Mohon tunggu...
Subagyo
Subagyo Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Pekerja hukum dan sosial; http://masbagio.blogspot.com http://ilmubagi.blogspot.com http://sastrobagio.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

NKRI Pernah Bubar dan Ada Negara Madura

12 Mei 2017   21:57 Diperbarui: 12 Mei 2017   22:31 1616
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tapi sayangnya anak-anak muda sekarang kian banyak yang tidak paham Pancasila. Bahkan kadang diragukan apakah hafal rumusan Pancasila atau tidak. Setingkat dosen pun masih ada yang punya cita-cita memisahkan agama dengan politik dan melakukan sekularisasi Indonesia. Mereka ini tidak membaca pidato Bung Karno tanggal 1 Juni 1945 secara utuh, tidak meneliti pendapat-pendapat para pendiri negara seperti Moh, Yamin, Moh. Hatta, Soepomo dan tidak mempelajari sejarah proses penyusunan Pancasila dan UUD 1945 sejak masa BPUPKI hingga PPKI, serta bagaimana pembahasan dan perdebatan yang terjadi.

Mereka para anak muda jarang yang paham apa itu filsafat atau paham negara integralistik dan religious nation state of Indonesiasebagai hasil kompromi para pendiri NKRI dari berbagai golongan. Akhirnya mereka hanya menggunakan ilmu asal njeplak dengan teori kebarat-baratan atau ketimurtengahan yang tidak relevan.

Lalu bagaimana nasib NKRI ke depan. Saya coba gunakan pendekatan pendapat Ibnu Khaldun tentang keberlangsungan suatu negara. Ini soal sejarah, sebab Ibnu Khaldun mengamati sejarah negara-negara. Pertama, bahwa kejayaan dan keberlangsungan eksistensi suatu negara (istilahnya dia adalah kerajaan), tergantung kepada kekuatan pengelolanya. Kedua, keberlangsungan negara juga tergantung fanatisme yang dimiliki negara itu.

Jika negara mempunyai kekuatan prima dalam pengelolaannya, dalam arti bahwa pemerintah pusat mampu secara kuat mengendalikan seluruh pemerintahan di tingkat bawahnya, termasuk di daerah-daerah, maka tidak akan mudah ada bagian-bagian yang melepaskan diri. Kita bisa menambahi teori itu dengan dijalankannya pengelolaan negara berprinsip keadilan. Jangan membuat suatu daerah merasa dianaktirikan atau dijadikan sapi perah. Selain itu juga tergantung faktor fanatisme dalam arti seberapa kuat jiwa nasionalisme warganya. Indonesia yang heterogen ini akan makin banyak kepentingan yang berbenturan antargolongan.

Jika jiwa nasionalisme antargolongan itu lemah, maka akan mudah terjadi perpecahan dan membubarkan negara. Tapi jika jiwa nasionalismenya kuat, maka persatuan negara akan menjadi pertimbangan utama dibandingkan kepentingan kelompok atau golongan. Prinsip itu sebenarnya adalah prinsip Pancasila: mementingkan kepentingan umum daripada kepentingan golongan dan pribadi. Lawan dari prinsip liberalisme. Makin banyak warga negara yang cengeng dan mementingkan kepentingan golongan, enggan berkorban demi persatuan, maka negara ini segera bubar.

Sebaiknya tokoh-tokoh yang membuat kontroversi menjadi penyebab pertikaian mau untuk mundur sebagai penyebab kontroversi, demi persatuan. Salah satu tokoh Indonesia yang berbesar hati mundur dari ambisi politik saat dia menjadi kontroversi dan menjadikan negara gaduh adalah seorang jenderal Katholik bernama Benny Moerdani di jaman Suharto. Di Jaman reformasi juga ada BJ Habibie seorang tokoh muslim yang mau mengakhiri jabatannya sebagai presiden sebelum waktunya dan mempercepat pemilu karena setiap hari negara ini gaduh dengan aksi demo yang memintanya mundur. Setelah itu siapa lagi?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun