Polemik tentang karya Kyai Imaduddin Utsman (Kyai Imad) dari Banten belum berakhir, meski nyalanya mereda. Namun sungguh disayangkan bahwa polemik tersebut kemudian menimbulkan narasi-narasi yang negatif dalam perspektif Wawasan Nusantara. Kalimat propaganda yang dibangun adalah "Ulama Nusantara Melawan." Memang siapa yang dilawan?
Apakah para habib keturunan dari Yaman yang turun-temurun menjadi warga negara Indonesia itu dikatakan "bukan anak Nusantara"? Jika anggapannya demikian, maka si pembuat propaganda dan yang mempercayainya adalah orang-orang yang tidak atau belum mempunyai rasa persatuan nasional. Propaganda demikian memecah persatuan nasional. Mempertahankan istilah pribumi vs non-pribumi yang tidak relevan dalam kehidupan bernegara Indonesia. Jika kita belajar sejarah tentang leluhur orang Nusantara, bukanlah semuanya juga "imigran" dari luar, yakni di antarannya bangsa Austronesia, Austroasiatik termasuk asal India, dan selanjutnya juga dari Arab?Â
Seandainya ada satu atau dua orang habib yang arogan, maka tentu tidak boleh dibalas dengan cara menganggap bahwa semua habib adalah brengsek dan bukan anak-anak Nusantara. Kesalahan individual hendaknya tidak dijadikan kesalahan golongan. "Janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum membuatmu berlaku tidak adil!" (QS Almaidah: 8).
Antara Karya Ilmiah dan Aspek Hukum
Pertama, hal yang harus dipahami dulu adalah bahwa tulisan Kyai Imad yang menyatakan bahwa nasab Baalawi (Bani Alawi) tidak bersambung kepada Nabi Muhammad SAW dinilai sebagai karya ilmiah. Terlepas dari segala sisi kelemahan karya Kyai Imad tersebut, atau bahkan seandainya dinilai sebagai benar-benar karya ilmiah, maka nilai kebenaran dari suatu karya ilmiah adalah bersifat relatif. Apalagi dalam perspektif ilmu sosial terkait nasab suatu golongan.
Jadi, kalau ada orang yang menilai atau menganggap pendapat Kyai Imad tersebut sebagai kebenaran mutlak, yang dipercaya seratus persen, maka Kyai Imad sendiri harus mengingatkan kepada para "pengikutnya" bahwa kebenaran ilmiah adalah kebenaran relatif, yang artinya "bisa benar atau bisa salah."
Sebagai karya tulis ilmiah, maka memungkinkan pula untuk ditandingi dengan karya tulis ilmiah pula, sebagaimana telah tersebar pula karya tulis yang membantah pendapat Kyai Imad ataupun yang mendukungnya.
Bagi orang-orang yang tidak mengenal karakteristik karya ilmiah, maka pendapat Kyai Imad akan dianggap sebagai kebenaran final atau kesalahan final. Tentu saja anggapan demikian keliru. Orang-orang berpendidikan pasti mengetahui, bahwa kebenaran ilmiah adalah kebenaran yang rawan dengan kekeliruan. Makanya, sikap ilmiah adalah sikap skeptis (selalu meragukan teori yang sudah ada).
Kedua, setelah terjadi polemik atau perdebatan tentang benar salahnya tesis Kyai Imad, lalu muncul gagasan agar para habib melakukan tes DNA. Dorongan ini muncul dari Kyai Imad dan para pengikutnya, yang juga diikuti beberapa orang lainnya. Jika demikian, hal itu akan menjadi problem hukum. Mengapa?
Jika tes DNA dimaksudkan untuk membuktikan kebenaran bahwa para habib merupakan keturunan Nabi Muhammad atau bukan, maka pembuktian terhadap nasab atau gen seseorang tersebut sudah masuk ke dalam wilayah yuridis (hukum), yakni Hukum Keluarga. Makanya, dalam Hukum Acara Perdata Islam juga terdapat Hukum Acara untuk menguji asal-usul seseorang, untuk membuktikan seseorang sebagai anak atau keturunan sah dari siapa.