Strategi  polarisasi sentimen identitas agama  telah menunjukkan keberhasilannya pada Pilgub DKI 2017 dan Pemilihan Presiden 2019.  Polarisasi rakyat Indonesia ke kutub Kubu  01 Jokowi-Ma'ruf Amin dan Kubu 02 Prabowo Subianto-Sandiaga di kutub berlawanan. Ditenggarai polarisasi ini diprakarsai oleh Islam garis keras, strategi ini cukup berhasil, meskipun kalah. Menang dalam pertempuran tapi kalah perang. Pada dasarnya polarisasi tersebut dipahami  bermuatan sentimen Islam radikal melawan nasionalis.Â
Muatan polarisasi tersebut dilekatkan pada sosok Jokowi dan Prabowo. Bagi Islam garis keras, Prabowo sesunggunya bukan pengemban amanat Islam khilafah atau Islam radikal, melainkan hanya kenderaan boncengan belaka, dengan selesainya Pilpres -dan ternyata kalah- maka boncengan tersebut tidak akan digunakan lagi.  Sosok Prabowo bukan Islam garis keras, lantas apakah Jokowi nasionalis? Benarkah Nasionalis sedang dilawan Islam garis keras? Atau isu polarisasi  itu sengaja dihembuskan oportunis berbaju Nasionalis?
Dengan selesainya proses Pilpres maka  seharusnya kedua kutub melebur dan muatannya jadi netral. Tapi melihat kenyataan hari ini, polarisasi ini masih berlanjut dan akan ditingkatkan  oleh golongan Islam radikal, tetapi muatannya tidak lagi diembankan pada sosok Jokowi dan Prabowo. Sambil menunggu Pilpres 2024, gerakan polarisasi selanjutnya memuat paham Islam garis keras disatu kutub dan nasionalisme di kutub sebaliknya.Â
Tiba saatnya pengajuan Capres-Cawapres Pilpres 2024, muatan tersebut seketika dipikulkan dipundak sosok pasangan Capres-Cawapres yang bertarung. Sangat masuk akal bila peristiwa politik 2024, strategi polarisasi akan diulang dengan kekuatan menentukan. Bisa jadi  kutub kemenangan berubah posisi, atau terjadi polarisasi secara inkonstitusional saat penetapan pemenang, ini sangat berbahaya bagi keutuhan NKRI.
Ada dua strategi utama polarisasi yang dilakukan; Pertama, dengan kampanye dan doktrinisasi bahwa nasionalisme itu tidak sesuai dengan ajaran Islam. Kesadaran dan pemikiran nasionalis bertentangan dengan ajaran Islam. Dengan demikian Nasionalis adalah pembenci Islam, kafir, dan musuh Islam. Golongan radikal dan garis keras akan berlindung di dalam Islam.Â
Rakyat penganut agama Islam sekuler akan diarahkan atau "dipaksa" untuk memilih Islam sejati sesuai paham radikal atau dianggap bukan golongan Islam. Untuk rakyat penganut Islam moderat yang kurang religius akan ditingkatkan ke-Islamannya melalui misi dakwah sebagaimana lazimnya sambil memuat sentimen anti nasionalisme. Â Strategi ini sesungguhnya telah berjalan sejak awal era reformasi, Â ke depan intensitasnya akan lebih ditingkatkan dan diperluas oleh Islam garis keras.
Strategi kedua, golongan Islam garis keras akan menimpakan penyebab seluruh kegagalan negara  mencapai kesejahteraan dan kemakmuran rakyat kepada Pemerintahan Nasionalis. Sejak Indonesia merdeka tahun 1945, sistem pemerintahan Indonesia dan rezim pemimpin negara silih berganti, tapi tetap dikuasai nasionalis.Â
Sejak era reformasi, tidak ada yang dapat membantah bahwa sistem pemilu di Indonesia sangat demokratis. Namun demokrasi dipandang gagal melahirkan  pemimpin nasional mengantarkan rakyat Indonesia  menuju makmur sejahtera, aman, dan sentosa. Meskipun setiap pemerintahan selalu mengakui keberhasilannya, namun  pencapaiannya  masih jauh dari harapan rakyat. Â
Islam radikal  berkeyakinan tidak sepantasnya kehidupan bernegara seperti ini. Mengapa demikian,  bukankah konstitusi sudah mantap berjalan baik dan sistem demokrasinya sudah bagus?  Benar, konstitusi dan demokrasi berjalan pada jalur yang benar. Berarti ada sesuatu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang salah, atau konstitusinya sendiri yang bermasalah.
Pertanyaan diatas dijawab oleh paham Islam khilafah dan Islam garis keras lainnya dengan cerdas dan meyakinkan, bahwa  sistem kehidupan berbangsa dan bernegara yang baik dan benar adalah seperti paham mereka. Paham ini menjanjikan kehidupan yang lebih baik, bukan hanya di dunia tapi juga di akhirat. Sangat masuk akal, meyakinkan, dan dapat dipercaya. Keyakinan dan harapan yang dijanjikan khilafah sangat mudah menjangkiti  kesadaran dan pikiran rakyat  suatu negara yang terjerat kemiskinan dan putus asa. Banyak contoh negara mengalaminya.
Kedua strategi polarisasi tersebut akan sulit dilawan oleh pemerintahan nasionalis dengan pembelaan retorika belaka, apalagi dengan cara paksa, hanya  menambah kekuatan reaksioner anti pemerintahan nasionalis.Â
Satu-satunya cara menangkal polarisasi dan radikalisasi adalah membuktikan bahwa konstitusi yang telah disepakati dan dijalankan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sungguh-sunguh  nyata dapat mencapai tujuan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Tujuan ini tidak akan tercapai bila nafsu kekuasaan pemimpin-pemimpin negara selalu disembunyikan dibalik baju retorika-retorika nasionalisme negara kebangsaan.
Sesungguhnya ada musuh bersama Nasionalis dan Islam garis keras yaitu golongan oportunis. Golongan ini memanfaatkan setiap situasi untuk nafsu kekuasaan semata. Saat ini golongan oportunis yang terkuat, terbanyak,  dan ada dimana-mana, baik di Pemerintaha, partai politik nasionalis maupun di partai politik Islam moderat, bahkan ada di organisasi Islam  radikal. Â
Golongan ini selalu berusaha mempertahankan status quo agar kekuasaannya tidak diganyang habis oleh Nasionalis dan Islam garis keras. Golongan oportunis melawan Islam garis keras dengan memakai baju Nasionalis, ada kalanya memakai baju Islam moderat. Kondisi inilah sesungguhnya terjadi hari ini, bukan nasionalis melainkan golongan oportunislah musuh Islam radikal paling berat.  Memang pada saatnya, Islam garis keras akan berhadapan dengan Nasionalis, tapi saat ini belum lagi. Nasionalis sejati masih tidur.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H