Mohon tunggu...
Sayyidi Jindan
Sayyidi Jindan Mohon Tunggu... -

H. Sayyidi Jindan,S.H. Seorang sarjana hukum dari Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, sedang meneruskan pendidikan pada program Magister Hukum di Jakarta dan seorang Lawyer sekaligus seorang Dai muda di Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Politik

Perkawinan Sirri dan Akibat Hukumnya dalam Perspektif Hukum Konvensional

11 September 2017   20:25 Diperbarui: 11 September 2017   23:17 1194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ditulis oleh:H. Sayyidi Jindan,S.H.,M.H.

Masa depan sebuah bangsa akan menjadi tanggung jawab bagi penerusnya di masa yang akan datang. Potret kehidupan suatu bangsa di masa depan,  apakah dia akan menjadi yang terbaik dari bangsa lainnya atau menjadi menjadi bangsa yang kian terbelakang dari yang lainnya adalah tergantung dari kaula-kaula muda sebagai penerus bangsa. Bangsa membutuhkan generasinya bukan dalam sudut pandang kuantitas saja namun juga kualitas. Kualitas yang baik akan mencerminkan suatu karakter yang di butuhkan bangsa seperti halnya kesadaran hukum atau Legal Awareness.

Kesadaran hukum itu berarti juga kesadaran tentang hukum, kesadaran bahwa hukum merupakan perlindungan kepentingan manusia yang menyadari bahwa manusia mempunyai banyak kepentingan yang memerlukan perlindungan hukum.Maka dengan melahirkan para penerus bangsa yang berkarakter haruslah di lalui atau dijembatani dengan cara perkawinan. Yang mana selama ini banyaknya perkawinan terjadi bukan berdasarkan regulasi yang ada.

Di dalam UU Perkawinan No.1 Tahun 1974 pasal 1, pengertian pernikahan adalah "Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa".Menurut Kompilasi Hukum Islam yaitu di Pasal 2 dinyatakan bahwa, "Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah".

Dalam kaitan nya dengan perkawinan, untuk mengadakan ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri untuk membentuk keluarga berdasarkan ketuhanan yang maha esa, maka tata cara pelaksanaannya pun tidak terlepas dengan aturan aturan agama. Terlebih di indonesia yang mayoritas penduduknya memeluk agama islam maka untuk melaksanakan perkawinan tidak terlepas dari rukun dan syarat sebuah perkawinan.

Al-Haitami (w. 974 H), salah satu ulama di kalangan mazhab Asy-Syafi'iyah menuliskan dalam kitabnya Tuhfatul Muhtaj bi Syarhi Al-Minhaj sebagai berikut :Dalam masalah rukun nikah dan hal-hal yang terkait di dalamnya ada 4 yaitu: mempelai wanita dan laki-laki, wali, dua saksi dan sighah.

Kaitannya dengan perkawinan sirri pengertian dan rukun nikah sebagaimana yang penulis jelaskan di atas sudah terpenuhi namun perlu diketahui adanya regulasi perkawinan yang berlaku di Indonesia seebagaimana Undang-undang No.01 tahun 1974 tentang perkawinan tidak secara serta merta menjadikan perkawinan sirri menjadi perkawinan yang sah di mata hukum. Untuk sahnya perkawinan sirri harus melewati beberapa langkah hukum sebagaimana yang di jelaskan dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam).

Pernikahan Siri adalah suatu pernikahan yang dilakukan oleh seseorang dengan adanya wali, memenuhi rukun dan syarat nikah namun tidak didaftarkan di Kantor Urusan Agama (KUA) dengan persetujuan kedua belah pihak. Sedangkan sahnya perkawinan dalam perspektif hukum konvensional adalah sebagaimana di jelaskan dalam Undang-undang NO 1 TAHUN 1974 Tentang Perkawinan Pasal 2 Ayat 2

"Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku."

 PP NOMOR 9 TAHUN 1975 Tentang Pelaksanaan UU No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Bab II Pasal 2 Ayat 1: Pencatatan Perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut Agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 32 tahun 1954 tentang Pencatat Nikah, Talak, dan Rujuk.Ayat 2: Pencatatan Perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan pada Kantor Catatan Sipil sebagaiman dimaksud dalam berbagai perundang-undangan mengenai pencatatan perkawinan.

Dengan di daftarkan/dicatatnya perkawinan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 2 ayat 1 UU No.01 Tahun 1974 tentang perkawinan, maka dalam hal ini sudah barang tentu memiliki urgensitas yang berkaitan dengan dampak hukumnya. Jika perkawinan yang sudah sesuai aturan rukun dan syaranya menurut aturan agama aalah sah atas keabsahannya dalam perkawinan, namun ketika tidak di catatkan maka menjadi suatu problem tersendiri dalam hal administratifnya. Maka kaitannya dengan dampak hukum dari perkawinan sirri (perkawinan yang tidak di catatkan) adalah berikut di bawah ini:

1. Hak dan kewaiban sebagai suami- istri sebagaimana di atur dalam UU No 01 Tahun 1974 tentang perkawinan dan KHI (Kompilasi Hukum Islam) tidak pernah ada;

2. Adanya harta yang di peroleh dalam perkawinan tidak termasuk harta bersama (harta gono gini);

3. Jika terjadi perceraian maka istri tidak mendapat hak apa pun, karena Pengadilan tidak akan memutus perkara perkawinan yg tidak di catatkan oleh pegawai pencatat nikah;

4. Jika memiki anak maka anak tersebut adalah anak ibunya karena dianggap lahir di luar perkawinan yang sah;

5. Jika memiliki anak maka anak tersebut tidak memiliki hubungan keperdataan termasuk hak waris kepada ayahnya setelah ayahnya meninggal dunia.

Dari kelima damak hukum perkawinan sirri tersebut, maka dapat kita bayangkan bagaimana resiko yang kita hadapi jika kita melakukan perkawinan sirri tersebut. Kemudian bagaimana langkah hukum jika sudah terlanjur terjadi perkawinan sirri tersebut. Ada dua langkah hukum yang dapat di tempuh oleh pasangan suami istri dari perkawinan sirri, yaitu:

1. Bagi masyarakat muslim dapat melakukan permohonan  itsbat nikah (pengesahan perkawinan) di pengadilan agama sesuai wilayah domisilinya sebagaimana di jelaskan dalam Pasal 7 Buku Kompilasi Hukum Islam yang mengatur tentang perkawinan.

2. Bagi muslim maupun non muslim dapat melakukan perkawinan ulang dengan di lakukannya pencatatan perkawinan oleh pejabat pencatat nikah yang berwenang (KUA).

~Semoga bermanfaat~

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun