Mohon tunggu...
Subagyo
Subagyo Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Pekerja hukum dan sosial; http://masbagio.blogspot.com http://ilmubagi.blogspot.com http://sastrobagio.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Seleksi Calon Pemimpin yang Bermutu

13 Juni 2017   14:29 Diperbarui: 13 Juni 2017   15:14 456
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Melihat sengkarut kasus ekologi semacam izin reklamasi Pantai Utara Jakarta dan izin tambang semen di Pegunungan Kendeng Jawa Tengah, ada suatu urutan yang menunjukkan bahwa ada sisi urusan pemerintahan telah dijalankan secara ilegal oleh pejabat eksekutif negara.

Mari kita berlogika yang sehat, tidak perlu menggunakan teori yang muluk-muluk. Izin reklamasi dan izin usaha pertambangan telah diberikan oleh Gubernur. Untungnya ada sebagian warga masyarakat yang protes karena merasa dirugikan atau menilai bahwa ada potensi bahaya ekologi atas dikeluarkannya izin tersebut, sehingga selanjutnya menjadi kasus yang dibahas umum. Lalu pemerintah pusat barulah turun tangan.

Pemerintah kemudian turun tangan membuat Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). Berdasarkan hasil KLHS itu keluar rekomendasi agar dilakukan "penghentian sementara penambangan" di wilayah Cekungan Air Tanah (CAT) Watuputih Pegunungan Kendung. Bukan hanya PT. Semen Indonesia yang mempunyai Izin Usaha Pertambangan (IUP) di situ, tetapi ada 22 pemegang IUP di wilayah itu. Demikian pula, sebelum KLHS disusun untuk reklamasi Pantai Utara Jakarta, karena dibikin rebut, maka barulah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI (Kemen LHK) melakukan investigasi dan memberikan sanksi kepada pengembang reklamasi untuk "menunda reklamasi."

Undang-undang 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) untuk diberlakukan 3 Oktober 2009 atau tujuh tahun yang lalu. Sistem pembangunan berwawasan lingkungan dalam UU itu sudah jelas mengatur urut-urutan suatu usaha. Izin usaha dikeluarkan setelah adanya izin lingkungan. Izin lingkungan diwajibkan memperhatikan Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) dan syarat-syarat lingkungan. Sedangkan penataan ruangnya sendiri harus berdasarkan pada KLHS. Artinya, KLHS itu mendahului RTRW. Lha KLHS itu menjadi kewajiban dan kewenangan pemerintah pusat dan daerah untuk menyusunnya dengan melibatkan partisipasi masyarakat. Apakah Anda sudah pernah diajak diskusi oleh pemerintah untuk penyusunan KLHS?

Tetapi sekarang justru fakta pembangunan yang terjadi adalah kebalikan dari (bertentangan dengan) sistem hukum ekologi yang sudah disepakati sebagai hukum negara. KLHS ternyata dijadikan sebagai pemadam kebakaran. IUP dikeluarkan, lalu diprotes warga, baru kemudian pemerintah sibuk meneliti dan akhirnya menyusun KLHS. Kok KLHS ditaruh di belakang?

Baiklah, saya berandai-andai bahwa para pejabat negara terlalu sibuk dengan politik pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah yang selalu menjadi biang rebut itu, sehingga tidak sempat menyusun KLHS dalam rangka evaluasi terhadap hukum penataan ruang (RTRW), tetapi pembangunan harus tetap berjalan, sehingga tidak mungkin pembangunan dihentikan karena menunggu KLHS itu. Tetapi kapan pemerintah mulai serius bekerja secara taat hukum? Apakah hukum itu hanya diwajibkan ditaati oleh rakyat jelata saja? Tapi entitas yang besar-besar diberikan dispensasi untuk melanggar hukum?

Saya menjadi curiga, jangan-jangan para pejabat eksekutif yang terpilih  itu memang tidak mempunyai kapabilitas untuk memerintah. Mereka teledor dalam mengeluarkan keputusan-keputusan izin usaha demi mengejar angka pertumbuhan ekonomi di mana angka pertumbuhannya secara mayoritas hanya dinikmati pada penabung kekayaan besar. Rakyat kecilnya hanya menjadi buruh dan korban-korban penggusuran serta para korban kerusakan lingkungan: rakyat mati terhanyut banjir dan tertimbun tanah longsor, anak-anak lahir terkontaminasi racun tanah dan udara, para petani harus membeli pestisida karena lenyapnya peradator alami wereng dan penyakit tanaman, dan akibat buruk lainnya.

Demokrasi Asal-asalan

Sistem pemilihan dalam demokrasi kita memang sebuah sistem yang sembarangan. Coba pikirkan! Orang untuk bisa menjadi guru harus berpendidikan tinggi khusus pendidikan dan harus lulus uji kapabilitas sebagai guru, terutama di bidangnya. Sama halnya orang akan menjadi dokter harus berpendidikan khusus kedokteran.

Tetapi di sini untuk bisa menjadi anggota parlemen yang harus memiliki keahlian menyusun regulasi berbagai bidang, atau untuk menjadi presiden dan kepala daerah yang seharusnya mempunyai keahlian hukum tata negara dan administrasi negara, mereka itu hanya dipilih melalui pemilihan oleh rakyat, tanpa memiliki mutu dengan pendidikan khusus dan tanpa diuji secara khusus keahlian ketatanegaraannya dan ketataadminstrasiaannya. Mereka juga tidak teruji akhlaknya karena hukum politik yang longgar (liberal). Bagaimana terpidana korupsi kok bisa menjadi anggota parlemen?

Akhirnya pemilihan umum dalam demokrasi di Indonesia ini seperti sistem judi, untung-untungan. Celakanya, jika orang-orang yang terpilih itu kebanyakan tidak mempunyai keahlian di bidang pemerintahan, lalu mengandalkan para staf ahli yang advis-advisnya mungkin dipahaminya dengan cara yang buta karena tanpa landasan ilmu pemerintahan.

Seorang Lurah atau Camat yang diberikan ilmu pemerintahan mungkin lebih pintar dalam pemerintahan daripada para kepala daerah, para anggota parlemen dan presiden yang tidak mempunyai pengalaman panjang dalam urusan pemerintahan. Hal ini harus dipikirkan, sehingga tidak terus berlanjut timbul fenomena ilegalitas pemerintahan karena demokrasi yang dijalankan melahirkan para pemimpin yang tidak bermutu.

Menyusun Sistem Rekrutmen Pemimpin Formal

Pada sekitar abad Ke-14 dahulu, Ibnu Kholdun menyatakan salah satu syarat pemimpin negara adalah mempunyai kecakapan atau kemampuan termasuk mumpuni secara ilmu pemerintahan, selain harus adil. Tentu saja akhlak menjadi faktor yang paling penting.

Ke depan, sudah seharusnya negara ini membuat sistem rekrutmen para pemimpin pemerintahan yang tidak melulu bergantung kepada sistem demokrasi pemilu yang asal-asalan tanpa memperhatikan kualifikasi akhlak dan ilmu para calon pemimpin.

Para calon pemimpin harus mempunyai bukti bahwa mereka sekurang-kurangnya cakap secara ilmu hukum dan pemerintahan. Memang tidak harus sarjana hukum, tetapi calon pemimpin harus memahami hukum secara umum, sebab mereka dipersiapkan untuk memimpin organisasi hukum yang bernama pemerintah. 

Saya belum mampu menemukan metodanya yang sempurna. Tapi sekurang-kurangnya partai politik yang mencalonkan kadernya untuk menjadi calon presiden, wakil presiden, anggota parlemen, harus diwajibkan lebih dulu mempersiapkan para kadernya tersebut dengan memberikan pendidikan secara khusus dan intensif ilmu pemerintahan dan berbagai bidang hukum pemerintahan selama sekurang-kurangnya 7 (tujuh) bulan dari pencalonan. Partai-partai politik diwajibkan bekerjasama dengan kampus-kampus guna menyelenggarakan pendidikan khusus tersebut untuk menerbitkan semacam ijazah atau sertifikat keahlian ilmu pemerintahan.

Bagitu pula bagi mereka yang hendak mencalonkan atau dicalonkan menjadi pemimpin formal, termasuk calon menteri, dari jalur perseorangan (nonparpol) harus mempunyai keahlian di bidang ilmu hukum pemerintahan dan administrasi negara dengan menempuh pendidikan khusus 7 bulan yang diselenggarakan partai politik yang bekerjasama dengan kampus-kampus tersebut.

Pendidikan khusus untuk calon aparatur negara itu adalah pendidikan tanpa berbiaya, di mana kampus dan para akademisi wajib menjadi para relawan yang tidak dibayar untuk itu sebagai bagian dari pengabdian kepada negara. Hal itu untuk memberikan kesempatan yang sama pula kepada mereka yang tidak mampu secara ekonomi.

Setelah menjabat pun negara harus terus membekali ilmu aparatur negara terpilih secara berkala dan rutin melalui lembaga pembinaan aparatur negara. Presiden, para menteri dan para Kepala Daerah harus terus diberikan pendidikan khusus secara berkala, sebagaimana prinsip long life education.

Barangkali ada yang mempunyai ide lain, dalam rangka menyusun demokrasi yang lebih baik, agar tidak terpilih aparatur negara yang ilmunya asal-asalan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun