Nasionalisme. Kata ini memengingatkan saya pada masa SD di pedalaman Nusa Tenggara Timur. Kami berjalan berpuluh-puluh kilo meter untuk mencapai halaman kantor kecamatan sebagai lokasi pelaksanaan upacara bendera. Sekolah kami jauh dari lokasi upacara.Â
Kami diwajibkan bangun dini hari, berjalan segera menuruni bukit, menyeberangi kali dan mendaki bukit yang lain untuk mengikuti upacara peringatan hari-hari besar, seperti hari kemerdekaan dan hari pendidikan nasional.Â
Lelah memang, namun saat barisan pengibar bendera melintas dengan penuh hati-hati, mengikat bendera dengan cekatan, dan sampailah pada seruan, "Bendera Siap!!!", lalu lagu Indonesia Raya dinyanyikan dengan khidmat.Â
Tak ada lagi lelah itu, yang ada adalah perasaan haru yang tak terhingga, dan semua itu tertanam hingga kini. Itulah rasa nasionalisme yang tertanam sejak usia pelajar hingga kini masih kokoh tertanam di hati saya.
Setiap orang memiliki cara dan gaya sendiri untuk mempertahankan semangat nasionalisme tentunya. Namun krisis nasionalisme justru sedang menyandra banyak kalangan, termasuk kalangan pelajar. Menurunnya semangat nasionalisme pada kalangan pelajar membuat pemerintah pun kini disibukkan dengan berbagai upaya menanamkan sikap nasionlisme.Â
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan tidak tanggung-tanggung memberikan instruksi melalui Peraturan Mentri Pendikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No. 45 Tahun 2014 yang salah satu butirnya mewajibkan bahwa, "Badge merah putih dijahitkan pada atas saku kemeja". Selain itu, pada tahun 2015 ini keluar pula Permendikbud No. 21 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti/PBP.Â
Penumbuhan Budi Pekerti merupakan pelaksanaan serangkaian kegiatan non kurikuler yang bertujuan untuk menciptakan iklim sekolah menyenangkan bagi seluruh warga sekolah dan menumbuhkan budi pekerti anak bangsa, internalisasi nilai-nilai moral dan spiritual, menghayati hubungan spiritual dengan Sang Pencipta dan diwujudkan dengan sikap moral keseharian untuk menghormati sesama makhluk hidup dan alam sekitar.Â
Hal ini dilakukan dengan pembiasaan yang baik oleh guru sebagai teladan. Siswa dibiasakan untuk menunaikan ibadah bersama-sama sesuai agama dan keyakinannya sebelum memulai pelajaran dan menyanyikan lagu Indonesia Raya, sedangkan sebelum siswa berdoa mengkhiri pelajaran, guru diminta untuk memandu siswa meyanyikan lagu daerah, lagu wajib nasional maupun lagu terkini yang bernuansa patriotik atau cinta tanah air.
Sejak 2014 sekolah-sekolah sudah mewajibkan siswa-siswanya untuk menggunakan atribut bendera merah putih. Belakangan ini ada sekolah di Makasar yang menambah badge sekolah dengan bunyi, Aku Benci Narkoba dan Aku Benci Miras.Â
Namun, apakah siswa yang menggunakan badge beragam itu paham akan atribut yang dibawanya? Seperti "Ikhlas Beramal" yang tertera pada logo sekolah-sekolah dibawah naungan departemen agama pun masih tak paham dan tak mengetahui maksudnya.Â
Mari kita berpikir jernih, bahwa yang dibutuhkan kaum pelajar bukan peraturan ini itu atau atribut ini itu yang berjejer di dada dan pundak mereka. Mereka membutuhkan perhatian dan pemahaman.Â
Atribut yang mereka kenakan hanya sekadar lambang bila tak dibarengi dengan usaha untuk memberikan pembiasaan dan pemahaman aktif secara kontiniu, maka tetap akan sia-sia.
Krisis Nasionalisme Pelajar Bukti Kelengahan Semua Elemen
Nasionalisme merupakan paham untuk mencintai bangsa dan negara oleh setiap invidu karena didorong oleh kepentingan bersama. Kepentingan itu tentu saja kepentingan untuk mewujudkan negara Indonesia yang bersatu.Â
Joseph Ernest Renan mengatakan bahwa nasionalisme adalah sekelompok individu yang ingin bersatu dengan individu-individu  lain dengan dorongan kemauan dan kebutuhan psikis.Â
Hal ini sangat cocok dengan bangsa Indonesia yang secara geografis terdiri atas pulau-pulau, bersuku-suku, dan aneka perbedaan lainnya, namun dapat menyatukan diri membangun sebuah semangat nasionalime untuk merdeka.Â
Kolonealisme mampu membakar semangat kebersamaan rakyat Indonesia yang merasa senasib sepenanggungan untuk bangkit bersama. Lalu bagaimana dengan hari ini?
Bung Karno jauh-jauh hari sudah megatakan bahwa, "Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri."Â
Kemerdekaan yang dinginkan seluruh rakyat Indonesia sudah dicapai, banyak orang kemudian lalai untuk terus mengestafetkan spirit perjuangan dengan "jubah" yang berbeda kepada generasi muda.Â
Mengapa "jubah" isu nasionalisme harus diperbaharui, itu karena bukan penjajah dengan meriam dan peluru lagi yang kita hadapi. Kita menghadapi orang-orang sendiri bermain catur mempertaruhkan bangsa ini demi kepentingan sendiri.
Euforia percaturan nasional telah membuat lengah hampir seluruh elemen untuk menumbuhkan semangat nasionalisme di kalangan pelajar. Maka tak salah, narkotika masuk sekolah, miras masuk sekolah, seks bebas menyerang kaum pelajar, pornografi, dan berbagai aneka penyimpangan sosial terjadi begitu dahsyat di Indonesia.
Pelajar tak lagi mampu menginternalisasikan nilai-nilai pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI.Sikap ini mereka tunjukan dengan sikap apatis terhadap lingkungan, menyakiti diri sendiri dengan mengonsumsi narkoba dan miras, menyakiti sesama dengan tawuran, semuanya berjalan atas egoisme individu bukan lagi kebersamaan.
Sekolah sebagai Harapan Terakhir
Mengapa harus sekolah? Sebab tak banyak orang tua paham cara mendidik dan membesarkan anak. Hanya sebagian kecil anak yang mendapat pendampingan, perhatian, dan penjelasan akan hal-hal baru di sekitarnya.
Mayoritas penduduk Indonesia adalah pekerja (data). Maka dapat dibayangkan bagaimana jutaan anak Indonesia tumbuh berkembang tanpa pendampingan optimal dari orang tua.Â
Penanaman nilai-nilai agama, norma-norma sosial, dan semangat cinta tanah air yang idealnya dapat dilakukan tua sejak dini menjadi terhambat beberapa langkah akibat kesibukan dunia kerja.
Prinsip-prinsip nasionalisme dibutuhkan untuk merobohkan sikap egoisme individu yang secara tidak sengaja terbentuk dari lingkungan keluarga. Prinsip-prinsip nasionalisme Indonesia didasarkan pada nilai-nilai pancasila. Sekolah harus mampu menjadi tameng pelajar dari sikap sukuisme, kedaerahan, ektrimisme, dan chauvinisme yang mampu menghancurkan nasionalime.Â
Sangat penting bagi sekolah utuk memperkenalkan perangkat-perangkat nasionalisme seperti pancasila, UUD 1945, bendera merah putih, lagu Indonesia Raya, dan aneka perangkat lain dengan sungguh-sungguh.Â
Tidak hanya memperkenalkan secara simbolik, melainkan secara batiniyyah sehingga pendalaman makna dari setiap perangkat yang diperkenalkan pada siswa dapat dipahami dengan baik.
Kurikulum di sekolah pun harus sarat akan nilai-nilai nasionalisme, pemerintah sudah harus mendesain kurikulum yang tepat sesuai dengan kebutuhan pelajar Indonesia saat ini.Â
Saat ini, sekolah, LSM, maupun lembaga pemerintah sudah gencar menyosialisasikan penanaman norma-norma baik agama maupun norma masyarakat. Namun masih sedikit yang tergerak untuk membangkitkan kembali sejarah perjuangan bangsa Indonesia kepada pelajar.Â
Sejarah perjuangan banga Indonesia harus didekatkan dengan kaum pelajar. Mereka harus paham bagaimana dahulu pemuda-pemuda memperjuangkan kemerdekaan.
Hal ini bila tidak dimulai, maka generasi Indonesia berikutnya adalah generasi buta sejarah.Padahal, kita tentu sangat hafal dengan ungkapan bapak proklamator kita Bung Karno, bahwa "Jangan pernah melupakan sejarah."Â
Sebab dari sejarah kita bisa mempelajari apa yang telah terjadi dan apa yang mungkin akan terjadi, sebab hidup hanya mengulang kejadian yang sama dengan energi dan situasi yang berbeda.
Bila sekolah kita jadikan tameng terakhir, apakah elemen lain hanya akan diam melihat carut-marut pelajar kehilangan jiwa nasionalimenya? Tidak.Semua yang terjadi pada kaum pelajar bukan sepenuhnya salah mereka.Orang tua, guru, masyarakat, dan pemerintah bertanggung jawab untuk mengembalikan semuanya.
Semuanya harus bahu membahu memberikan solusi. Pada usia pelajar, meraka akan meniru orang-oarang dewasa dalam bersikap dan berperilaku. Jika orang tua, guru, masyarakat, dan berbagai elemen pemerintahan yang berkuasa saat ini tidak memberikan teladan yang baik, maka mereka pun akan mencotoh apa yang ada.Â
Kita ambil contoh, dalam menanamkan nilai agama, tentu saja bukan tugas ustad, kyai, pastor, atau guru agama saja, melainkan kita semua. Pemaknaan akan cinta tanah air dan nasinalisme bukan semata-mata tanggung jawab guru Ilmu Pengetahuan alam (IPS) semata, namun tanggung jawab kita semua.
Sekolah dapat kita kondusifkan menjadi lemabaga yang nyaman untuk memberikan pendidikan yang memadai untuk generasi bangsa melalui kerja sama berbagai pihak. Maka perlu kita memberikan apresiasi yang besar kepada Kemendikbud atas usahanya menyuarakan kembali lagu-lagu nasional dan daerah di sekolah. Pembiasaan ini akan membantu sedikit demi sedikit memulihkan jiwa pelajar akan semangat patriotik dan nasionalisme.Â
Perlu juga untuk mewajibkan adanya pemutaran film perjuangan, memperkenalkan tempat-tempat bersejarah seperti museum, dan berziarah ke makam para pahlawan nasional maupun lokal. Meski berat memikirkan degradasi moral pelajar saat ini, namun sebagai generasi pemberi teladan, kita harus mampu mengantar kaum pelajar menuju kesadaran individual yang matang akan pentingnya sikap nasionalisme.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H