Mohon tunggu...
Fauzia A
Fauzia A Mohon Tunggu... -

mahasiswa hubungan internasional tingkat tiga

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Apakah Bangsa Kita Kaum Proles? - Casual Analysis Indonesia dari 1984

22 April 2014   15:21 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:21 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

1984 – Nineteen Eighty-Four, magnum opus George Orwell yang pertama kali diterbitkan tahun 1949 terbukti masih juga relevan untuk ditelaah di abad ke 21. Novel satire yang mengangkat tentang kehidupan masyarakat di bawah kepemimpinan totalitarian di masa depan dystopia ini menjadi populer kembali di tahun 2013 pasca bocornya skandal surveillance NSA terhadap warganya sendiri melalui record internet dan telepon.

Akan tetapi, dibandingkan surveillance dan opresi luar biasa dalam novel tersebut, yang menarik perhatian saya adalah kaum proles, kasta terendah di Oceania yang menganut ideology Ingsoc (English socialism). Berbeda dari sosialisme yang oleh novel ini dianggap ‘kolot’ karena tidak mau mengakui motif mereka dalam mendapatkan kekuasaan karena dalih mereka ingin masyarakat yang setara, Ingsoc mengakui bahwa merebut kekuasaan memang karena pihak tersebut ingin berkuasa. Masyarakat yang egaliter tidak akan pernah tercapai karena pada akhirnya pasti ada sedikit orang yang akan menjadi elit dan memegang kuasa atas masyarakat di bawahnya. Ingsoc juga mengakui adanya kasta dalam masyarakat, bahwa hal itu memang tidak bisa dihindari. Pada dasarnya, meski terdengar kontradiktif (dan inilah dasar ajaran Ingsoc yang diwujudkan dalam Newspeak dan doublethink), Ingsoc adalah ideology sosialisme yang menolak semua prinsip sosialisme.

Berbeda dengan dua kasta diatasnya yaitu Inner Party dan Outer Party, kaum proles bekerja sebagai buruh kasar dan mereka diberi kebebasan dari pengawasan ketat melalui telescreens. Di Oceania, kaum proles dan binatang adalah satu-satunya makhluk bebas. Meskipun mereka hidup dalam kemiskinan yang luar biasa, mereka tidak pernah dianggap ancaman yang berarti bagi anggota Partai, karena mereka yakin kaum proles tidak akan pernah memberontak. Mengapa demikian? Bukankah catalyst dari adanya pemberontakan oleh rakyat adalah karena adanya kesenjangan sosial dan kemiskinan yang luar biasa?

Oleh Partai, kaum proles terus menerus dibodohi secara sistematis—mereka mensuplai alkohol, olahraga judi, pornografi dan seks bebas. Dengan cara tersebut, kaum proles disibukkan dan dijaga agar tetap bodoh, sehingga meskipun mereka punya kebebasan berpikir, mereka tidak mempunyai kapasitas untuk berpikir tentang keadaan mereka sendiri dan menilai lingkungan. Selain itu, Partai juga menyadari bahwa ada cara lain yang lebih efektif untuk menanamkan ideology mereka,yaitu melalui media. Setiap hari masyarakat dicekoki propaganda kebencian terhadap dua Negara adikuasa lain, Eurasia atau Eastasia. Secara terus menerus, mereka pun diyakinkan bahwa Negara terus menerus berperang agar mereka hidup dalam ketakutan. Media massa adalah kendaraan praktis bagi pemerintah atau pihak berkepentingan dalam menyetir opini masyarakat.

Terdengar familiar?

Di tengah hingar-bingar pemilu, saya merasa bahwa 1984, terutama penggambarannya terhadap kaum proles, sangat relevan terhadap masyarakat Indonesia. Rakyat dibodohi secara sistematis…melalui

Alkohol, rokok…

judi

seks bebas dan pornografi….

olahraga…

Rakyat Indonesia terus menerus digempur pembodohan massal sistematis seperti di atas. Generasi muda dihancurkan. Usaha-usaha untuk menanggulanginya pun malah ditentang, seperti penutupan lokalisasi, gerakan anti miras&rokok, dan lain sebagainya.  Lambat laun, akibat disibukkan oleh hal-hal yang tidak mendidik, rakyat pun kehilangan kapasitasnya dalam menilai kehidupan dan lingkungan sekitar mereka, sehingga mudah disetir opininya. Rendahnya kapasitas dan penggiringan opinipun mengakibatkan rakyat yang emosional, dan mudah dimobilisasi untuk kepentingan tertentu.

‘Ignorance is strength’

Menarik adalah salah satu quote dari 1984  yang kira-kira berbunyi: “bagi rakyat kalangan bawah, apapun yang terjadi bukanlah urusan mereka, karena kehidupan mereka selamanya takkan berubah, hanya majikan saja yang berubah”. Maka dari itu, mudah dimengerti bahwa rakyat kalangan bawah cenderung apolitis, tidak terlalu peduli perkembangan politik apalagi menilai. Bagi rakyat miskin, zaman presiden A sampai Z tidak ada bedanya, karena kehidupan mereka tidak juga bertambah baik.

Partisipasi politik rakyat juga pada umumnya didasari fanatisme tak berdasar. Sebagian mungkin kaget, bahwa beberapa partai yang anggotanya mayoritas mempunyai reputasi yang buruk serta tingkat korupsi yang tinggi masih bisa menggalang banyak suara. Di kampung saya misalnya, yang meski terletak di tengah kota, basis pemilihnya masih nyoblos dengan prinsip “Apapun yang terjadi, sing penting milih Partai X”. Walaupun sudah diberitahu bahwa misalnya, kader Partai X bermasalah, mereka tetap berprinsip ‘sing penting…’, secara tidak langsung, mereka tidak peduli apa yang terjadi apabila partai itu terpilih atau tidak. Bila penduduk kampung saya merasakan perubahan signifikan pada kehidupan mereka,tentu mereka akan lebih menganggap serius assessment dari tiap partai dan kader-kadernya.

Those who control the past control the future’

Sejalan dengan salah satu ajaran Partai, “yang menguasai masa lalu akan menguasai masa depan”—masa lalu tokoh-tokoh politik, perjalanan hidup, perbuatan, bisa ditulis ulang seenak jidat sesuai kebutuhan.  Di 1984, sejarah ditulis ulang agar Partai terlihat sebagai yang paling benar. Penemuan bersejarah di klaim Partai, begitu pula dengan berita kemenangan perang (meski perang tersebut entah sebenarnya ada atau tidak). Dengan penulisan ulang sejarah, orang-orang yang sebenarnya tidak bersalah dibuat bersalah, Bukti-bukti yang dianggap mengancam sejarah bikinan mereka semuanya dihancurkan. Di Oceania,sejarah yang benar adalah penulisan Partai.

Di Indonesia, penjahat HAM, koruptor, pezina bisa menjadi calon presiden ketika mereka berhasil memanipulasi ‘masa lalu’ membuatnya seakan ‘tidak pernah terjadi’. Mereka mensuplai informasi yang bertolak belakang dari fakta sebenarnya melalui media massa dan ucapan mereka, karen tahu masyarakat masih dapat dipengaruhi media mainstream. Inilah jawaban dari penyebab amnesiaberjamaah rakyat Indonesia yang masih bisa menerima tokoh-tokoh yang jelas bertahun-tahun lalu mempunyai banyak catatan kriminal dan/atau terbukti gagal.

“Kasta ala Ingsoc dalam Tatanan global’

Dilihat dari perspektif global, apabila proles adalah Indonesia, maka kaum Inner Party adalah sekelompok kecil kapitalis  ataupun negara maju yang mengambil benefit dari keterbelakangan berpikir rakyat Indonesia.  Dapat pula berarti proles adalah negara miskin dan berkembang yang terus menerus dibodohi secara sistematis, tidak hanya Indonesia.

Industri dan distribusi rokok misalnya, yang dulu berpusat di Amerika Serikat, berpindah ke Indonesia karena minat warga Amerika telah hilang akibat  kesadaran akan efek negatif rokok. Generasi muda Indonesia kemudian menjadi target utama, karena jumlahnya yang sangat banyak. Rokok menjadi bisnis yang luar biasa menguntungkan. Apabila rakyat Indonesia menjadi cerdas, maka bisnis rokok dan minuman keras akan collapse. Sama halnya dengan partisipasi rakyat dalam Pemilu. Mudah bagi negara asing untuk mencampuri ‘rumah tangga’ Indonesia apabila wakil rakyat yang terpilih bukanlah orang yang jujur dan berkapasitas karena masyarakatnya belum juga melek politik.

Maka minoritas rakyat terpelajar di Indonesia pun lama-lama frustrasi, karena banyak sekali kecacatan dalam Indonesia yang mesti dibenahi, belum lagi penyesatan melalui media, tapi masyarakat umum menganggap lazim dan tidak mau berusaha karena sudah nyaman dengan status quo. Ketika ketidakbenaran dianggap lazim, batas antara kewarasan dan kegilaan menjadi blur, seperti yang terjadi pada Smith di 1984.

(also posted in my blog @ wordpress)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun