Mohon tunggu...
Samsul Bahri Sembiring
Samsul Bahri Sembiring Mohon Tunggu... Buruh - apa adanya

Dari Perbulan-Karo, besar di Medan, tinggal di Pekanbaru. Ayah dua putri| IPB | twitter @SBSembiring | WA 081361585019 | sbkembaren@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Presiden Jokowi bersama DPR Mengebiri KPK?

7 September 2019   14:32 Diperbarui: 7 September 2019   14:35 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Kompas.coma

Penyerahkan 10 nama Calon Pimpinan KPK oleh  Presiden Jokowi ke DPR, dan bersamaan dari arah sebaliknya, penyerahan  RUU KPK dari DPR ke Presiden, memberi makna kedua institusi tersebut saling menguatkan mengkebiri KPK,  dijadikan hidup segan  mati tak mau. 

Baru saja DPR menerima usulan nama capim KPK dari Presiden, tiba-tiba Rapat Paripurna hari Kamis, 5 September 2019, DPR menyepakati revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai usul inisiatif DPR. Keputusan  DPR ini mengejutkan penggiat anti korupsi karena terkesan diam-diam, dan tiba-tiba sudah disepakati fraksi-fraksi di paripurna DPR.

Langkah kedua institusi tersebut saling melindungi berlapis ganda, kalaupun Presiden mengaibaikan usulan DPR merevisi UU KPK, nama-nama calon Pimpinan KPK usulan Presiden akan melemahkan KPK. Demikian sebaliknya, seandainyapun DPR menolak nama usulan Presiden, tetapi Presiden menerima usulan revisi UU KPK dari DPR,  KPK tetap dilumpuhkan. Apa lagi kalau keduanya saling menerima, sempurnalah nasib KPK; dijadikan hidup segan mati tak mau. Sulit memahamii kalau peristiwa ini kebetulan, hanya oligarki yang punya kuasa mewujudkannya.

Kedua usulan upaya mengkebiri KPK tersebut, menegaskan bahwa suara publik untuk memperkuat KPK nyaris tidak didengar DPR dan Presiden Jokowi.  Sejak awal pembentukannya bulan Mei lalu, integritas anggota Pansel KPK sudah diragukan oleh penggiat anti korupsi. Namun kritikan itu seperti angin lalu, Pansel KPK  jalan terus tanpa perubaan susunan anggota beserta mekanisme kerjanya. Dengan tetap diserahkannya 10 nama hasil kerja Pansel KPK, membuktikan, kritikan dan kecaman penolakan nama hasil kerja Pansel KPK tidak menggentarkan Presiden Jokowi.

Meskipun 10 orang Capim KPK belum diuji DPR,  publik mencurigai setidak-tidaknya satu  diantaranya memiliki rekam jejak meragukan integritasnya sebagai pimpinan KPK, melansir Tempo.co (27/8/20119), nama tersebut adala Firli Bahuri. Inspektur Jenderal Polisi Firli Bahuri diduga melakukan pelanggaran etik karena melangsungkan pertemuan dengan mantan Gubernur Nusa Tenggara Barat Tuan Guru Bajang Zainul Majdi atau TGB Zainul Majdi. Pertemuan tersebut berlangsung saat Kepala Kepolisian Daerah Sumatera Selatan itu menjabat sebagai Deputi Penindakan KPK, sementara TGB diduga terlibat dalam kasus korupsi dana divestasi Newmont Nusa Tenggara.

Nama lain yang yang lolos seleksi adalah; Alexander Marwata, Komisioner KPK; I Nyoman Wara, Auditor BPK; Johanis Tanak, Jaksa; Lili Pintauli Siregar, Advokat; Luthfi Jayadi Kurniawan, Dosen; Nawawi Pomolango, Hakim; Nurul Ghufron, Dosen; Roby Arya B, PNS Sekretariat Kabinet; dan Sigit Danang Joyo, PNS Kementerian Keuangan.

Disisi lain, revisi UU KKP, setidak-tidaknya ada lima poin yang disepakati DPR sebagai inisiatifnya yang akan mengkebiri KPK, diantaranya;

Pertama, kedudukan KPK sebagai lembaga penegak hukum,  beserta seluruh pegawai KPK sebagai PNS, berada pada cabang kekuasaan eksekutif atau pemerintahan. Dengan ketentuan ini maka KPK yang memiliki fungsi sama dengan Kejaksaan dan Polri dalam kewenangan pemberantasan Korupsi,  menjadi melebur sama dan identik dalamakekatnya. Kalaupun ada beda-beda sedikit, itu hanya asesoris belaka.

