Sius mulai membuka percakapan pada suatu malam saat bulan tengah purnama. Â Mamanya diam saja melirik ke arah bapaknya.
"Bengkel di muka juga sekarang sudah banyak yang pakai," Sius mulai melancarkan negosiasi, "Saya juga masih bisa jadi tukang tulis di koran dong," lanjutnya menunjuk kliping koran yang ditempel bapaknya sembarangan pada dinding bebak, Â "Lihat kita punya ayam potong juga sudah mulai banyak, Â belum sayur yang kemarin sore saya sudah mulai tanam di dekat Om Din punya samping rumah," Ia berhenti sebentar. "Itu semua juga kerja. Kita punya usaha sendiri toh, Â daripada pergi kerja dengan orang."
Sius membuang pandangan ke kaca di sebelah bufet. Â Bapaknya masih tetap diam saja. Â Ia sudah menjelaskan panjang lebar terkait dengan keinginannya dan usaha-usaha yang tengah ia geluti. Â Namun Benediktus masih terus murung. Ini untuk pertama kalinya ia malu pada warga desa karena anaknya dianggap tak pintar. Â
Sius hampir putus asa. Â Bukan karena ia tak bisa ikut andil dalam perlehatan mengubah nasib besar-besaran itu. Â Ia hanya putus asa tak bisa membahagiakan bapak-mamanya untuk ikut tes pegawai negeri sipil seperti yang dilakukan anak muda lain di desanya. Bagaimana pun juga kedua orang tuanya begitu ingin melihatnya bersepatu mengkilap dengan baju kuning pucat-pucat itu. Â
Sius menarik napas dalam-dalam. Berkas lamaran beberapa bulan dilihat lagi. Â Pandangan tertuju pada kolom nilainya selama kuliah.
"Hanya kurang beberapa angka," bisiknya pelan. Tak lama kemudian ia kembali ke bengkel. Menambal ban motor bapaknya.
Selesai
Kupang, Â 22 November 2018
Salam
Sayyidati Hajar
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H