Apa yang ada di benak anda ketika di sebut perempuan?. Tentu, berbagai perspektif akan muncul, atau kemungkinan anda akan mengingat ibu anda, atau isteri anda, pacar, atau puteri anda, atau saudara anda. Namun tidak sedikit juga orang memberi stigma, bahwa perempuan makhluk yang lemah. Pikiran ini  berakar dalam budaya patriakhal.Â
Perempuan selalu ditempatkan dalam posisi dan status sosial yang paling rendah, bahkan cenderung direndahkan. Fakta perempuan telah direndahkan menjadi fenomena yang sudah biasa bagi tradisi patriakhal tulen, dan bagi mereka perlakuan atas ketidakadilan bagi perempuan merupakan kebiasaan yang dianggap beradab.
Contoh fenomena kekerasan terhadap perempuan yang paling menggelisahkan adalah perempuan Sumba. Di Sumba ada tradisi kawin tangkap. Seorang perempuan  ditangkap dan dipaksa untuk menikah dengan seorang laki-laki yang tidak dikenalinya.Â
Praktik ini dilakukan tidak memandang tempat dan waktu, bahkan cenderung di lakukan di depan umum. Saya tidak mengetahui persis bagaimana kejadian ini bisa diterima di dalam tradisi Suku Sumba.Â
Namun ketika saya melihat dan menonton praktik ini di kanal Youtube, saya sebagai insan sangat miris melihatnya. Perempuan yang di tangkap itu diperlakukan bukan seperti insan; dia diteriaki oleh kaum laki-laki, dia menangis dan berusaha meronta namun tak dipedulikan.Â
Saya bertanya dalam hati: inikah bentuk peradaban di Sumba? Saya semakin curiga, bahwa ada kemungkinan perempuan Sumba diperlakukan lebih daripada itu.Â
Jika melihat di Youtube bagaimana pria menangkap perempuan itu, perempuan itu sepertinya tidak berhak lagi atas tubuhnya. Semua bagian tubuhnya disentuh tanpa seizin perempuan itu.
Itu hanya bagian kecil dari empat ratus ribu lebih fakta yang ada di Indonesia, atau satu dari sekian juta fakta yang ada di dunia. Kekerasan dan pelecehan acapkali terjadi pada perempuan baik di tempat umum maupun di tempat yang tersembunyi. Bahkan, berita yang terakhir saya baca di media pada tanggal 20 Juni 2020, kasus pelecehan seksual terjadi di lingkungan agama. Lalu dimana perempuan menemukan kenyamanan dalam hidupnya?
Beberapa bulan belakangan, para aktivis perempuan semakin marak menyuarakan keadilan terhadap perempuan. Ruang percakapan dibuka lewat media online yang diikuti lebih dari lima ratus sampai seribu pasang mata. Ini bukanlah fenomena yang baru saja terjadi. Perjuangan terhadap hak-hak perempuan sudah dimulai sejak berabad-abad yang lalu. Namun saat ini, sepertinya isu kekerasan terhadap perempuan semakin marak diwacanakan di tengah pandemi covid-19.
Berawal dari isu maraknya kekerasan dan pelecehan seksual pada perempuan di masa pandemi membuat mata tertuju pada isu yang semakin meluas. Dari laporan Komisioner Komnas Perempuan pada 22 Mei 2020, mengungkap fakta, bahwa selama pandemi corona sebanyak 319 kasus kekerasan terhadap perempuan terjadi, dengan jumlah korban mencapai 321 orang.Â
Ratusan aduan yang paling banyak dilaporkan adalah soal kekerasan seksual. Dari jumlah tersebut 62,93 persen korban adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Kemudian, bentuk kekerasan yang paling banyak dilaporkan adalah kekerasan seksual diikuti dengan fisik dan psikis.Â
Kasus kekerasan pada perempuan meningkat setiap tahun, belum lagi kasus yang tidak  atau belum terlapor. Ini adalah kabar buruk bagi setiap insan. Oleh karena itu, fakta kekerasan dan pelecehan berbasis gender ini perlu disikapi secara serius.
Di tengah pandemi yang tidak tahu kapan akan berakhir ini, beban perempuan semakin berat. Bukan saja persoalan fisik yang harus dipikirkan, tapi persoalan psikis dan tekanan mental menjadi tantangan bagi perempuan saat ini. Tentu ini bukan saja tugas perempuan, ini tugas bersama demi keadilan sosial, demi insan yang merdeka!Â
Stigma bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah perlu diklarifikasi. Jika perempuan adalah insan yang lemah, maka selayaknya mereka harus diperjuangkan dan diperlakukan seadil-adilnya. Pandemi bukan saja mencakup pada aspek kesehatan, ekonomi, sosial, budaya, tapi juga soal keadilan gender.Â
Fenomena Pandemi juga bukan lagi sekedar soal penyakit menular seperti covid-19, tapi lebih substantif telah merujuk pada prilaku etika dan moral. Pandemi  telah merujuk pada semua orang (Bahasa Yunani: Pan artinya semua, Demos artinya orang/ rakyat/ masyarakat), dan pada seluruh aspek kehidupan beserta dengan hak dan tanggungjawabnya. Di tengah situasi pandemi ini, semua orang, semua insan, semua manusia perlu melihat lebih substantif keberadaan perempuan saat ini. Â
Tindakan yang berbasis amoral seperti kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan juga adalah bentuk penyakit mental yang menjelma menjadi trauma, dendam dan amarah serta gangguan psikis yang berujung luka batin pada korban. Tidak menutup kemungkinan pula, korban akan menjadi cluster baru menjadi pelaku kekerasan dan pelecehan akibat luka batin yang dideritanya.Â
Demikian juga dengan pelaku kekerasan jika tidak diadili seadil-adilnya, maka prilaku ini akan membudaya. Oleh karena itu, Â di tengah isu global saat ini, pandemi perlu di lihat sebagai fenomena pembebasan, untuk membebaskan insan dari belenggu ketidakadilan.
Akhirnya saya mau mengatakan, bahwa perempuan adalah insan, bahkan insan terkuat yang dicipakan Tuhan di muka bumi ini. Anda bisa bayangkan, dalam situasi pandemi ini beban mereka jauh lebih berat. Angka penyebaran covid-19 dengan angka kekerasan yang dialami perempuan menjadi bukti, bahwa mereka punya tanggung jawab yang lebih besar, bukan saja melindungi diri dari covid, tetapi juga melindungi diri dari ancaman kekerasan dan pelecehan yang setiap saat mengintai.Â
Oleh karen itu, saya ingin mengajak anda untuk berpikir, Â jika perempuan adalah ibu anda, atau ibu dari anak-anak anda, atau isteri anda, atau saudara perempuan anda, maka perlakukanlah mereka sebagaimana anda memperlakukan keluarga anda. Keluarga anda atau keluarga saya bisa saja menjadi korban kekerasan seksual, tapi tidak menutup kemungkinan anda dan saya bisa menjadi pelindung bagi mereka yang mendapat perlakuan yang tidak manusiawi. Pastikan bahwa anda menjatuhkan pilihan untuk menjadi pelindung bagi mereka yang lemah dan rentan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI