Ikutilah orang yang tiada meminta balasan kepada kalian, dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk. (Q.S.: Yaasiin: 21)
Saya mengambil inti ayat tersebut yaitu: “melakukan kebaikan atau perbuatan baik dengan tiada meminta balasan” sebagai cermin keikhlasan, inti dari akhlak baik manusia.
Beberapa orang yang saya nilai sebagai pahlawan demokrasi adalah sebagai berikut:
Kamari – Arief Budiman
Kamari adalah seorang petani Desa Banggle, Kecamatan Lengkong, Kabupaten Nganjuk. Ia akan saya sejajarkan dengan tokoh seperti Arief Budiman dan KH. Abdurrahman Wahid, sebagaimana saya sejajarkan dengan orang-orang Papua, sebab derajat manusia bukan pada ketokohannya melainkan “kebaikan apa yang telah dilakukannya dalam hidupnya.”
Ketika Arief Budiman semasa Orde Baru memproklamirkan diri secara terbuka sebagai golput (golongan putih) maka Kamari secara terang-terangan “mengibarkan bendera” Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di desanya yang merupakan basis Golkar. Jika rezim Orde Baru menganggap Arif Budiman melawan Pemerintah sehingga ia mengalami tekanan, maka Kamari pun dianggap “orang aneh dan pembangkang pemerintah”.
Kamari mulai mengalami diskriminasi perlakuan dari tingkat RT, RW, dusun, desa sampai kecamatan. Bahkan para petinggi Golkar di tingkat kabupaten harus sibuk melakukan segala daya upaya agar Kamari tidak menjadi slilit(penghalang) bagi Golkar. Waktu itu, pemerintah daerah yang berhasil memayoritaskan warganya menjadi pemilih Golkar akan memperoleh “penghargaan”.
Kamari dipanggil dalam rapat desa. Ia dikeroyok oleh pengurus desa, dan Muspika Kecamatan. Tetapi dengan lantang ia menjawab, “Kalau PDI tidak boleh dipilih, lalu untuk apa pemerintah mengizinkan adanya partai selain Golkar?” Atas pertanyaan itu tidak ada yang bisa menjawab. Beberapa waktu kemudian ada yang menjawab, “Kalau kita tidak sewarna, kelihatannya kita ini masyarakat yang tidak bersatu!” Lalu Kamari balik berkata, “Saya tidak memusuhi Bapak-Bapak dan Golkar, tetapi saya hanya menggunakan hak dan kesempatan yang telah diberikan oleh pemerintah. Jika memang mengibarkan bendera PDI dilarang, tolong sampaikan kepada pemerintah untuk membubarkan partai selain Golkar!” Tak ada yang bisa menghentikan Kamari.
Kamari tidak didukung oleh siapa-siapa. Bahkan petinggi PDI di kabupaten waktu itu tidak pernah melakukan pembelaan kepadanya. Ia berjuang sendiri bersama beberapa orang PDI di desanya. Lain dengan Arief Budiman. Ia seorang intelektual yang bahkan di dukung oleh kawan-kawannya luar negeri sehingga ia bisa lebih leluasa membawa dirinya menurut gagasan yang diyakininya.
Tapi sayangnya, PDI yang ia perjuangan di tingkat desa, yang kini menjadi PDIP, sudah kehilangan ruhnya sebagai partai wong cilik. PDIP juga banyak melahirkan koruptor sama seperti parpol lainnya.
Arief Budiman – Gus Dur
Perjalanan ke-golput-an Arief Budiman menjadi tonggak sejarah demokrasi di Indonesia. Ia lebih dikenal oleh sejarah daripada orang-orang golput lainnya yang tidak terkenal.
Kita sulit untuk menduga bahwa pilihan golput yang diambil Arief mempunyai tendensi bagi keuntungan dirinya sendiri sebab memang ia bukan pengurus atau anggota parpol. Dalam perkembangan selanjutnya ia juga tidak pernah ikut-ikutan untuk berparpol meskipun hukum politik sekarang sudah lebih demokratis.
Lain halnya dengan Gus Dur. Ia memang terkenal sebagai pendekar dan pahlawan demokrasi. Sejak jaman Orde Baru, Gus Dur telah berjuang mengembangkan gagasan demokrasi. Sebelumnya kita belum pernah mendengar bahwa Gus Dur itu golput. Namun ketika usahanya untuk menjadi calon presiden (capres) gagal maka ia secara terbuka menyatakan golput. Dalam wawancara dengan pers Gus Dur mengatakan, "“Jika saya dilarang menjadi capres, berarti sama halnya melarang saya untuk memilih!”
Marilah kita sedikit menengok ke belakang, ketika warga NU dijaman Orde Baru yang menyalurkan aspirasi politiknya ke PPP. Waktu itu Gus Dur sempat menggiring warga NU untuk meninggalkan (menggembosi) PPP gara-gara kepengurusannya yang kurang mengakomodasi dirinya. Mungkin juga karena faktor intervensi rezim Orde Baru. Sejak saat itu para politisi NU menyebar ke Golkar, PDI dan masih ada yang tetap bertahan di PPP.
Meskipun Gus Dur dipandang sebagai demokrat, tetapi rupa-rupanya kurang bisa menempatkan kepentingan dirinya dengan gagasan demokrasi itu sendiri. Motif keluarnya Gus Dur dari PPP dahulu dibandingkan dengan sikap golputnya sekarang ini ternyata sama, yaitu sebagai bentuk protesnya terhadap keadaan yang dianggapnya “tidak adil.”
Gus Dur tampaknya sedang mutung(ngambek) setelah upayanya untuk lolos menjadi calon presiden melalui lembaga yudisiil juga gagal. Jika Gus Dur konsisten, seharusnya sikap golput tersebut tidak perlu dinyatakan secara terbuka sebab ia sudah pasti menyadari itu akan serta-merta mempengaruhi para pengikutnya meskipun secara tegas ia mengatakan “tidak mengajak orang lain untuk golput.”
Tapi memang Gus Dur sebagai pribadi tetap mempunyai hak politik untuk memilih atau tidak memilih, setelah terhalang haknya untuk dipilih.
Gus Dur – Orang Papua
Ketika pemilu 5 Juli 2004 berlangsung, Gus Dur sedang berada di kantornya di Jakarta. Ia tidak datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang berada di samping kantornya. Wartawan bertanya, “Mengapa Gus Dur tidak datang ke TPS?” Ia menjawab, “Kalau saya datang nanti dicurigai mendukung salah satu capres.”
Kita bandingkan dengan orang-orang Papua. Menurut liputan wartawan (Jawa Pos, 4 Juli 2004) ada orang-orang Papua yang berada di pedalaman, untuk sampai di TPS butuh waktu dua hari berjalan dan harus menginap di tengah hutan. Pertanyannya: Untuk apa mereka bersusah payah seperti itu, hanya untuk mengikuti pemilu, yang belum tentu berpengaruh besar terhadap nasib mereka? Toh, pembangunan selama itu belum menyentuh kepentingan mereka secara langsung (bagi masyarakat pedalaman), padahal di sekitar mereka terdapat perusahaan besar yang sedang mengeksploitasi kekayaan alam Papua? Itu tidak lebih merupakan cerminan semangat untuk berpartisipasi dalam demokrasi.
Jadi, sebenarnya siapa yang lebih diperlakukan tidak adil, antara Gus Dur dengan orang-orang Papua? Siapa yang lebih berpamrih untuk kepentingan dirinya di antara mereka?
Orang-orang yang berbuat untuk demokrasi tanpa meminta balasan, tidak terlalu mempedulikan apakah negara memperhatikan nasib mereka atau tidak, apakah kepentingan pribadinya dizalimi atau tidak, mereka itulah sesungguhnya pahlawan demokrasi, meskipun tidak terlalu memahami apa itu demokrasi. Mereka bukan saja telah mendapatkan “petunjuk”, melainkan juga menjadi petunjuk bagi yang lain.
Yang lebih penting dalam demokrasi adalah: optimalnya peran serta warga dalam penyusunan regulasi dan pengambilan keputusan oleh para pejabat negara, termasuk dalam menyusun tata ruang dan perubahannya. Jika dalam pembangunan ternyata masyarakat masih banyak yang digusur tanpa diajak bermusyawarah untuk menentukan nasib mereka, dan sepanjang pembangunan tidak dijalankan dengan meminta pendapat masyarakat, maka demokrasi masih sebatas hayalan dan upacara yang kehilangan substansi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H