Mohon tunggu...
Subagyo
Subagyo Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Pekerja hukum dan sosial; http://masbagio.blogspot.com http://ilmubagi.blogspot.com http://sastrobagio.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Melacak Riwayat Tanah Pulau Rempang di Negeri Cuankrasi

24 September 2023   14:09 Diperbarui: 4 Oktober 2023   00:06 585
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: google map

Konflik agraria dalam kasus Pulau Rempang di Batam, antara warga masyarakat melawan Pemerintah yang memihak investor, merupakan salah satu batu uji terhadap keberlangsungan demokrasi dan penegakan hukum konstitusi di negara ini. Di tempat-tempat lain di negeri ini banyak terjadi masalah serupa, terutama terkait “kejahatan” perubahan fungsi kawasan hutan dengan dalih pembangunan perekonomian negara. Termasuk yang terjadi di Kawasan Hutan Lindung Banyuwangi yang sebagiannya disulap menjadi tambang emas yang merusak Gunung Tumpang Pitu.

Dalam praktik demokrasi, para politisi, guna meraih kekuasaan di parlemen ataupun eksekutif, telah menghamburkan banyak uang. Itu bukan rahasia lagi. Sudah banyak testimoni, berapa puluh atau ratus milyar rupiah ongkos untuk bisa menjadi anggota DPR, bupati, walikota, gubernur, dan berapa triliun rupiah untuk memperjuangkan jabatan presiden dan wakil presiden. Dari manakah sumber uang yang dipakai?

Ketika pemilu ataupun pemilihan kepala daerah telah usai, itu berarti warga masyarakat telah menyerahkan tongkat-tongkat amanah (kepercayaan) kepada mereka yang telah terpilih. Tapi apa lacur, mereka yang telah diberikan amanah itu mempergunakan amanat untuk mengabdi kepada kepentingan diri dan golongannya, termasuk “membalas budi” kepada para pemodal politik yang mengongkosi para politisi itu.

Setelah itu, tongkat-tongkat amanah itu mulai berubah menjadi tongkat-tongkat penghalau dan penganiaya warga masyarakat yang dinilai menghalangi hajat hidup para tuan pemodal politik itu. Termasuk para tuan yang baru, yang sanggup mengongkosi di pertarungan politik di masa depan. Jadi, warga masyarakat pemilih dalam pemilu hanya dijadikan alat, diperalat. Sampai di situ, tujuan demokrasi dibajak oleh kekuasaan uang. Demokrasi gagal, dan yang berjalan adalah pemerintahan oleh uang alias cuankrasi.

Status Tanah Pulau Rempang

Kasus Rempang dapat menjadi contoh repersentasi tipikal kasus-kasus agraria pada umumnya di kawasan hutan. Semula, sejak tahun 1986, kawasan Pulau Rempang disebut sebagai Taman Buru Pulau Rempang seluas 16.000 hektar, ditetapkan sebagai Kawasan Perlindungan Keanekaragaman Hayati berdasarkan SK. Menhut No.357/Kpts-II/1986 tanggal 29 September 1986. Pada waktu itu masih berlaku UU No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan, dan  keberadaan masyarakat yang bermukim di Pulau Rempang belum dipersoalkan.

Luas Pulau Rempang, berdasarkan informasi di website BP Batam adalah 16.583 hektar. Berarti terdapat hanya sekitar seluas 583 hektar tanah Pulau Rempang yang tidak masuk ke dalam kawasan Perlindungan Keanekaragaman Hayati tersebut. Artinya, semula Pulau Rempang merupakan Kawasan Lindung atau dalam terminologi hukum menurut Pasal 6 huruf d UU No. 5 Tahun 1967 adalah kawasan perlindungan alam hayati.

Pada waktu itu, tahun 1986, juga sudah berlaku PP No. 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan, tetapi tidak mengatur hak-hak masyarakat di dalam hutan. Di dalam UU No. 5 Tahun 1967 memang menyinggung hak Masyarakat Hukum Adat, tetapi kedudukan hukumnya lemah, sebab mereka “dilarang menghalangi” pembukaan hutan untuk proyek-proyek besar pemerintah, sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 17. Istilah “dilarang menghalangi” ini dapat ditafsirkan “non-demokrasi.” Orang protes dapat dianggap penghalang.

Lalu bagaimana dengan hak-hak warga masyarakat pemukim di Pulau Rempang yang sudah ada turun temurun, sejak zaman abad ke-18, ketika Pulau Rempang ditetapkan sebagai kawasan hutan? 

Dari sejak zaman Orde Lama dan Orde Baru, kedudukan warga Rempang belum diusik. Malahan, secara administratif kampung-kampung mereka diakui dan juga dibangun sekolah. Artinya, penetapan pengukuhan kawasan hutan yang telah dilakukan, meski secara tegas tidak melakukan enclave (enklaf) terhadap pemukiman penduduk di situ, tetapi secara tindakan-tindakan pemerintahan yang administratif tidak mempersoalkan dan bahkan mengakui eksistensi pemukiman warga di Pulau Rempang tersebut.

Terkait dengan pengukuhan kawasan hutan Indonesia, memang penetapan kawasan hutan yang lama masih bersifat sementara. Pada tahun 1990, Menteri Kehutanan  mengeluarkan Keputusan Nomor : 399/Kpts-II/1990 tentang Pedoman Pengukuhan Hutan. Pasal 5 ayat (5) Keputusan tersebut menentukan, bahwa penyelesaian permasalahan di lapangan yang ada dalam wilayah hutan yang akan dikukuhkan, menjadi tugas Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehutanan dibantu oleh Dinas Kehutanan, Unit Pelaksana Teknis Kehutanan, Perum Perhutani dan Panitia Tata Batas serta instansi lain yang terkait.

Artinya, ada kewajiban Pemerintah untuk menyelesaikan hak-hak masyarakat di dalam kawasan yang akan ditetapkan sebagai kawasan hutan. Namun, melihat banyaknya kasus-kasus hak-hak masyarakat di dalam kawasan hutan yang belum selesai hingga sekarang, termasuk dalam kasus Rempang, hal itu mengindikasikan bahwa Pemerintah tidak bekerja secara optimal, sehingga menjadi bom waktu yang dapat meledak kapan saja.

Setelah reformasi, UU No. 5 Tahun 1967 diganti dengan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Pada waktu itu, Kawasan Taman Buru Pulau Rempang seluas 16.000 hektar tersebut masih aman. Warga di dalam Pulau Rempang masih aman. Sekitar empat tahun kemudian, pada 29 September 2014, keluarlah SK Penetapan Kawasan Hutan Provinsi Kepulauan Riau (di dalamnya termasuk hutan Pulau Rempang), yakni SK Menteri Kehutanan No. SK.867/Menhut-II/2014. Kawasan hutan yang ditetapkan di Provinsi Kepulauan Riau seluas sekitar 590.020 hektar.

Tetapi, pada tahun 2015 dilakukan perubahan. Kawasan hutan di Provinsi Kepulauan Riau dikurangi seluas 207.569 hektar, dilakukan perubahan fungsi seluas 60.299 hektar, dan penambahan area hutan seluas 536 hektar, berdasarkan SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Menteri LHK) No. SK.76/Menlkh-II/2015, tanggal 6 Maret 2015. Menteri LHK pada waktu itu adalah Siti Nurbaya dari Partai Nasdem.

Khusus untuk Pulau Rempang, pada 6 Maret 2015 tersebut (berarti bersamaan dengan tanggal SK Menteri LHK No. SK.76/Menlkh-II/2015 tersebut), Menteri LHK berkirim surat kepada Wakil Ketua DPR / Koordinator Bidang Industri dan Pembangunan, untuk meminta persetujuan perubahan peruntukan kawasan hutan terhadap Kawasan Taman Buru seluas sekitar 8.620 hektar. Di dalam surat tersebut juga meminta persetujuan perubahan terhadap kawasan hutan seluas sekitar 23.872 hektar yang berasal dari Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Hutan Lindung seluas sekitar 15.252 hektar, di Provinsi Kepulauan Riau.

Tiga tahun kemudian, yakni pada tanggal 21 Maret 2018, Wakil Ketua DPR / Koordinator Bidang Industri dan Pembangunan menyetujui surat permohonan Menteri LHK tersebut, yakni untuk dilakukan perubahan peruntukan Kawasan Konservasi Taman Buru Pulau Rempang, seluas 7.560 hektar menjadi Kawasan Hutan Produksi yang dapat dikonversi dan Kawasan Hutan Lindung di Pulau Batam seluas 330 hektar untuk kepentingan fasilitas umum dan infrastruktur Pemerintah.

Maka, sebagai kelanjutannya, pada 6 Juni 2018, Menteri LHK mengeluarkan keputusan No. SK.272/ MENLHK/SETJEN/PLA.0/2018 yang mengubah Kawasan Hutan Lindung di Pulau Batam seluas 330 hektar menjadi bukan hutan, dan mengubah peruntukan Kawasan Taman Buru Pulau Rempang, seluas 7.560 hektar menjadi Kawasan Hutan Produksi yang dapat dikonversi.

Dengan demikian, Kawasan Hutan Perlindungan Keanekaragaman Hayati Taman Buru Pulau Rempang, yang semula seluas 16.000 hektar, dikurangi seluas 7.560 hektar menjadi Kawasan Hutan Produksi yang dapat dikonversi. Rupanya, tanah seluas 7.560 hektar yang telah ditetapkan sebagai Kawasan Hutan Produksi (yang dapat dikonversi) inilah yang akan dijadikan kawasan yang diperuntukkan investor tersebut.

Mengapa Warga Rempang Harus Disingkirkan / Direlokasi?

Mengapa warga masyarakat Pulau Rempang harus disingkirkan dari kawasan tersebut? Sebab, si investor tidak mungkin akan mendapat hak atas tanah di situ. Cara memperoleh hak atas tanah di situ adalah dengan pelepasan kawasan hutan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan selanjutnya melalui permohonan dan pemberian hak atas tanah. Apabila di tanah tersebut masih ada warga masyarakat yang menempatinya, maka proses pelepasan Kawasan Hutan dan pemberian hak atas tanah itu tidak dapat dijalankan.

Tanah tersebut harus lebih dulu menjadi Tanah Negara bekas Pelepasan Kawasan Hutan (Pasal 2 ayat (3) huruf e PP No. 18 Tahun 2021). Bisa juga tanah tersebut statusnya dijadikan Hak Pengeloaan (HPL) atas nama BP Batam lebih dulu, kemudian selanjutnya dimohon diterbitkan hak di atasnya (HGU atau HGB) untuk kepentingan si investor sesuai dengan bidang usahanya.

Jadi, apabila diteliti riwayat perubahan-perubahan status hutan Pulau Rempang tersebut, dengan meninggalkan aspirasi warga masyarakat Pulau Rempang, yang bahkan diperlakukan sebagai “musuh investasi”, maka sebenarnya siapa yang menjadi pengkhianat konstitusi? Warga Rempang, ataukah mereka para pembuldozer hak-hak konstitusional warga Rempang?

Apakah usaha besar dengan investasi ratusan triliun rupiah itu berjasa dalam pembangunan ekonomi negara? Mari lihat data perekonomian Indonesia. Ternyata penyerap tenaga kerja nasional sebesar sekitar 96,92% adalah Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Usaha-usaha besar hanya menyerap sekitar 3,08% tenaga kerja Indonesia. Itu data Pemerintah sendiri, yakni Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah.

Namun problem mendasarnya bukan ekonomi itu, melainkan keadilan dalam berdemokrasi. Republik Indonesia sudah disepakati menjadi negara demokrasi Pancasila, bukan negara komunis tiran ataupun kerajaan absolut.

Warga masyarakat yang pada saat pemilu diminta-minta dan dirayu-rayu untuk mencoblos, mengapa pada saat dilakukan proses-proses perubahan peruntukan sumber daya agraria di lingkungan warga, mereka ditinggalkan dan bahkan diusir-usir? Mengapa hukum yang memberikan jaminan hak kepada warga negara tersebut dilanggar seenak udelnya sendiri? Malah mereka diancam dibulldozer? Ya karena cuankrasi itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun