waktu,Â
Salam haiEngkau ada laksana Alam
Apakah engkau tahu betapa aku tertegun, dengan keberadaan mu?
Waktu yang ku lalui seolah ada di dalam dimensi,Â
yang berbeda dari dimensi saat ini !
Waktu yang manusia atur iniÂ
aku tahu bahwa bukan waktu yang samaÂ
dengan waktu yang engkau miliki...Â
Aku tahu bahwa dari ujung dunia hingga ujung bumi waktu yang kami kenal adalah waktu dengan patokan 24 jam.Â
Cobalah kamu jelaskan kepada kuapakah waktumu sama dengan waktu kami?Â
Apakah keberadaan mu sama,Â
dengan keberadaan kami?Â
Oh Saudara ku 'waktu', apakah engkau masuk dalam dimensi ruang atau justru beda tempat dengan ruang yang kami huni?Â
Bagaimanakah keberadaan mu itu?Â
Keberadaan ruang mu itu apakah sama dengan waktu yang aku pahami?Â
Coba lihat betapa pentingnyaÂ
Namamu hingga banyak tak sedikit menggunakan mu sebagai uang,Â
tak sedikit memakai nama mu sebagai patokan alam,Â
tak sedikit pula yang memberi mu ruang 'kudus' dalam keberadaan kata nama mu.Â
Tapi banyak-pun yang mengandalkan nama mu itu,Â
tetap saja tak semua orang mampu dengan ritme yang ditentukan dan dinamakan oleh mereka sendiri.Â
Namun meskipun begitu, tak satupun yang terlepas dari cengkraman mu.Â
Bahkan 'saudari maut- kematian' pun engkau ada disampingnya.Â
Hai Waktu, kehebatan keberadaan mu membuat mataÂ
dan pandangan seolah sempit dan sekilas berlalu.Â
Apakah engkau pernah mengalami kondisi engkau sendiri tak mengerti dengan waktu mu sendiri?Â
Apakah waktu mu pernah hilang sia-sia?Â
Atau akankah engkau menghilang?Â
Makna dari kata nama mu ituÂ
membuat akal ku seolah tak ada fungsinyaÂ
memikikan keberadaan muÂ
yang begitu tajam dan dalam...Â
Bahkan hanya menyebut namamu saja,
pikiran ku masuk dalam tahapan untuk masuk dalam -ke 'dalam'an- makna dari nama mu
kedalaman mu membuat mata, fisik, dan pandangan makhluk lengah sehinggaÂ
hari pun bergantung dengan mu...Â
Matahari yang bergerak sendiri pun tak berkutik dengan keberadaan mu...Â
Engkau mengajarkan keberadaan yang sejati. Kesetiaan yang kusadari dalam 'mistik'nya nama mu ituÂ
sungguh mengenyuhkan pikiran ku untuk menikmati dalamnya keagungan hidup.Â
Memang bodoh sih, jika aku selalu memilikirkan mu,Â
belum tentu juga aku mampu mendalami itu semua,Â
tapi dikondisi yang sama itu, aku bersyukur lewat kebodohan ku aku jadi mengertiÂ
ritme pikiran ku yang terbatas ini...Â
Semua elemen dari alam, kelahiran hingga kematianÂ
engkau hadir, dan kau kuasai semua dalam cengkraman tangan mu yang agung itu.Â
Hai saudara waktu yang lembut, ajarkanlah aku setiap saat untuk menyadari adanya logika 'waktu'mu
sehingga aku tahu dan mengerti sedikit dalam lagi... Karenanya, aku tahu bahwa aku memiliki pikiran yang terbatas dan dengan itu aku mampu melampaui keterbatasan pikiran ku itu dengan merasionalkan yang irasional dan belajar dari keirasionalan untuk rasional.Â
Akhirnya keseimbangan antara waktu yang sebenarnya dengan waktu yang alam miliki dapat ku pijak tanpa keterpaksaan, tentunya dengan rasa cinta yang tak biasa...
Ditulis: Samuel (10 Mei 2022)- Desa KapurÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H