Saya Sayyid Asyhur Raihan (@asyhr.raiihan), ingin berbagi sedikit cerita tentang pengalaman pendakian saya di gunung Lawu pada tahun 2018.Â
Dari semua gunung tinggi di Jawa Tengah, cuma gunung Lawu yang tak punya teman. Slamet punya Sumbing dan Sindoro, membentuk kelompok "Triple S." Sementara Merbabu dan Merapi berpasangan sebagai "Double M." Barangkali keterpencilannya itu pula yang membuat Lawu kental dibalut nuansa spritual.
Bagi saya, gunung Lawu punya tempat tersendiri di hati saya. Hargo Dumilah, titik tertinggi Gunung Lawu, adalah puncak tertinggi ke 2 yang saya pijak setelah puncak Ogal-Agil Arjuno yang pernah saya daki di tahun 2017.
Petualangan saya pertama kali ke Lawu juga sangat berkesan. Akhir bulan Februari tahun 2018 perjalanan dimulai, saya memulai perjalanan ke Gunung Lawu yang dimulai dari Pare, Kediri.
By the way, saya Sayyid Asyhur Raihan, saya berasal dari Tangerang, Banten. Tetapi kala itu saya sedang belajar di Kampung Inggris Pare, Kediri. Saya berangkat bersama 5 teman saya yakni Ilham, Adam, Ipung, Pian, dan Zam-zam, mereka adalah kawan karib saya semasa saya tengah belajar di sana.
Kami berangkat menggunakan Bus Mira dan berhenti di pom bensin Palur, setelah itu kami dijemput oleh Bpk. Sugeng (Relawan Ceto) di sana.
Sebelum mendaki, kami bermalam di Basecampnya Lawu Barokah. Keesokan paginya, kami memulai pendakian pukul 07:00 wib.
Sesampainya di Basecamp Simaksi, kami diberi peta pendakian gunung Lawu via Candi Cetho. Selain itu, kami diberi arahan sama Bapaknya, ketika sampai di Pasar Dieng, kami harus lewat ke pertengahan antara 2 Gapura disana, lalu mengikuti jalan yang ada, dan nantinya akan bertemu pohon besar, tapi rindang.Â
Kami harus berjalan setengah lingkaran di pohon tersebut, dan setelah melewati pohonnya, kami harus menengok ke belakang dengan tujuan agar tahu jalan pulang.
Singkat cerita, kami sampai di Pos 1, kami beristirahat dan menyulut beberapa batang rokok disana. Â Setelah badan terasa segar kembali, kami melanjutkan perjalanan.
Nah, setelah melewati Pos 1 ini, mulai ada yang terasa janggal. Pasalnya, saya mendengar suara alat musik jawa (Gamelan) yang sangat merdu.
Saya tidak memberitahu teman-teman saya karena mungkin suara itu berasal dari perumahan warga yang tengah mengadakan pesta pernikahan, karena posisi kita masih di Pos 1, yang mana masih belum terlalu jauh dari perumahan warga setempat.
Setelah sampai di pos 2, kami kembali beristirahat dan merebus air untuk menyeduh beberapa bungkus susu kental manis. Dan ketika kami beristirahat, suara gamelan itu menghilang.
Setelah berlama-lama di Pos 2, kami melanjutkan perjalanan. Tetapi saya dan Ilham, jalan belakangan karena beban kami yang 'lumayan' berat, jadi langkah kami berdua agak lambat.
Nah ketika saya tengah melanjutkan perjalanan dari Pos 2, suara dangdut itu kembali terdengar dengan sangat merdu.
Disana saya mencoba memberi tahu Ilham. Dan benar saja, setelah melewati Pos 1 tadi, dia merasakan hal yang sama seperti saya. Sampai di pertengahan antara pos 2 dan pos 3, kabut tebal mulai turun disertai gemericik hujan yang membasahi gunung Lawu itu.Â
Disana, kami berdua berhenti dan membuka jas hujan yang telah kami persiapkan sebelumnya. Semakin lama, hujan semakin deras dan kami tetap melangkah dengan jalur yang licin dan ditemani oleh merdunya suara gamelan tersebut.
Sebelum sampai ke Pos 3, kami menemukan sumber air dan kami menyempatkan meminum beberapa tegukan air disana, dan nggak jauh dari sumber air, nampak Pos 3 yang kelihatan samar-samar diselimuti kabut.
Sampai di Pos 3, kami disambut oleh teman-teman yang sudah menunggu kami. Dan kembali, kami menyulut beberapa batang rokok disana. Karena hari semakin siang, kami semua memaksakan menembus dinginnya suhu di gunung Lawu dengan jas hujan yang agak robek karena kena ranting pepohonan.
Sesampainya di Pos 4, kami cuma beristirahat sebentar dan 4 teman saya tadi, saya persilahkan untuk jalan duluan. Sedangkan saya dan Ilham, tetap berada di barisan belakang.
Di tengah perjalanan, hujan pun berhenti. Tetapi kami tidak membuka jas hujan dengan alasan takut hujan kembali mengguyur. Perjalanan dari Pos 4 ke Pos 5 ini, kami berdua disuguhi pemandangan padang sabana yang membentang luas.Â
Dan disana pula, terdapat 2 jalur yang membingungkan saya. Disana, saya putuskan untuk beristirahat di pinggir jalur dengan harapan ada pendaki lain yang turun atau naik, sehingga kami bisa bertanya kepada mereka.
30 menit berlalu, tidak ada satu pun pendaki yang naik ataupun turun. Saya kebingungan karena hari mulai gelap. Dan disaat itu juga, datang 1 ekor Jalak Gading yang memandangi saya dengan pandangan yang cukup tajam.
Menurut artikel yang saya baca sebelumnya, kalau didatangi Burung Jalak Gading, kita tidak boleh mengganggunya. Dan menurut mitos yang beredar, Burung itu adalah jelmaan Kyai Jalak yang bertugas menjaga Gunung Lawu. Dan disaat itu juga, Burung Jalak tersebut mulai berjalan, diikuti langkah kaki kami yang pelan-pelan dibelakangnya.
'Dia' menuntun jalan kami, dan yang dilalui adalah jalur yang kanan.
Tidak berapa lama, Burung Jalak itu pergi dan bertengger di ranting pohon dipinggir jalur. Nampak Pos 5 di hadapan saya dan terdapat 1 tenda yang tenga berdiri disana. Kami berdua mengucapkan terima kasih kepada Burung Jalak tadi menggunakan bahasa Jawa 'Matur Suwun', dan kami beristirahat di Pos 5 beberapa menit. Anehnya, suara gamelan tadi masih jelas terdengar di gendang telinga.
Beberapa menit berselang, kami berdua melanjutkan perjalanan karena Camping Area sudah menanti di depan. Dan setelah menempuh perjalanan selama 1 jam 30 menit, kami berdua sampai di Gupak Menjangan (Camp Area), dan 2 tenda telah berdiri di dekat genangan air disana. Rupanya itu adalah 4 teman kami yang telah sampai lebih dulu.
Di Gupak Menjangan, suara gamelan itu masih terdengar cukup jelas dan saya hanya menghiraukannya dan bersiap untuk memasak beberapa potong makanan.
Malam tiba, tepat pada jam 10:00, saya dan Ilham yang masih terjaga karena sedang menggoreng kentang, tiba-tiba mendengar suara aneh. Suara itu sangat jelas terdengar, tetapi saya tidak tahu itu suara apa, karena baru mendengar suara seperti itu untuk pertama kalinya. Kami hanya berdo'a kepada Allah SWT supaya tidak terjadi apa-apa. Setelah 30 menit, suara itu pun menghilang entah kemana. Saya dan Ilham lalu bersiap untuk tidur dan melanjutkan perjalanan di pagi buta besok.
Tepat jam 02:30, saya dibangunkan oleh suara alarm yang sudah di atur sebelumnya. Dan saya membangunkan teman-teman yang lain untuk bersiap melanjutkan perjalanan ke puncak Hargo Dumilah.
Setelah semua siap, dengan berbekal headlamp masing-masing, kami mulai menembus dinginnya suhu dan gelapnya malam di Gunung Lawu.
Singkat cerita, sampailah kami di Pasar Dieng. Saya dan Ilham mencoba mencari dimana gapura itu berada. Dan setelah menemukan gapura yang dimaksud, kami semua mulai melewati pertengahan Gapura tersebut. Tetapi, kami tidak menemukan pohon yang dimaksud Bapak di pos Simaksi. Jadi kami hanya mengikuti jalur dan petunjuk yang ada.
Setelah berhasil melewati Pasar Dieng, kami tiba di Puncak Hargo Dalem. Dan disana, kami sempat tersasar ke tempat Ritual. Di Hargo Dalem, Ipung berbisik kepada saya bahwa dia merasakan hawa yang hangat ketika melewati Pasar Dieng tadi.
Tidak berselang lama, kami melanjutkan perjalanan menuju titik tertinggi Gunung Lawu, yakni Puncak Hargo Dumilah yang memiliki ketinggian 3.265 MDPL.
Alhamdulillah tidak terjadi apa-apa. Dan mentari menyambut kedatangan kami di Puncak Hargo Dumilah.
Setelah puas foto-foto, kami turun dan singgah di Warung Tertinggi di Pulau Jawa, yakni Warungnya Mbok Yem. Dari dalam Warung Mbok Yem, kami melihat hamparan awan yang begitu indah.
Setelah makan dan ngobrol disana, kami bersiap turun ke Camp Area dan membereskan tenda untuk bersiap turun ke Basecamp. Di perjalanan turun, kami tidak menemukan kejanggalan apapun, kecuali banyak tertawa karena Ipung beberapa kali kerap terjatuh diatas kubangan lumpur yang cukup kotor.
Sampailah kami di Base Camp Lawu Barokah. Kembali kami bermalam disana. Dan keesokan pagi nya, kami kembali diantar oleh Bpk. Sutarjo (Relawan Ceto atau Kakak dari Bpk. Sugeng)
Di mobil, kami bercerita kepada beliau tentang apa yang kami alami selama pendakian. Dan beliau hanya tertawa, karena memang setiap pendaki biasanya akan diiringi suara seperti itu ketika melewati Pos 1. Dan Bpk. Sutarjo juga bercerita bahwa di Pos 2 dan di Sumber Air sebelum pos 3, disana ada sosok wanita cantik yang memakai seragam SMA dan umurnya sudah beratus-ratus tahun. Bpk. Sutarjo sendiri pernah bertemu 'dia' di Sumber Air sebelum Pos 3, dan ketika bertemu dengan Bpk. Sutarjo, 'dia' sedang mencuci baju.
Setelah bercerita panjang lebar, sampailah kami di tempat pemberhentian bus. Dan tidak lama, bus yang kami tunggu datang dan kami mulai naik. Setelah itu, kami tidak sadarkan diri karena terlalu capek sehingga tertidur pulas di dalam bus. (tamat)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H