Mohon tunggu...
Subagyo
Subagyo Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat

Pekerja hukum dan sosial; http://masbagio.blogspot.com http://ilmubagi.blogspot.com http://sastrobagio.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

NKRI Pernah Bubar dan Ada Negara Madura

12 Mei 2017   21:57 Diperbarui: 12 Mei 2017   22:31 1616
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jika kita membaca sejarah nasional, yang hal itu juga diajarkan kepada murid-murid SMA, ternyata NKRI pernah bubar. Setelah Indonesia merdeka tanggal 17 Agustus 1945, lalu dibentuk pemerintahan tanggal 18 Agustus 1945, pemerintahan Indonesia masih harus menjalani revolusi. Kembalinya Belanda ke Indonesia yang dibantu oleh pasukan sekutu yang melakukan agresi militer ke Indonesia termasuk menjadi sebab bubarnya NKRI. Bubarnya NKRI yang saya maksudkan ini ditinjau dari perspektif keutuhan wilayah dan berlakunya konstitusi.

Pada waktu itu Belanda didanai oleh Amerika Serikat agar bisa mengembalikan kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda di Indonesia. Kerjasama Belanda dan sekutunya menempatkan Penglima Tertinggi Sekutu untuk Komando Asia Tenggara, Louis Mounthbatten mengontrol Indonesia. Tentara Australia dan Belanda masuk menguasai wilayah-wilayah Indonesia. Perlawanan rakyat Indonesia terjadi. Akhirnya dilakukan diplomasi sehingga tercapai Perjanjian Linggarjati pada tanggal 15 November 1946 yang isinya adalah bahwa Belanda mengakui defacto wilayah Republik Indonesia (RI) meliputi Sumatra, Jawa dan Madura. Belanda akan meninggalkan wilayah defacto RI tersebut selambatnya tanggal 1 Januari 1949. RI dan Belanda akan bekerjasama membentuk Indonesia Serikat dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS) di mana salah satu negara bagiannya adalah RI. RIS dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia – Belanda dengan Ratu Belanda sebagai ketuanya. Kalimatan dan Timur Raya akan masuk di dalam Uni Indonesia – Belanda.

Tapi Belanda melanggar Perjanjian Linggarjati dengan melakukan agresi militer tanggal 20 Juli 1947. Tetapi selnjutnya ada reaksi internasional dari Australia, India, Uni Soviet, dan Amerika Serikat yang mendukung Indonesia. PBB mengeluarkan resolusi gencatan senjata 1 Agustus 1947. Tanggal 17 Januari 1948 ditandatangani Perjanjian Renville di atas kapal perang Amerika Serikat USS Renville di Tanjung Priok diawasi oleh Komite Tiga Negara yakni Amerika Serikat, Australia dan Belgia. Dalam perjanjian itu Belanda hanya mengakui wilayah RI terdiri dari Jawa Tengah, Yogyakarta dan Sumatera. Maka seluruh pasukan TNI di luar wilayah RI harus ditarik ke dalam wilayah RI.

Pasukan TNI Divisi Siliwangi pindah ke Jawa Tengah, sehingga disebut sebagai Pasukan Hijrah. Tetapi tidak semua pasukan TNI mau tunduk kepada Perjanjian Renville. Yang terkenal adalah pasukan di bawah komando Sekarmadji Maridjan (SM) Kartosoewirjo tidak tunduk dengan hasil Perjanjian Renville, menganggap NKRI sudah kalah dan bubar, sehingga dia membentuk Tentara Islam Indonesia (TII) dan memproklamasihkan Darul Islam (DI) atau Negara Islam di wilayah yang masih dikuasai oleh Belanda (di luar wilayah RI). SM Kartosoewirjo terus melakukan perlawanan kepada Belanda. Jadi, DI/TII ini secara historis waktu itu didirikan di wilayah jajahan Belanda, bukan diwilayah RI hasil Perjanjian Renville.

Singkat cerita, tanggal 27 Desember 1949 diadakan Konferensi Meja Bundar (KMB) antara Belanda dengan RI yang disaksikan oleh PBB dengan hasil perjanjian diantaranya dibentuk RIS dengan negara-negara bagian yang terdiri dari RI hasil Perjanjian Renville, Negara Indonesia Timur, Negara Pasundan, Negara Jawa Timur, Negara Madura, Negara Sumatera Timur, dan Negara Sumatera Selatan. Selain itu terdapat daerah-daerah otonom yang tidak tergabung dalam federasi yakni Jawa Tengah, Daerah Istimewa Kalimantan Barat, Dayak Besar, Daerah Banjar, Kalimantan Tenggara, Kalimantan Timur, Bangka, Belitung, dan Riau.

RIS tersebut memiliki konstitusi yang disebut sebagai Konstitusi RIS yang disusun dan ditandatangani oleh 16 Negara dan Daerah Bagian RIS. Negara-negara dan daerah bagian tersebut menentukan nasibnya sendiri-sendiri dan tergabung dalam Federasi RIS. Konstitusi RIS tersebut berlaku mulai tanggal 31 Januari 1950. Selanjutnya oleh karena adanya aspirasi rakyat negara-negara dan daerah bagian untuk kembali membentuk Negara Kesatuan maka Konstitusi RIS diganti dengan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950 tanggal 15 Agustus 1950. Jika semula menurut Konstitusi RIS Indonesia adalah negara federasi, maka berdasarkan Pasal 1 ayat (1) UUDS 1950 Indonesia adalah negara kesatuan atau kita biasa menyebut NKRI.

Oleh sebab Dewan Konstituante hasil Pemilu 1955 yang ditugasi untuk menyusun UUD yang permanen sebagai pengganti UUD 1945 tidak kunjung berhasil membuahkan UUD, maka Soekarno selaku presiden mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959 untuk kembali kepada UUD 1945.

Negara Madura, Negara Islam dan Pancasila versi lain

Dari kisah sejarah tersebut ternyata NKRI pernah bubar. Salah satu negara bagiannya adalah Negara Madura yang dipimpin oleh R.A.A. Tjakraningrat. Bahkan RM Kartosoewirjo salah satu pejuang kemerdekaan yang di masa mudanya pernah dikeluarkan dari sekolahnya (Nederlands Indiseche Artsen School) karena dia diketahui terlibat menjadi aktivis politik dan mempunyai buku sosialis dan komunis, dia penah mendirikan Negara Islam atau DI yang wilayahnya di luar RI yang masih dikuasai Belanda. Tapi akhirnya wilayah DI/TII berhasil direbut oleh pemerintahan Soekarno dan Kartosoewirjo dihukum mati.

(Ternyata buku bacaan seorang pendiri negara Islam Indonesia juga buku sosialisme dan komunisme, sebab Kartosoewirjo memang salah satu murid Tjokroaminoto, di mana murid-murid Tjokro termasuk Bung Karno dan Muso biasa membaca buku-buku marxisme).

Jadi, akibat Sukarno yang otoriterlah NKRI ini diwujudkan kembali. Dalam keadaan revolusi, ya memang harus terpimpin atau otoriter. Kalau Anda membaca dasar negara berdasarkan Konstitusi RIS dan menurut UUDS 1950, Pancasilanya tentu bukan Pancasila menurut UUD 1945. Pancasila versi Konstitusi RIS dan UUDS 1950 adalah: 1. Ketuhanan Yang Maha Esa, 2. Perikemanusiaan, 3. Kebangsaan, 4. Kerakyatan, dan 5. Keadilan Sosial. Lebih simple.

Tapi sayangnya anak-anak muda sekarang kian banyak yang tidak paham Pancasila. Bahkan kadang diragukan apakah hafal rumusan Pancasila atau tidak. Setingkat dosen pun masih ada yang punya cita-cita memisahkan agama dengan politik dan melakukan sekularisasi Indonesia. Mereka ini tidak membaca pidato Bung Karno tanggal 1 Juni 1945 secara utuh, tidak meneliti pendapat-pendapat para pendiri negara seperti Moh, Yamin, Moh. Hatta, Soepomo dan tidak mempelajari sejarah proses penyusunan Pancasila dan UUD 1945 sejak masa BPUPKI hingga PPKI, serta bagaimana pembahasan dan perdebatan yang terjadi.

Mereka para anak muda jarang yang paham apa itu filsafat atau paham negara integralistik dan religious nation state of Indonesiasebagai hasil kompromi para pendiri NKRI dari berbagai golongan. Akhirnya mereka hanya menggunakan ilmu asal njeplak dengan teori kebarat-baratan atau ketimurtengahan yang tidak relevan.

Lalu bagaimana nasib NKRI ke depan. Saya coba gunakan pendekatan pendapat Ibnu Khaldun tentang keberlangsungan suatu negara. Ini soal sejarah, sebab Ibnu Khaldun mengamati sejarah negara-negara. Pertama, bahwa kejayaan dan keberlangsungan eksistensi suatu negara (istilahnya dia adalah kerajaan), tergantung kepada kekuatan pengelolanya. Kedua, keberlangsungan negara juga tergantung fanatisme yang dimiliki negara itu.

Jika negara mempunyai kekuatan prima dalam pengelolaannya, dalam arti bahwa pemerintah pusat mampu secara kuat mengendalikan seluruh pemerintahan di tingkat bawahnya, termasuk di daerah-daerah, maka tidak akan mudah ada bagian-bagian yang melepaskan diri. Kita bisa menambahi teori itu dengan dijalankannya pengelolaan negara berprinsip keadilan. Jangan membuat suatu daerah merasa dianaktirikan atau dijadikan sapi perah. Selain itu juga tergantung faktor fanatisme dalam arti seberapa kuat jiwa nasionalisme warganya. Indonesia yang heterogen ini akan makin banyak kepentingan yang berbenturan antargolongan.

Jika jiwa nasionalisme antargolongan itu lemah, maka akan mudah terjadi perpecahan dan membubarkan negara. Tapi jika jiwa nasionalismenya kuat, maka persatuan negara akan menjadi pertimbangan utama dibandingkan kepentingan kelompok atau golongan. Prinsip itu sebenarnya adalah prinsip Pancasila: mementingkan kepentingan umum daripada kepentingan golongan dan pribadi. Lawan dari prinsip liberalisme. Makin banyak warga negara yang cengeng dan mementingkan kepentingan golongan, enggan berkorban demi persatuan, maka negara ini segera bubar.

Sebaiknya tokoh-tokoh yang membuat kontroversi menjadi penyebab pertikaian mau untuk mundur sebagai penyebab kontroversi, demi persatuan. Salah satu tokoh Indonesia yang berbesar hati mundur dari ambisi politik saat dia menjadi kontroversi dan menjadikan negara gaduh adalah seorang jenderal Katholik bernama Benny Moerdani di jaman Suharto. Di Jaman reformasi juga ada BJ Habibie seorang tokoh muslim yang mau mengakhiri jabatannya sebagai presiden sebelum waktunya dan mempercepat pemilu karena setiap hari negara ini gaduh dengan aksi demo yang memintanya mundur. Setelah itu siapa lagi?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun