"Anak,  ada orang barat di muka.  Aih,  mereka omong bapak tidak mengerti," ujar Benediktus menyeret anaknya ke depan.  Tepatnya di teras rumah mereka. Anaknya,  Sius  mencoba tersenyum pada orang barat atau bule yang dimaksud bapaknya.Â
Bapaknya sudah bersiap tersenyum bangga menyaksikan anaknya akan bicara bahasa yang selama ini tak pernah ia dengar.  Ia mulai mengulum senyum.  Bule itu membuka percakapan dengan  selamat pagi. Â
Sius cepat-cepat menjawab, beberapa biji keringat sudah bergelinding turun dari dahi. Ia melihat senyum bapaknya,  juga bule di depannya yang sejak  tadi  memasang senyum  bahagia karena menemukan orang yang bisa memahami bahasanya. Â
"Bapak, dia cari batu," Sius meneruskan omongan si Bule.
Benediktus tak percaya, orang itu jauh-jauh hanya cari batu. Pikirannya mulai liar berimajinasi. Mungkin memang di barat tidak ada batu.
"Oh, Â batu. Â Banyak. Â Dia mau bawa berapa?"
"Dia mau beli," Sius kembali menerjemahkan.
"Ah,  bilang dia bawa saja.  Kita di sini banyak batu.  Biar saja,  tidak usah pakai bayar-bayar lagi," Benediktus menolak,  "Itu batu tinggal  pilih, mau yang  di belakang rumah sini atau di sebelah sana.  Biar sudah bapak  kasih saja.  Kasihan e mereka cari batu jauh-jauh sampai Timor," lanjutnya sambil menunjuk beberapa tempat yang banyak batunya.
Sius mencoba menerjemahkan perkataan bapaknya disambut tawa panjang lelaki berperawakan tinggi itu. Â Kulitnya yang kemerahan seperti mau pecah karena tertawa.Â
Benediktus ikut terbahak. Â Mereka berdua tertawa panjang beberapa saat sampai Sius bertanya pada orang barat itu alasan ia tertawa.
"Bapakmu lucu," jawabnya sambil menyelesaikan tawa. Ia kembali normal beberapa saat setelahnya. Sambil tersenyum ia bercerita bahwa  batu yang dicari bukan sembarang batu. Batu itu batu bernilai tinggi.  Menurut informasi yang dia dapat, batu itu ada di kebun milik Benediktus.