Asia Tenggara merupakan daerah yang paling rentan terhadap bencana alam. Laju urbanisasi yang cepat dan perubahan lingkungan yang drastis meningkatkan kerentanan dan paparan bencana alam kepada populasi yang tinggi di seluruhkawasan. Karena masalah tersebut, Kerjasama regional di ASEAN ditingkatkan untuk menangani peningkatan frekuensi dari bencana alam yang terjadi di ASEAN. ASEAN Way memiliki batasan dalam menangani bencana alam berskala besar yang terjadi di kawasan. Selain itu juga ASEAN masih sangat bergantung kepada militer jika merespon bencana alam berskala besar. Sedangkan doktrin internasional mengenai respon menyerukan untuk menggunakan militer sebagai upaya terakhir dalam merespon bencana alam berskala besar.
Upaya pertama ASEAN dalam mengidentifikasi penanggulangan bencana dan bantuan kemanusiaan sebagai permasalahan kawasan dideklarasikan dalam Declaration on Mutual Assistance on Natural Disasters. Kerjasama antar negara ASEAN dalam diskursus ini mengandung 4 elemen yang menjadi landasannya: meningkatkan komunikasi peringatan bencana; pertukaran antar ahli di bidang penanggulangan bencana; meningkatkan pertukaran informasi; dan mengidentifikasi rantai distribusi bantuan logistik darurat. Upaya tersebut sebenarnya memiliki tujuan yang sangat baik namun tim yang dikerahkan untuk upaya ini memiliki pengaruh yang sangat kecil di level nasional.
2 dekade selanjutnya, tepatnya pada perang dingin dan krisis keuangan pada tahun 1997Âsetelah ASEAN memiliki 10 anggotaÂASEAN mulai memperhatikan keamanan Non-tradisional seperti krisis finansial, bencana alam, dan bahaya lingkungan sebagai isu kawasan. Hanoi Plan of Action pada tahun 1998 memasukkan pedoman kerja sama ASEAN antara negara-negara anggota ASEAN dan mitra dialog dari ASEAN Regional Forum (ARF) untuk memperkuat pertukaran informasi. Hal ini pun membentuk forum bersama yang bertujuan untuk mempromosikan Kerjasama, menyatukan berbagai entitas internasional dan regional, termasuk sistem PBB, East Asia Summit, Asia-Pasific Economic Cooperation (APEC), Asia-Europe Meeting (ASEM) dan Asia-Pasific Conference on Military Assistance to Disaster Relief Operations (APC-MADRO).[1]
ASEAN menjadi kawasan yang paling rentan mengalami bencana alam berskala besar terbukti dari banyaknya bencana alam yang terjadi di kawasan tersebut. Pada tahun 2004 tsunami di Samudra Hindia memberikan dampak yang besar kepada beberapa negara di Asia Tenggara dan Asia Selatan dengan total korban jiwa mencapai 200,000 orang.Â
Lalu pada tahun 2008, angin Siklon Nargis menghancurkan Myanmar. Kawasan Asia Tenggara telah mengalami dua bencana besar yang merupakan fenomena bencana alam yang paling mematikan dalam satu dekade. Kerusakan yang disebabkan oleh bencana alam yang pernah terjadi di kawasan Asia Tenggara menjadikan penyusunan mekanisme atau sistem untuk menangani bencana alam sangat dibutuhkan.Â
Tsunami yang terjadi pada tahun 2004 memberikan dorongan kuat untuk para negara anggota ASEAN untuk mempercepat penyusunan draft ASEAN Agreement on Disaster Management and Emergency Response (AADMER), sekalipun proses penyusunannya lebih lama dari yang direncanakan.Â
Pada tanggal 24 Desember 2009, AADMER akhirnya diratifikasi oleh seluruh negara anggota dari ASEAN dan menjadi landasan untuk mengembangkan Kerjasama regional dalam DRR atau Disaster Risk Resuction, persiapan, respon, dan pemulihan.
AADMER merupakan traktat yang ambisius namun juga fleksible karena masing-masing negara anggota diperbolehkan untuk mengembangkan HADR (High Availability Disaster Recovery) masing-masing. Tujuannya untuk mengkombinasikan upaya masing-masing negara anggota untuk meningkatkan ketahanan kawasan dan kapabilitas kawasan untuk merespon bencana alam. Namun, AADMER masih menggunakan militer untuk merespon bencana alam yang terjadi. AADMER juga mempromosikan Kerjasama bilateral, kawasan, dan internasional untuk meningkatkan kapasitas kawasan.
Setelah kita mengetahui apa saja intrsumen dan upaya yang ASEAN berikan untuk memfasilitasi negara-negara yang terdampak dari bencana alam. Muncul pertanyaan kapan ASEAN bisa masuk untuk memberikan respon internasional terhadap bencana alam yang terjadi di suatu negara kawasan?
ASEAN memberikan respon terhadap negara yang terdampak bencana pada saat negara yang berdaulat tersebut mengalami bencana alam yang berskala besar dan negara tersebut tidak memiliki kapasitas yang cukup untuk memenuhi kebutuhan warga negaranya yang terkena dampak dari bencana tersebut. Kondisi yang dialami negara terdampak membuat negara tersebut bisa meminta bantuan internasional.Â
Respon internasional terhadap bencana biasanya mengandung kombinasi dari IGO, NGO, dan hubungan bilateral dari negara lainnya. Jika negara terdampak menyetujui respon atau intervensi dari negara lain, maka negara pengirim bisa menyediakan sumber daya sipil dan militer untuk memenuhi kebutuhan negara terdampak. Setiap respon terhadap bencana memiliki keunikan tersendiri.
Perubahaan iklim dan perubahan lingkungan yang signifikan telah memberikan efek besar dalam frekuensi terjadinya bencana alam di ASEAN. ASEAN telah memiliki pengalaman yang cukup panjang mengenai penanganan bencana alam sejak Declaration on Mutual Assistance on Natural Disasters pada tahun 1976. Bencana alam sebagai Non-traditional Security pun sudah diperhatikan di ASEAN sejak perang dingin.Â
ASEAN pun telah menunjukkan progress yang positif menyangkut penanganan isu non-tradisional seperti bencana alam. ASEAN telah melakukan Langkah besar dengan mendukung perkembangan High Availability Disasater Recovery (AHADR). ASEAN haru mengambil komitmen yang lebih untuk memastikan investasi yang dilakukan terhadap pengembangan kapasitas AHADR. Namun, mengingat salah satu norma dari ASEAN yang non-intervensi terkadang justru menjadi limitasi dari ASEAN untuk mengatasi bencana alam yang berskala besar di kawasan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H