Bila people  power dilakukan diluar konstitusi maka menjadi anarki atau makar, tidak akan ada golongan atau kekuatan yang berani mempeloporinya lima tahun kedepan karena TNI masih solid.Â
Tapi kalau people  power sudah dilakukan oleh sebagian besar rakyat dan segenap komponen bangsa, menjadi sebuah revolusi.  Memenuhi syarat-syarat revolusi sangatlah berat, masih impian golongan yang menghendakinya, setidaknya sepuluh tahun kedepan masih tetap hanya angan-angan.
Dalam konteks Pemerintahan Jokowi periode kedua, situasi tanpa oposisi ini menempatkan Presiden Jokowi berada diatas angin, karena melemahnya pengaruh dominasi satu partai  politik untuk  memaksakan kehendaknya.Â
Presiden dengan dukungan koalisi multi partai begitu besar, tidak memiliki kekhwatiran hanya karena ada satu dua partai berani mempelopori ancaman pemakzulan (impeachment) di tengah perjalannan pemerintahan.Â
Presiden akan lebih luwes dan lincah mengelola kekuasaan bila ada satu golongan atau partai keras kepala memaksakan kehendaknya. Keuntungan posisi ini dapat digunakan Presiden Jokowi untuk menjalankan Pemerintahan lebih efesien dan efektif. Apalagi beliau tidak memiliki beban untuk mencari dukungan politik pada pilpres 2024.
Namun, keuntungan posisi presiden yang sangat kuat tersebut dapat juga merugikan rakyat, karena sejarawan Inggris Lord Acton mengatakan  'Power tends to corrupt, and absolute power corruptst  absolutely', kekuasaan cenderung untuk korupsi, dan kekuasaan yang absolut korupsinya absolut pula. Di sinilah dirindukan kehadiran oposisi.
Hari ini, narasi oposisi sudah tidak relevan, oposisi setengah hati, bagaikan bunga kembang tak jadi. Tetapi kesadaran berpolitik rakyat semakin cerdas memaknai oposisi, Â menilai yang mana politisi oposisi sejati, siapa politisi domba berbulu macan. Rakyat akan mengawasi sendiri jalannya Pemerintahan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H