Mohon tunggu...
sayyida
sayyida Mohon Tunggu... Mahasiswa - i'm a dreamer

Mahasiswi UIN Malik ibrahim Malang

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Regulasi Emosi untuk Anak Broken Home

20 November 2022   20:36 Diperbarui: 20 November 2022   20:42 394
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Keluarga merupakan bagian paling penting dalam tumbuh kembang anak. Umumnya, keluarga terdiri dari seorang kepala rumah tangga yang biasa disebut ayah, ibu, dan anak serta pada satu sama lain memiliki keterikatan tertentu. 

Setiap keluarga pasti memiliki masalah, tapi bagaimana kesadaran untuk mencari jalan keluar agar tidak terjadi hal -- hal yang tidak di inginkan ialah kunci agar keluarga tidak terpecah. 

Banyak sekali keluarga yang berhasil melewati banyak masalah, tapi banyak juga keluarga yang akhirnya terpecah dan mengakibatkan anaknya mengalami broken home. Pernahkan kalian mendapati anak yang kurang kasih sayang dari orang tuanya dan biasa disebut dengan " anak broken home "?.        

Broken home

Idealnya perkembangan anak akan optimal jika kedua orang tua dapat mengoptimalkan peran serta fungsinya dalam keluarga. Namun kenyataanya, tidak semua keluarga dapat memenuhi ideal tersebut. Keluarga yang harmonis tentu akan menciptakan pengaruh positif terhadap anak dan begitupun sebaliknya. Kondisi keluarga yang tidak harmonis akan menyebabkan keretakan yang sering kali kita sebut dengan istilah " broken home ". Istilah broken home ialah sebutan bagi keluarga dengan orang tua yang berpisah sehingga menyebabkan masalah yang terjadi pada tumbuh kembang anak.

Anak yang broken home biasanya memiliki masalah psikologis dan rentan melakukan kenakalan. Namun, stigma broken home ini tidak selamanya benar. Banyak sekali anak yang broken home tetapi masih mendapat kasih sayang, perhatian, serta Pendidikan yang baik asalkan kedua orang tuanya sama -- sama bertanggung jawab meskipun status mereka telah bercerai. Wilis (dalam Wulandari & Fauziyah, 2019:2) mengatakan bahwa broken home ialah kondisi dimana hilangnya perhatian dan kasih sayang dalam keluarga yang menyebabkan pertengkaran dan umumnya berujung perceraian.

Kondisi dalam rumah tangga yang yang broken sering kali membuat anak mengalami depresi mental. Sehingga tidak jarang anak yang hidup dalam keluarga demikian akan berprilaku social yang kurang baik. Anak mempelajari banyak hal berawal dari keluarga, seperti cara berinteraksi dengan orang lain dan cara mengekspresikan emosi. Untuk itu, setiap individu penting untuk memiliki pengendalian emosi atau biasa kita sebut regulasi emosi.

Regulasi emosi

Regulasi emosi secara kognitif, menurut Garnefksi & Kreaaij (2007) ialah strategi untuk mengelola emosi yang dilakukan dengan memikirkan serta melakukan penilaian terhadap suatu situasi yang menekan. Saat menghadapi situasi yang mnecekam, maka seseorang akan berfikir dan menilai dengan banyak pertimbangan misalnya dari pengalaman masa lalunya. Orang yang mampu berfikir positif dan menilai situasi dengan tepat makai a menunjukkan regulasi emosi yang lebih positif. Sebaiknya, orang yang kurang mampu berfikir positif akan menujukka regulasi emosi yang negative.

Regulasi emosi merupakan proses untuk mengenali, menghindari, menghambat, mempertahankan, dan mengelola kemunculan perilaku yang berhubungan dengan emosi dalam rangka memenuhi afek biologis atau adaptasi social untuk meraih tujuan individu. ( Einsenberg & Spinrad, 2004, p. 134; Eisenberg, 2006 ). Dari pengertian tersebut, regulasi emosi dapat dimaknai sebagai usaha yang dilakukan individu untuk meraih tujuan dalam melakukan adaptasi akan situasi yang ia hadapi. Seseorang dikatakan mampu meregulasi emosi dengan baik apabila ia mampu berpikir positif.

Faktor yang mempengaruhi regulasi emosi

Morris et al (2007) menyatakan bahwa  dalam konteks keluarga, peran orang tua dalam regulasi emosi dapat dibedakan menjadi 3, yaitu :

  • Sebagai figure model

Orang tua yang emosional akan membuat anaknya menjadi emosional juga. Hal ini bukanlah faktor keturunan melainkan frekuensi.

  • Sebagai pendidik regulasi emosi

Morris (2007) mengatakan bahwa orang tua berperan aktif dalam menumbuhkan kemampuan regulasi emosi anaknya. Hal ini dapat berupa pengarahan untuk meregulasi emosi dan memberi dorongan kepada anak untuk dapat mengontrol emosinya

  • Sebagai pencipta iklim emosional dalam keluarga

Iklim keluarga dapat dibentuk berdasarkan gaya pengasuhan, kelekatan antara orang tua dan anak, kebebasan keluarga dalam mengekspresikan emosi serta keharmonisan keluarga.

Peran sosialisasi terhadap regulasi emosi

Sosialisasi merupakan respon orang tua terhadap pengalaman emosi dan ekspresi emosi anak. Berdasarkan studi literatur, terdapat 3 mekanisme sosialisasi yang mengacu pada Halberstadt ( dalam Denham, Mitchell-Coppeland, Stanberg, Auerbach, dan Blair, 1997 ), 3 mekanisme sosialisasi tersebut ialah :

  • Modelling hypothesis

Ialah cara orang tua dalam mengekspresikan emosi, orang tua mengajarkan tentang apa saja yang dapat diterima dalam keluarga serta bagaimana pada situasi tertentu dapat memunculkan emosi tertentu.

  • Contingency hypothesis

Merupakan respon dukungan orang tua akan membantu anak dalam memaksimalkan ekspresi emosi positif dan meminimalkan emosi negative, serta membedakan emosi.

  • Coaching hypothesis

Ialah cara orang tua dalam mengajarkan emosi berkontribusi dalam ekspresi emosi anak dan reaksi emosi terhadap teman sebaya-nya.

Pentingnya regulasi emosi

Pentingnya regulais emosi bagi anak ditunjukkan oleh hasil penelitian yang menunjukkan bahwa regulasi emosi berkaitan dengan kompetensi social dan juga akademik anak. Dalam kompetensi social, kemampuan mengelola emosi pada anak berkorelasi positif dengan kualitas anak dalam bersosial. Misalnya, interaksi social, adaptasi social, empati yang tinggi, dan sedikit interaksi negative dengan teman sebayanya. Dalam kompetensi akademik, kemampuan anak usia dini dalam meregulais emosi berkaitan dengan keberhasilan akademik anak, produktivitas di kelas, serta prestasi dalam hal membaca dan juga matematika.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun