Mempersoalkan hal ini selalu menjadi polemik yang diciptakan oligarki kekuasaan,  karena hakekat masalahnya bukan disitu,  kekuasaan oligarki  oportunis itu sendirilah akar persoalannya.  Sepanjang kesadaran berpolitik Rakyat masih sanggup diperdaya  rezim politik oligarki oportunis, maka semua persoalan korupsi hanya dijadikan  polemik tak bermakna. DPR dan Presiden adalah bagian dari oligarki yang  disodorkan untuk dipilih rakyat.  Rakyat sesunggunya tidak diberi pilihan,  yang ada hanyalah memformalkan pilihan dari oligarki melalui Pemilu.
Kembali ke mekanisme penentuan Capim KPK dan revisi UU KPK,  memang Presiden dapat mengabaikan usul inisiatif DPR dengan tidak menugaskan wakilnya dalam pembahasannya di DPR. Tetapi  Presiden Jokowi, yang mengaku sudah tidak memiliki beban apa-apa lagi di periode terakhir pemerintahannya, sulit diharapkan berani menolak inisiatif DPR,  seandainyapun sesuai dengan hati nuraninya. Presiden Jokowi merupakan produk politik populis rezim oligarki, beliau akan mengambil sikap pasrah kepada kekuatan politik oligarki. Dengan tetap mengajukan nama-nama  Capim KPK hasil Pansel KPK, yang dikritisi publik, menunjukkan Presiden Jokowi masih  memiliki  beban pada oligarki. Â
Gerakan masyarakat sipil di Indonesia perlu menggalang kekuatan memberikan makna  hakekat berdemokrasi. Makna memilih DPR  searusnya  untuk  memperjuangkan kepentingan Rakyat, dalam hal ini semestintya memperkuat KPK dengan menolak nama 10 orang  Capim KPK yang  tidak pantas dan tidak berinisiatif merevisi UU KPK.
Tapi hingga hari ini, DPR dan Presiden, masih bagian dari kekuasaan oligarki, tidak dapat diharapkan merubah keadaan. Pada akhirnya, bagaimanapun nanti wujud KPK,  terpaksa  kita terima.  Menerima kenyataan bahwa demikianlah kondisi kehidupan berbangsa dan bernegara kita hari ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H