Konflik agraria dalam kasus Pulau Rempang di Batam, antara warga masyarakat melawan Pemerintah yang memihak investor, merupakan salah satu batu uji terhadap keberlangsungan demokrasi dan penegakan hukum konstitusi di negara ini. Di tempat-tempat lain di negeri ini banyak terjadi masalah serupa, terutama terkait “kejahatan” perubahan fungsi kawasan hutan dengan dalih pembangunan perekonomian negara. Termasuk yang terjadi di Kawasan Hutan Lindung Banyuwangi yang sebagiannya disulap menjadi tambang emas yang merusak Gunung Tumpang Pitu.
Dalam praktik demokrasi, para politisi, guna meraih kekuasaan di parlemen ataupun eksekutif, telah menghamburkan banyak uang. Itu bukan rahasia lagi. Sudah banyak testimoni, berapa puluh atau ratus milyar rupiah ongkos untuk bisa menjadi anggota DPR, bupati, walikota, gubernur, dan berapa triliun rupiah untuk memperjuangkan jabatan presiden dan wakil presiden. Dari manakah sumber uang yang dipakai?
Ketika pemilu ataupun pemilihan kepala daerah telah usai, itu berarti warga masyarakat telah menyerahkan tongkat-tongkat amanah (kepercayaan) kepada mereka yang telah terpilih. Tapi apa lacur, mereka yang telah diberikan amanah itu mempergunakan amanat untuk mengabdi kepada kepentingan diri dan golongannya, termasuk “membalas budi” kepada para pemodal politik yang mengongkosi para politisi itu.
Setelah itu, tongkat-tongkat amanah itu mulai berubah menjadi tongkat-tongkat penghalau dan penganiaya warga masyarakat yang dinilai menghalangi hajat hidup para tuan pemodal politik itu. Termasuk para tuan yang baru, yang sanggup mengongkosi di pertarungan politik di masa depan. Jadi, warga masyarakat pemilih dalam pemilu hanya dijadikan alat, diperalat. Sampai di situ, tujuan demokrasi dibajak oleh kekuasaan uang. Demokrasi gagal, dan yang berjalan adalah pemerintahan oleh uang alias cuankrasi.
Status Tanah Pulau Rempang
Kasus Rempang dapat menjadi contoh repersentasi tipikal kasus-kasus agraria pada umumnya di kawasan hutan. Semula, sejak tahun 1986, kawasan Pulau Rempang disebut sebagai Taman Buru Pulau Rempang seluas 16.000 hektar, ditetapkan sebagai Kawasan Perlindungan Keanekaragaman Hayati berdasarkan SK. Menhut No.357/Kpts-II/1986 tanggal 29 September 1986. Pada waktu itu masih berlaku UU No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan, dan keberadaan masyarakat yang bermukim di Pulau Rempang belum dipersoalkan.
Luas Pulau Rempang, berdasarkan informasi di website BP Batam adalah 16.583 hektar. Berarti terdapat hanya sekitar seluas 583 hektar tanah Pulau Rempang yang tidak masuk ke dalam kawasan Perlindungan Keanekaragaman Hayati tersebut. Artinya, semula Pulau Rempang merupakan Kawasan Lindung atau dalam terminologi hukum menurut Pasal 6 huruf d UU No. 5 Tahun 1967 adalah kawasan perlindungan alam hayati.
Pada waktu itu, tahun 1986, juga sudah berlaku PP No. 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan, tetapi tidak mengatur hak-hak masyarakat di dalam hutan. Di dalam UU No. 5 Tahun 1967 memang menyinggung hak Masyarakat Hukum Adat, tetapi kedudukan hukumnya lemah, sebab mereka “dilarang menghalangi” pembukaan hutan untuk proyek-proyek besar pemerintah, sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 17. Istilah “dilarang menghalangi” ini dapat ditafsirkan “non-demokrasi.” Orang protes dapat dianggap penghalang.
Lalu bagaimana dengan hak-hak warga masyarakat pemukim di Pulau Rempang yang sudah ada turun temurun, sejak zaman abad ke-18, ketika Pulau Rempang ditetapkan sebagai kawasan hutan?
Dari sejak zaman Orde Lama dan Orde Baru, kedudukan warga Rempang belum diusik. Malahan, secara administratif kampung-kampung mereka diakui dan juga dibangun sekolah. Artinya, penetapan pengukuhan kawasan hutan yang telah dilakukan, meski secara tegas tidak melakukan enclave (enklaf) terhadap pemukiman penduduk di situ, tetapi secara tindakan-tindakan pemerintahan yang administratif tidak mempersoalkan dan bahkan mengakui eksistensi pemukiman warga di Pulau Rempang tersebut.