Mohon tunggu...
Subagyo
Subagyo Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Pekerja hukum dan sosial; http://masbagio.blogspot.com http://ilmubagi.blogspot.com http://sastrobagio.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Tes DNA Habib Itu Soal Hukum

20 Juni 2024   22:59 Diperbarui: 20 Juni 2024   23:26 378
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Polemik tentang karya Kyai Imaduddin Utsman (Kyai Imad) dari Banten belum berakhir, meski nyalanya mereda. Namun sungguh disayangkan bahwa polemik tersebut kemudian menimbulkan narasi-narasi yang negatif dalam perspektif Wawasan Nusantara. Kalimat propaganda yang dibangun adalah "Ulama Nusantara Melawan." Memang siapa yang dilawan?

Apakah para habib keturunan dari Yaman yang turun-temurun menjadi warga negara Indonesia itu dikatakan "bukan anak Nusantara"? Jika anggapannya demikian, maka si pembuat propaganda dan yang mempercayainya adalah orang-orang yang tidak atau belum mempunyai rasa persatuan nasional. Propaganda demikian memecah persatuan nasional. Mempertahankan istilah pribumi vs non-pribumi yang tidak relevan dalam kehidupan bernegara Indonesia. Jika kita belajar sejarah tentang leluhur orang Nusantara, bukanlah semuanya juga "imigran" dari luar, yakni di antarannya bangsa Austronesia, Austroasiatik termasuk asal India, dan selanjutnya juga dari Arab? 

Seandainya ada satu atau dua orang habib yang arogan, maka tentu tidak boleh dibalas dengan cara menganggap bahwa semua habib adalah brengsek dan bukan anak-anak Nusantara. Kesalahan individual hendaknya tidak dijadikan kesalahan golongan. "Janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum membuatmu berlaku tidak adil!" (QS Almaidah: 8).

Antara Karya Ilmiah dan Aspek Hukum

Pertama, hal yang harus dipahami dulu adalah bahwa tulisan Kyai Imad yang menyatakan bahwa nasab Baalawi (Bani Alawi) tidak bersambung kepada Nabi Muhammad SAW dinilai sebagai karya ilmiah. Terlepas dari segala sisi kelemahan karya Kyai Imad tersebut, atau bahkan seandainya dinilai sebagai benar-benar karya ilmiah, maka nilai kebenaran dari suatu karya ilmiah adalah bersifat relatif. Apalagi dalam perspektif ilmu sosial terkait nasab suatu golongan.

Jadi, kalau ada orang yang menilai atau menganggap pendapat Kyai Imad tersebut sebagai kebenaran mutlak, yang dipercaya seratus persen, maka Kyai Imad sendiri harus mengingatkan kepada para "pengikutnya" bahwa kebenaran ilmiah adalah kebenaran relatif, yang artinya "bisa benar atau bisa salah."

Sebagai karya tulis ilmiah, maka memungkinkan pula untuk ditandingi dengan karya tulis ilmiah pula, sebagaimana telah tersebar pula karya tulis yang membantah pendapat Kyai Imad ataupun yang mendukungnya.

Bagi orang-orang yang tidak mengenal karakteristik karya ilmiah, maka pendapat Kyai Imad akan dianggap sebagai kebenaran final atau kesalahan final. Tentu saja anggapan demikian keliru. Orang-orang berpendidikan pasti mengetahui, bahwa kebenaran ilmiah adalah kebenaran yang rawan dengan kekeliruan. Makanya, sikap ilmiah adalah sikap skeptis (selalu meragukan teori yang sudah ada).

Kedua, setelah terjadi polemik atau perdebatan tentang benar salahnya tesis Kyai Imad, lalu muncul gagasan agar para habib melakukan tes DNA. Dorongan ini muncul dari Kyai Imad dan para pengikutnya, yang juga diikuti beberapa orang lainnya. Jika demikian, hal itu akan menjadi problem hukum. Mengapa?

Jika tes DNA dimaksudkan untuk membuktikan kebenaran bahwa para habib merupakan keturunan Nabi Muhammad atau bukan, maka pembuktian terhadap nasab atau gen seseorang tersebut sudah masuk ke dalam wilayah yuridis (hukum), yakni Hukum Keluarga. Makanya, dalam Hukum Acara Perdata Islam juga terdapat Hukum Acara untuk menguji asal-usul seseorang, untuk membuktikan seseorang sebagai anak atau keturunan sah dari siapa.

Terkait dengan hukum pembuktian tersebut, dalam kaidah hukum yang universal, di manapun di dunia ini, dan dalam sistem hukum apapun, termasuk Hukum Islam, pihak yang menuduh (si penuduh) yang mempunyai kewajiban untuk membuktikan tuduhannya.

Jika Kyai Imad dan para pengikutnya menilai bahwa pendapat Kyai Imad sebagai kebenaran yang merupakan kebenaran hukum (tidak sekadar kebenaran ilmiah), maka kedudukan Kyai Imad dan para pengikutnya adalah sebagai golongan penuduh, yang menuduh bahwa Baalawi bukan keturunan Nabi Muhammad. Sebab, selama ini secara turun-temuruan sudah terdapat fakta riwayat dan sejarah pengakuan masyarakat (mashur) bahwa Baalawi merupakan keturunan Nabi Muhammad. Di Indonesia selama ini terjadi pengakuan umum yang demikian.

