Ada setidak-tidaknya dua hal yang membuat rutinitas puasa Romadhon setiap tahun ini tidak mampu menghentikan tradisi korupsi di negara ini. Pertama, karena cara pikir masyarakat yang masih koruptif. Kedua, ketidakmampuan rezim dalam menegakkan syariah (hukum) antikorupsi dalam keadaan luar biasa ini.
Ayat puasa Romadhon sangat terkenal, selalu dilantunkan setiap tahun, dengan target (menurut Allah) la’alakum tattaqun (agar kamu bertakwa). Takwa ini berdimensi akidah atau keimanan dan akhlak, dua hal yang tak boleh dipisahkan. Iman itu berada di relung jiwa dan menjadi energi bagi akhlak dalam berelasi dengan diri-sendiri, keluarga dan masyarakat.
Ada makna yang dalam mengapa ciri orang bertakwa (al-muttaqin) itu adalah percaya kepada hal ghaib, mendirikan shalat, dan menafkahkan rezeki yang dipunyainya di jalan Allah. Infaq atau membelanjakan rezeki di jalan Allah itu dalam makna rezeki halal, bukan hasil korupsi atau uang haram lainnya. Itu terkait tindakan peduli sosial, turut dalam upaya menyejahtarakan sosial, kebalikan dari “menjadi penyakit sosial” seperti koruptor contohnya.
Sedangkan iman kepada hal ghaib itu bukan semata soal yakin adanya Allah, malaikat Allah, serta makhluk-makhluk Allah yang “belum” terdeteksi indera (mungkin ada inti dari inti atom dan seterusnya bagian terkecil, atau ada alam semesta lainnya yang belum terdeteksi alat manusia).
Percaya kepada hal yang ghaib ini harus ada akibatnya, yakni berkembangnya ilmu pengetahuan manusia dengan jalan membuka tabir-tabir ilmu yang masih tersimpan di alam semesta. Kalau dalam ilmu hukum ada pencarian sehingga dapat menemukan hukum (rechtsvinding). Hukum yang telah ditemukan, semula adalah ghaib, setelah ditemukan maka menjadi tidak ghaib.
Sebagaimana ilmu pengetahuan manusia yang hanya setitik embun di antara air samudera semesta, ada ilmu dalam kadar tak terbatas yang belum diketahui manusia, yang hal itu harus merangsang para al-muttaqin untuk menggali kekayaan ilmu pengetahuan yang masih belum ditemukan (ghaib). Makin banyak keghaiban yang terbongkar, maka ilmu manusia makin berkembang. Maka, beriman kepada hal ghaib adalah jalan menuju kemajuan.
Hal yang ghaib tersebut adalah termasuk rahasia formula tentang bagaimana Indonesia dapat terbebas dari korupsi. Jika formula itu dapat ditemukan dan diterapkan sehingga berhasil, maka itu menjadi kekayaan ilmu pengetahuan hukum.
Pun seharusnya shalat yang didirikan itu menurut Quran mampu membuat muslim mencegah perbuatan keji dan munkar terutama untuk dirinya sendiri. Innashalaata tanha ‘anil fakhsyaa’i wal munkar.
Jika shalat yang didirikan belum mampu menertibkan akhlak diri-sendiri, berarti shalatnya belum berdiri, shalatnya masih sekadar dijalankan, si pelaku shalat belum mencapai al-muttaqin (orang bertakwa). Jika ada orang Islam yang masih mau menerima suap, dalam bentuk uang atau barang atau kenikmatan apa saja, maka puasanya gagal mencapai target, shalatnya gagal mencapai tujuan, sehingga puasa dan shalatnya muspro.
Korupsi Ajaran Agama
Itu mungkin berkaitan dengan cara pikir (paradigma) dalam beragama. Beberapa kali saya melihat atau membaca dakwah tentang dalil apologi, yakni “Setiap orang yang membaca laa ilaha illallaah maka dia akan masuk surga.” Lalu ada penjelasannya bahwa sebesar apapun dosa seseorang tetapi jika orang itu beriman kepada Allah dengan membaca kalimat tauhid itu, maka orang itu akan masuk surga meskipun akan disiksa di neraka lebih dulu untuk menyucikan dirinya dari dosa-dosanya.”
Tetapi dalil apologi itu tidak dikaitkan dengan dalil-dalil lainnya secara sistematik guna mendapatkan pemahaman dan cara pikir yang lebih tepat. Contohnya terdapat dalil lain yang menyatakan bahwa jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah kamu hormati, tamumu, tetanggamu dan berkatakah yang baik, atau diamlah (jika tak bisa berkata baik). Artinya, omong kosonglah kamu mengaku beriman membaca laa ilaha illallah tetapi kamu tidak menghormati tamu dan tetangga, tidak mau bicara yang baik, bicaramu jelek-jelek!
Apalagi jika level perbuatannya adalah korupsi, menerima sogok, gratifikasi dalam jabatan, menipu, menggelapkan uang atau kekayaan orang dan perbuatan-perbuatan lainnya yang merugikan orang lain atau merusak peradaban, termasuk merusak atau mencemari lingkungan hidup. Jadi, iman selalu tercermin dari akhlak. Oleh sebab itu, meskipun mengucap laa ilaha illallah, tetapi jika merusaknya dengan akhlak buruk, maka imannya adalah palsu alias hanya di bibir dan di sanubari.
Bangsa ini memang sudah terdidik korupsi. Di tingkat paling bawah ketika ada proses pemilihan kepada desa saja sudah ada kebiasaan sogok kepada warga yang dilakukan oleh para calon kepala desa. Kebiasaan itu terbawa di tingkat yang lebih atas dalam pemilihan kepala-wakil kepada daerah (pilkada). Demokrasi kita sudah rusak. Begitu pula ketika ada rekrutmen pegawai pemerintah, sejak dulu biasa ada sogok-menyogok.
Kalau mau sadar dan bertobat, setidaknya bisa meniru Nabi Adam dan Ibu Hawa yang bertobat, memohon ampun kepada Allah dan siap menerima hukuman. Kalau mau bertobat, para pegawai pemerintah termasuk sipil dan militer serta perusahaan negara yang dulunya menyogok, maukah mereka berhenti dan mundur sebagai pegawai pemerintah, untuk menghentikan keberlanjutan keharaman yang mereka jalani? Apakah dikira gaji yang diterima sebagai pegawai yang masuk dengan cara menyogok itu adalah halal? Kebaikan atau kehalalan (haq) tentu tidak dapat diperoleh dari jalan yang buruk atau haram (bathil).
Adam dan Hawa adalah manusia surga. Ketika mereka bersalah maka hukumannya adalah diturunkan grade alamnya dari surga ke bumi. Lalu manusia yang sudah di bumi ini akan diturunkan ke grade alam mana jika mereka mau bertobat dari dosa-dosanya? Iblis itu beriman kepada Allah, berkomunikasi dengan Allah, konon pernah menjadi senior dan penasihat para malaikat. Tapi karena Iblis tidak patuh dalam satu perintah Allah dan Iblis tidak mau bertobat maka Iblis divonis menjadi penghuni neraka yang kekal. Jadi, grade alam Iblis adalah dari surga ke neraka.
Dengan cara pikir yang salah tersebut, dengan mempergunakan ajaran dalil apologi yang sebenarnya itu bukan dalil apologi, maka jadilah bangsa ini sebagai bangsa yang korup, tidak mencerminkan sebagai bangsa beragama. Oleh sebab itu bangsa ini butuh pendidikan antikorupsi berbasis agama yang revolusioner untuk mengentaskan diri dari kesesatan itu, agar agama tidak dianggap sebagai alat penghapus dosa-dosa yang disengaja itu. Salah satu keberhasilan Hongkong dalam memberantas korupsi adalah dengan pendidikan kepada para penegak hukum, para apartur pemerintah dan kepada masyarakat dengan pendidikan antikorupsi.
Korupsi sebenarnya bermakna luas, bukan sekadar korupsi uang negara, tapi juga dalam bentuk-bentuk yang lebih sadis, misalnya pengubahan kawasan-kawasan konservasi atau lindung menjadi kawasan yang diizinkan untuk ditambang, perusakan serta pencemaran lingkungan hidup yang sudah pasti menimbulkan cost of ecology yang jumlahnya tak terhingga sampai dengan akibat-akibat bagi kesehatan dan nyawa banyak manusia.
Pendidikan agama juga telah dikorupsi dengan hanya menonjolkan pendidikan ritual yang menampilkan dalil apologi yang sesungguhnya itu bukanlah dalil apologi. Pendidikan tentang esensi ajaran agama (hakikat) dikalahkan oleh pendidikan ritual, sehingga agama tidak menjadi kekuatan pemberantasan korupsi, tetapi agama justru menjadi kekuatan kompromis dengan nilai-nilai korupsi. Apa yang ada di pikiran Anda ketika ada ormas agama dan para pemuka agama bersekutu dengan perusahaan tambang yang merusak alam, meskipun mereka berbuih-buih dalam bicara antikorupsi?
Syariah Antikorupsi
Selain kekeliruan paradigma masyarakat beragama, ternyata negara ini juga masih lemah dalam upayanya untuk memberantas korupsi. Ketika saya membaca buku terjemahan Muqoddimah-nya Ibnu Khaldun, di dalamnya diutarakan bahwa syariah (hukum) hanya bisa tegak jika ada (ditegakkan oleh) kerajaan (saya tafsirkan sebagai negara). Negara Indonesia ini mempunyai syariah antikorupsi yang berwujud undang-undang yang dijiwai oleh nilai-nilai agama, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa dan Kemanusiaan yang adil dan beradab. Tetapi negara masih lemah dalam menegakkan syariah antikorupsi itu.
Dalam keadaan korupsi yang separah ini, Kepala Pemerintahan sudah seharusnya tidak mengikuti asas-asas hukum normal, tapi harus revolusioner. Kalau Presiden berkata, “Presiden tidak akan intenvensi penegakan hukum”, maka itu sebuah kelemahan sikap, meskipun bukan kesalahan. Keadaan extra ordinary membutuhkan langkah extra ordinary pula. Jika Presiden mengetahui bahwa KPK membutuhkan dukungan yang kuat untuk menyikat siapa saja yang menjadi penyakit negara ini, maka Presiden harus intervensi mendukung agar KPK kuat.
Jika keadaan negara ini tak sembuh-sembuh dari sakit jiwa bernama korupsi itu, Presiden akan dinilai tidak becus. Jika Presiden melakukan intervensi dalam penegakan hukum pemberantasan korupsi, Presiden akan dikecam para ahli hukum. Nah, lalu Presiden harus begaimana? Presiden harus memilih melakukan intervensi penegakan hukum pemberantasan korupsi agar negara ini sembuh dari sakit jiwa itu, biarpun dikecam oleh para ahli hukum, tapi ada hasil yang membuat negara ini sembuh dari sakit jiwa dan menjadi lebih bermartabat dan beradab, bisa menyejahterakan rakyatnya. Itulah jalan revolusi, sebuah jalan yang tidak biasa.
Sampai kapan KPK akan kelelahan bergerak ke sana ke mari seperti dokter-dokter yang pontang-panting mengobati pasien dalam keadaan negara terserang wabah penyakit di mana-mana, tetapi negara ini belum menemukan vaksin dan formula untuk melenyapkan wabah itu. Apalagi jika jumlah dokternya jauh dari cukup dibandingkan luasnya negara ini?
Vaksinnya adalah termasuk penerapan e-government di seluruh Indonesia yang pernah dijanjikan oleh Presiden Jokowi saat kampanye pilpres dahulu yang katanya akan diselesaikan dalam waktu dua minggu. Ada standard layanan dengan batasan biaya, waktu dan kejelasan persyaratan, layanan yang meminimalisasi pertemuan warga dengan pejabat pelayanan pemerintahan agar tidak ada lagi alasan untuk bisa ada suap-menyuap. Begitu pula segala transaksi pembayaran harus dengan cara setor melalui bank.
Tinggal mengawasi orang-orang yang menjalankan dan mengendalikan sistem tersebut. Sebab, ibaratnya, meskipun sudah disediakan sistem rambu-rambu lalu-lintas, terkadang masih ada saja yang menerobos sistem.
Sebentar lagi Idul Fitri akan datang. Tapi seperti tahun-tahun yang lalu-lalu, Idul Fitri yang bermakna “Kembali Suci” hanyalah sekadar upacara dan kata-kata yang menghabiskan banyak ongkos di mana-mana, yang hanya makin memperkaya kaum borjuis. Idul Fitri masih belum akan mengembalikan manusia-manusia Indonesia menjadi suci terbebas dari tradisi korupsi. Idul Fitri dalam makna yang sesungguhnya masih menjadi mimpi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H