Kedua, penyadapan harus melalui izin Dewan Pengawas KPK. Aturan ini mengkerdilkan  Komisioner Pimpinan KPK. Menjadi kabur siapa sesungguhnya yang akan mengendalikan KPK. Birokrasi pengambilan keputusan menjadi rumit dan rentan intervensi dari luar. Selain itu, akan membuat penyadapan, yang selama ini  menjadi andalan KPK dalam operasi tangkap tangan, menjadi tidak strategis.

Ketiga, KPK harus bersinergi dengan lembaga penegak hukum lain sesuai hukum acara pidana. Dengan kata lain, KPK harus seiring sejalan dengan  Kejaksaan dan Polri, maka unsur pembeda yang selama ini menjadi keistimewaan KPK menjadi keilangan makna.

Keempat, KPK dalam menjalankan tugas dan wewenangnya diawasi oleh Dewan Pengawas KPK yang berjumlah lima orang. Dewan Pengawas KPK dibantu oleh organ pelaksana pengawas. Ketentuan ini semakin mengaburkan pimpinan KPK, memperkuat argumen kedua tadi.

Terakhir, KPK berwenang menghentikan penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi apabila penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama satu tahun. Penghentian penyidikan dan penuntutan harus dilaporkan kepada Dewan Pengawas KPK dan diumumkan kepada publik dan dapat dicabut kembali apabila ditemukan bukti baru atau berdasarkan putusan praperadilan. Pukulan terakhir yang paling melumpuhkan KPK.

KPK tidak dapat menghentikan penyidikan dan penuntutan yang selama ini berlaku, adalah salah satu esensi membedakannya dari Kepolisian dan Kejaksaan. Surat Perintah Penghentian Penyidikan atau lazim disingkat SP3, merupakan senjata utama  oknum Kejaksaan dan Kepolisian menyandera kemudian memeras tersangka koruptor. Faktor ini salah satu penyebab pembusukan institusi Kepolisian dan Kejaksaan.  Perancang KPK awal sangat meyadari hal ini.

Mengapa begitu krusial penentuan pimpinan KPK dan revisi UU KPK?

Meskipun Polri dan Kejaksaan memiliki kewenangan pemberantasan korupsi, KPK adalah satu-satunya lembaga negara yang relatif masih dipercaya publik, disegani, ditakuti, dan tumpuan harapan pada pemberantasan korupsi yang telah merusak seluruh tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.  Korupsi dalam berbagai bentuk turunan dan variasinya  telah melumpuhkan hakekat tugas dan fungsi hampir semua komponen bernegara; eksekutif, legislatif, yudikatif, lembaga politik, dan bahkan  lembaga pers dapat  dilumpuhkan koruptor. KPK benteng terakhir, bila jebol juga, maka  sirnalah harapan . 

KPK bersifat independen,  dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun. Pimpinan KPK ada lima orang, jabatan selama empat tahun. Dalam pengambilan keputusan, pimpinan KPK bersifat kolektif kolegial, artinya bersama satu keputusan. Syarat formal menjadi Pimpinan KPK sangat panjang dan lengkap, sehingga orang awam sulit memaknainya,  namun secara singkat dia adalah 'manusia setengah dewa'.

Mencari pendekar sejati anti korupsi sabagai Pimpinan KPK bukanlah pekerjaan mudah. Pendekar yang dicari haruslah ulung, bersih, bebas, kuat, disegani kawan, dan ditakuti lawan . Karena lawannya adalah pendekar jahat gembong-gembong korupsi yang selain cerdik dan licin, juga didukung kekuatan kekuasaan politik oportunis  yang dapat menghancurkan siapa saja yang berani menentangnya.  

Tantangan lainnya adalah jaringan politisi oligarki oportunis akan memasukkan pendekar-pendekar siluman sebagai jagoannya berlaga  memimpin KPK. Pendekar siluman,  cerdik  mengecoh dan mengelabui sehingga sulit ditandai dengan cara biasa. Sebenarnya masih ada beberapa 'manusia setengah dewa' di Indonesia. Masalahnya meraka tidak terjaring dalam proses pemilihan atau mereka terjaring tapi dibuang. Lima dari 10 orang yang akan ditetapkan sebagai Pimpinan KPK bisa jadi pendekar siluman.

Oligarki oportunis akan selalu mengendalikan  KPK,  karena institusi ini strategis. Keuntungan strategis diperoleh karena saat ini hampir semua Politisi, Penyelenggara Negara, Pengusaha dalam jaringan oligarki kekuasaan telah tersandera kepentingan dan korupsi, persoalannya hanya siapa yang mau menjeratnya.  Keuntungan strategis tersebut; Pertama memiliki kekuasaan menjegal atau meng-kandang-kan musuh-musuh politiknya sesama oligarki, orang-orang  yang tidak disukai, ataupun pembangkang. Kedua, memiliki kekuasaan melindungi atau pembiaran orang/anggota  oligarki yang melakukan korupsi sehingga semua merasa aman untuk lebih menguatkan kekuasaan oligarki.

Oleh sebab itulah, ada tuntutan agar Pimpinan KPK bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun, maka haruslah bebas dari  kepentingan partai politik. Memang ada  pendapat lain, bukan persoalan jagoan dari partai politik atau bukan, yang penting bila telah menjadi Pmpinan KPK,  dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya harus bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun. Tapi kenyataan kita hari ini,   politik oligarki oportunis yang berkuasa akan selalu menggunakan kekuasaannya untuk melanggengkan kekuasaanya melalui penguasaan seluruh institusi penegak hukum.

Persoalan inilah yang dikhawatirkan penggiat anti korupsi, sejak semula meragukan kapasitas dan kapabilitas  anggota panitia seleksi calon pimpinan KPK. Tanda-tanda dari cara kerja  Pansel  telah tercium  oleh penggiat anti korupsi akan  menjurus memilih orang-orang di Kepolisian dan Kejaksaan. Apakah sosok  calon Pimpinan KPK sudah ada orangnya,  sehingga kerja Pansel  hanya formalitas belaka?

Sesungguhnya, tugas, fungsi, dan kewenangan memberantas korupsi bukan hanya  KPK, dari cabang ekskutif seperti Polri dan Kejaksaan memiliki kewenangan serupa, maka Presiden selaku Pemimpin Ekskutif  memiliki kekuasaan memberantas korupsi. Bahkan tanpa KPK sekalipun, Presiden memiliki kuasa memberantas korupsi,  persoalannya adalah niat dan keberanian! Lalu menjadi kontradiksi, mengapa  DPR dan Presiden mengebiri KPK menjadi seperti Kejaksaan dan kepolisian,  mengapa tidak dibunuh mati saja?

Mempersoalkan hal ini selalu menjadi polemik yang diciptakan oligarki kekuasaan,  karena hakekat masalahnya bukan disitu,  kekuasaan oligarki  oportunis itu sendirilah akar persoalannya.  Sepanjang kesadaran berpolitik Rakyat masih sanggup diperdaya  rezim politik oligarki oportunis, maka semua persoalan korupsi hanya dijadikan  polemik tak bermakna. DPR dan Presiden adalah bagian dari oligarki yang  disodorkan untuk dipilih rakyat.  Rakyat sesunggunya tidak diberi pilihan,  yang ada hanyalah memformalkan pilihan dari oligarki melalui Pemilu.

Kembali ke mekanisme penentuan Capim KPK dan revisi UU KPK,  memang Presiden dapat mengabaikan usul inisiatif DPR dengan tidak menugaskan wakilnya dalam pembahasannya di DPR. Tetapi   Presiden Jokowi, yang mengaku sudah tidak memiliki beban apa-apa lagi di periode terakhir pemerintahannya, sulit diharapkan berani menolak inisiatif DPR,  seandainyapun sesuai dengan hati nuraninya. Presiden Jokowi merupakan produk politik populis rezim oligarki, beliau akan mengambil sikap pasrah kepada kekuatan politik oligarki. Dengan tetap mengajukan nama-nama  Capim KPK hasil Pansel KPK, yang dikritisi publik, menunjukkan Presiden Jokowi masih  memiliki  beban pada oligarki.  

Gerakan masyarakat sipil di Indonesia perlu menggalang kekuatan memberikan makna  hakekat berdemokrasi. Makna memilih DPR  searusnya  untuk  memperjuangkan kepentingan Rakyat, dalam hal ini semestintya memperkuat KPK dengan menolak nama 10 orang  Capim KPK yang  tidak pantas dan tidak berinisiatif merevisi UU KPK.

Tapi hingga hari ini, DPR dan Presiden, masih bagian dari kekuasaan oligarki, tidak dapat diharapkan merubah keadaan. Pada akhirnya, bagaimanapun nanti wujud KPK,  terpaksa  kita terima.  Menerima kenyataan bahwa demikianlah kondisi kehidupan berbangsa dan bernegara kita hari ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun