1984 – Nineteen Eighty-Four, magnum opus George Orwell yang pertama kali diterbitkan tahun 1949 terbukti masih juga relevan untuk ditelaah di abad ke 21. Novel satire yang mengangkat tentang kehidupan masyarakat di bawah kepemimpinan totalitarian di masa depan dystopia ini menjadi populer kembali di tahun 2013 pasca bocornya skandal surveillance NSA terhadap warganya sendiri melalui record internet dan telepon.
Akan tetapi, dibandingkan surveillance dan opresi luar biasa dalam novel tersebut, yang menarik perhatian saya adalah kaum proles, kasta terendah di Oceania yang menganut ideology Ingsoc (English socialism). Berbeda dari sosialisme yang oleh novel ini dianggap ‘kolot’ karena tidak mau mengakui motif mereka dalam mendapatkan kekuasaan karena dalih mereka ingin masyarakat yang setara, Ingsoc mengakui bahwa merebut kekuasaan memang karena pihak tersebut ingin berkuasa. Masyarakat yang egaliter tidak akan pernah tercapai karena pada akhirnya pasti ada sedikit orang yang akan menjadi elit dan memegang kuasa atas masyarakat di bawahnya. Ingsoc juga mengakui adanya kasta dalam masyarakat, bahwa hal itu memang tidak bisa dihindari. Pada dasarnya, meski terdengar kontradiktif (dan inilah dasar ajaran Ingsoc yang diwujudkan dalam Newspeak dan doublethink), Ingsoc adalah ideology sosialisme yang menolak semua prinsip sosialisme.
Berbeda dengan dua kasta diatasnya yaitu Inner Party dan Outer Party, kaum proles bekerja sebagai buruh kasar dan mereka diberi kebebasan dari pengawasan ketat melalui telescreens. Di Oceania, kaum proles dan binatang adalah satu-satunya makhluk bebas. Meskipun mereka hidup dalam kemiskinan yang luar biasa, mereka tidak pernah dianggap ancaman yang berarti bagi anggota Partai, karena mereka yakin kaum proles tidak akan pernah memberontak. Mengapa demikian? Bukankah catalyst dari adanya pemberontakan oleh rakyat adalah karena adanya kesenjangan sosial dan kemiskinan yang luar biasa?
Oleh Partai, kaum proles terus menerus dibodohi secara sistematis—mereka mensuplai alkohol, olahraga judi, pornografi dan seks bebas. Dengan cara tersebut, kaum proles disibukkan dan dijaga agar tetap bodoh, sehingga meskipun mereka punya kebebasan berpikir, mereka tidak mempunyai kapasitas untuk berpikir tentang keadaan mereka sendiri dan menilai lingkungan. Selain itu, Partai juga menyadari bahwa ada cara lain yang lebih efektif untuk menanamkan ideology mereka,yaitu melalui media. Setiap hari masyarakat dicekoki propaganda kebencian terhadap dua Negara adikuasa lain, Eurasia atau Eastasia. Secara terus menerus, mereka pun diyakinkan bahwa Negara terus menerus berperang agar mereka hidup dalam ketakutan. Media massa adalah kendaraan praktis bagi pemerintah atau pihak berkepentingan dalam menyetir opini masyarakat.
Terdengar familiar?
Di tengah hingar-bingar pemilu, saya merasa bahwa 1984, terutama penggambarannya terhadap kaum proles, sangat relevan terhadap masyarakat Indonesia. Rakyat dibodohi secara sistematis…melalui
Alkohol, rokok…
…judi
seks bebas dan pornografi….
olahraga…
Rakyat Indonesia terus menerus digempur pembodohan massal sistematis seperti di atas. Generasi muda dihancurkan. Usaha-usaha untuk menanggulanginya pun malah ditentang, seperti penutupan lokalisasi, gerakan anti miras&rokok, dan lain sebagainya.  Lambat laun, akibat disibukkan oleh hal-hal yang tidak mendidik, rakyat pun kehilangan kapasitasnya dalam menilai kehidupan dan lingkungan sekitar mereka, sehingga mudah disetir opininya. Rendahnya kapasitas dan penggiringan opinipun mengakibatkan rakyat yang emosional, dan mudah dimobilisasi untuk kepentingan tertentu.