Maka, sebagai penuduh, Kyai Imad dan para pengikutnya tidak boleh menyuruh Baalawi atau para habib (sebagai para tertuduh) untuk melakukan tes DNA, sebab si tertuduh tidak wajib membuktikan dirinya benar, kecuali si penuduh harus membuktikan bahwa tuduhannya benar. Jika si penuduh telah mengajukan bukti tuduhannya, maka si tertuduh barulah diberikan kesempatan untuk membuktikan bahwa bukti si penuduh adalah salah. Itu prinsip Hukum Pembuktian.

Misalnya, apabila Badrun menuduh Suparti bukan sebagai cucu Mbah Minto, maka Badrun tidak berhak menyuruh Suparti melakukan tes DNA. Ini akan menjadi konyol di mana Suparti sebagai tertuduh menjadi direpotkan gara-gara ada tuduhan kepadanya, sementara si Badrun dengan seenaknya sendiri meminta Suparti yang dituduhnya untuk membuktikan dirinya (Suparti) benar. Jadi, Badrun wajib mempunyai bukti atas tuduhannya, dan tidak boleh menyuruh-nyuruh Suparti tes DNA.  

Selanjutnya, apakah hasil tes DNA merupakan bukti hukum? Dalam hukum konvensional, hasil tes DNA yang berupa surat bukankah alat bukti hukum yang dapat berdiri sendiri, melainkan harus dijelaskan oleh ahlinya, yakni ahli biologi, sebab itu menyangkut aspek biologi, dan Hakim bukanlah ahli biologi.

Tetapi, dalam Hukum Acara Perdata, yang dipergunakan untuk pembuktian dalam hubungan nasab (di mana Hukum Keluarga merupakan bagian Hukum Perdata), keterangan ahli bukan termasuk alat bukti. Keterangan Ahli hanya diakui sebagai alat bukti dalam Hukum Acara Pidana. Fungsi keterangan ahli di dalam Hukum Acara Perdata hanyalah untuk memperjelas alat bukti yang ada, tetapi keterangan ahli tidak mengikat pandangan Hakim.

Selain itu, cara menguji alat bukti tersebut adalah melalui Pengadilan dalam suatu perkara Hukum Keluarga, bukan dengan pengujian liar yang bersifat eigenrichting (penghakiman sendiri di luar Pengadilan). Setelah oleh si penuduh (Penggugat) diajukan alat bukti hasil tes DNA dan dijelaskan oleh ahlinya yang disumpah di muka sidang Pengadilan, maka selanjutnya Hakim yang akan menilai kadar kebenarannya. Tentu para Hakim yang mengadili juga akan mempergunakan prinsip-prinsip Hukum Nasab.

Dalam hal tersebut, lantas siapa yang mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan gugatan kepada para habib atau Baalawi tersebut?

Apakah Kyai Imad dan para pengikutnya mempunyai hak atau kedudukan hukum untuk mengajukan gugatan kepada Baalawi? Hal tersebut juga perlu diuji di muka Pengadilan, apakah para penggugat mempunyai kepentingan hukum yang dirugikan sehingga mereka mempunyai hak atau kedudukan hukum untuk mengajukan gugatan. Apa bentuk kerugian yang diderita oleh Kyai Imad dan para pengikutnya sehingga mereka berhak mengajukan gugatan untuk menuduh bahwa Baalawi bukanlah keturunan Nabi Muhammad.

Jika bicara tentang Baalawi, maka tentu saja anggotanya sangat banyak, dari zaman ke zaman hingga di zaman sekarang. Lalu apakah para anggota Baalawi tersebut akan digugat semuanya, ataukah boleh direpresentasikan hanya dengan mengguat beberapa habib? Apakah Hukum Nasab membenarkan model gugatan seperti itu? Lalu putusan Pengadilan di Indonesia tentu tidak dapat berlaku secara internasional.

Jika gagasan tes DNA dituruti, hanya menjadi bahan penilaian di luar pengadilan, padahal itu terkait dengan sengketa tentang nasab Baalawi, maka hal itu akan menjadi preseden buruk, di mana selanjutnya orang menjadi bebas menuduh nasab siapapun dan selanjutnya orang yang dituduh menjadi korban (direpotkan) dengan disuruh tes DNA, lalu hasilnya diumumkan dalam proses mengadili sendiri (eigenrichting). Hal itu tidak akan terjadi kecuali dilakukan oleh orang-orang bodoh, seolah-olah di dalam negaranya tidak ada otoritas hukum yang berwenang menyelesaikan sengketa tersebut.

Jika gagasan itu dibenarkan, nanti akan ada orang yang menuduh Kyai Imad dan para pengikutnya bukan keturunan kekek buyutnya, lalu semuanya disuruh tes DNA. Itu hanya terjadi di masyarakat yang konyol yang tak ada duanya di dunia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun