memoar pagi, di biliknya aku menemukan bayangmu
setiap hembusan nafas , ada segumpal harap,
di kotamu
Ku sambut gradasi pagi, di timur, matahari menyembul di permukaan, seakan bola raksasa yang akan menelan apa saja. dalam kedahsyatannya, ia masih menyimpan trilyunan energi hingga massanya menciut, habis di makan penghuni semesta.. Matahari adalah sumber kekuatan alam, memendar untuk mahluq bumi. Sinarnya menghidupi tidak saja tanah daratan, Pun palung palung di seantero samudera tak luput dari cahayanya. Cahaya yang menyeruak di sela sela daun, gedung gedung berkaca, lapak di sudut sudut kumuh. membangunkan segenap penghuni kota, hingga kamar kost ku, tempat yang hampir satu minggu ini ku tinggali.
Segera, sebelah menyebelah menyibukkan diri dalam dunia yang mereka lakoni. Sementara aku, jauh dari roh hiruk pikuk kota. Nyawaku menambat pada raut sesosok pria yang membawaku pada kota kecil ini, Bumiayu, satu kota kecil di propinsi Jawa Tengah, di sinilah kabar terakhir yang kudengar bahwa kekasihku tinggal. Dewa, ah, dia bukan saja kekasih bagiku. Ia seperti arti harfiah namanya, bagiku Dewa ya Dewa, seorang kakak, kekasih, bapak sekaligus. Ia pantas di sebut Dewa, yang sudah mampu melumerkan dingin dan beku yang membelenggu rasa cintaku. Hanya Ia yang sanggup mengatakan iya, saat semua lelaki mengatakan tidak, deminya Aku akan melakukan apa saja, termasuk berkelana dari kota ke kota untuk kembali di peluknya. Tapi setelah Aku menunggu, Ia tak kembali, setengah tahun Aku sabar menunggu kabar darinya. Tak mau menanti sia sia, Aku pun mencari sampai ke sini.
Semangatku bangkit, demi mendengar Dewa tinggal di kota ini, aku seperti melihat secercah dian yang hampir padam, kembali memijar. '"Krinnggg ....", jam beker menyadarkan lamunanku. Bergegas, aku bangun, Aku harus merapikan diri, dengan sigap melompat dari kasur seperti kucing manja melihat tikus. Setelah mandi, Aku langsung berhias di depan cermin, satu satunyai fasilitas yang paling wah untuk seorang perempuan, di kost yang serba minim. Dengan langkah tegap seperti pasukan Napoleon hendak perang , Aku turun mencari sarapan pagi. Ah, kota ini masih seperti perawan, ku hirup oksigen sampai dada mau pecah. Disebelah kanan Kantor Pos ada penjual makanan khas Kota ini, Ketan Pencok, nama yang sedikit aneh pikirku, seperti nama penyakit pinggang. Hmmmm..tapi rasanya sedap juga. Dua bungkusan daun pisang besar segera tandas di perutku. Oh Dewa, bahkan kotamu menyuguhkan sesuatu yang tak Aku duga.
Seperti kemarin dan kemarin, ku susuri setiap wajah kota, bertanya ke tiap penghuninya, bermodal sebuah potret kabur Kami berdua. Potret yang di buat setahun lalu, saat kami masih memanen madu cinta. Lalu lalang kota semakin ramai, denyut yang semakin riuh. Dua hari terakhir Aku telah menyisir daerah tenggara tanpa hasil, kemarinnya lagi mencoba ke Kantor polisi, dan kecamatan setempat, dan hasilnya nihil.
Kekasih, aku seperti dedaun rapuh
luruh di hutan belantaramu
Ah, Aku tak peduli sampai kapan pencarian ini berakhir, meski bekal menipis, kurang dari dua minggu mungkin habis. Aku harus cari akal , harus pikirku. ah.. tidak, aku tak mempedulikan segala bekal, yang kupikirkan hanya Dewa, hal lain untuk saat ini aku tak peduli. Demi Dia aku sanggup melakukan apa saja. Seolah ada tenaga gaib, semangatku bangkit. Dua hari terakhir Aku bertanya pada sekitar pasar dan kelurahan setempat, dengan hasil yang tak memuaskan, tak ada jejak, meski susah payah mereka membuka file album dan ingatan identitas penduduk.
Teringat nasehat seorang ibu muda yang berbaik hati menyuruhku ke sebuah tempat, segera saja kaki ku ayunkan kesana, ke arah utara. Sementara, matahari sudah 90 derajat, panasnya sudah cukup membuat baju yang ku pakai basah kuyup. Kurang lebih setengah jam kemudian, Aku sampai di jalan kecil beraspal buruk, ku dapati kesunyian yang menggetarkan, sunyi yang indah. Sejenak aku takjub, beberapa detik panca inderaku tenggelam disana, hanyut oleh pemandangan yang sanggup membuat beberapa butir air mataku meleleh di pipi.