupakan kebiasaan yang dianggap beradab.

Contoh fenomena kekerasan terhadap perempuan yang paling menggelisahkan adalah perempuan Sumba. Di Sumba ada tradisi kawin tangkap. Seorang perempuan  ditangkap dan dipaksa untuk menikah dengan seorang laki-laki yang tidak dikenalinya. 

Praktik ini dilakukan tidak memandang tempat dan waktu, bahkan cenderung di lakukan di depan umum. Saya tidak mengetahui persis bagaimana kejadian ini bisa diterima di dalam tradisi Suku Sumba. 

Namun ketika saya melihat dan menonton praktik ini di kanal Youtube, saya sebagai insan sangat miris melihatnya. Perempuan yang di tangkap itu diperlakukan bukan seperti insan; dia diteriaki oleh kaum laki-laki, dia menangis dan berusaha meronta namun tak dipedulikan. 

Saya bertanya dalam hati: inikah bentuk peradaban di Sumba? Saya semakin curiga, bahwa ada kemungkinan perempuan Sumba diperlakukan lebih daripada itu. 

Jika melihat di Youtube bagaimana pria menangkap perempuan itu, perempuan itu sepertinya tidak berhak lagi atas tubuhnya. Semua bagian tubuhnya disentuh tanpa seizin perempuan itu.

Itu hanya bagian kecil dari empat ratus ribu lebih fakta yang ada di Indonesia, atau satu dari sekian juta fakta yang ada di dunia. Kekerasan dan pelecehan acapkali terjadi pada perempuan baik di tempat umum maupun di tempat yang tersembunyi. Bahkan, berita yang terakhir saya baca di media pada tanggal 20 Juni 2020, kasus pelecehan seksual terjadi di lingkungan agama. Lalu dimana perempuan menemukan kenyamanan dalam hidupnya?

Beberapa bulan belakangan, para aktivis perempuan semakin marak menyuarakan keadilan terhadap perempuan. Ruang percakapan dibuka lewat media online yang diikuti lebih dari lima ratus sampai seribu pasang mata. Ini bukanlah fenomena yang baru saja terjadi. Perjuangan terhadap hak-hak perempuan sudah dimulai sejak berabad-abad yang lalu. Namun saat ini, sepertinya isu kekerasan terhadap perempuan semakin marak diwacanakan di tengah pandemi covid-19.

Berawal dari isu maraknya kekerasan dan pelecehan seksual pada perempuan di masa pandemi membuat mata tertuju pada isu yang semakin meluas. Dari laporan Komisioner Komnas Perempuan pada 22 Mei 2020, mengungkap fakta, bahwa selama pandemi corona sebanyak 319 kasus kekerasan terhadap perempuan terjadi, dengan jumlah korban mencapai 321 orang. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun