Seberapa kuat mental manusia menanggungbebani masalah? Kalau memang manusia bermental tangguh, kenapa tak sedikut ditemukan kasus bunuh diri?
Ya, berbagai pertanyaan itu relevan diajukan sampai kapanpun. Terlebih di eranya Generasi Zilenial (Gen Z) yang diterpa isu miring berkaitan kondisi mental health-nya yang lebih rentan dibanding generasi sebelumnya.
Fenomena bunuh diri memang bukan hal baru. Kadang ia menyedot perhatian publik ketika dikaitkan kasus yang menimpa para pesohor, atau sebaliknya, keluarga miskin yang memilih bunuh diri kolektif karena merasa tak sanggup menangguh himpitan ekonomi, dan sejenisnya.
Ketika komedian yang pernah didaulat sebagai "Pria paling lucu di Amerika", Robin William ditemukan tewas bunuh diri pada 2014, atau Kurt Cobain yang juga bunuh diri di 1994 di tengah popularitasnya yang memuncak, publik mungkin berpikir, can money buy happiness?
Tetapi di belahan bumi lain, ditemukan satu keluarga di Brebes, di Bandung, yang nekat bunuh diri bareng karena himpitan ekonomi yang luar biasa. Dalam kasus semacam ini, biasanya sebagian orang akan berkata, ke mana negara, ke mana tetangganya, dan sebagainya.
Ya, bunuh diri mungkin menjadi kasus yang kompleks. Menjadi lebih rumit, karena angkanya juga tak kecil.
PBB mencatat, dalam setiap 40 detik ada satu orang yang bunuh diri di dunia. Pun bunuh diri tak hanya populer di masyarakat Barat, belakangan juga meningkat risikonya di Asia Timur, terutama Korea Selatan.
I Baca juga: Tetap Berdaya di Usia Senja
Dalam khasanah Sosiologi, bunuh diri bukanlah cerita kasuistik, melainkan sebuah fenomena dan fakta sosial yang bisa dianalisis polanya secara imiah.
Emile Durkheim misalnya, menemukan fakta menarik dari fenomena bunuh diri yang banyak ditemui di Eropa Barat di masa revolusi industri sekitar abad 19. Bahwa kasus bunuh diri ternyata lebih banyak dijumpai pada penganut Protestan ketimbang Katolik.
Penyebabnya, ternyata di kalangan penganut Katolik mekanisme solidaritas sosial masih lebih terawat dibanding umat Protestan yang lebih individualis, dan disebut Weber telah melahirkan Kapitalisme lewat apa yang disebutnya Protestan Ethic pada Sekte Calvinis. Â
Menariknya, agama memandang bunuh diri sebagai sebuah dosa besar. Tidak hanya di Islam, melainkan juga Katolik. Dalam pandangan Islam, bunuh diri menjadi terlarang karena konsep berputus harapan (hopeless) memang tidak diperkenankan.
Bagi yang pernah nonton film Kingdom of Heaven (2005) besutan Redley Scott, doktrin keras Katolik soal bunuh diri ini bisa sedikit tergambaran di awal scene. Meskipun, belakangan Gereja Katolik mencoba sedikit melonggarkan doktrin ini.
Sementara itu dalam pandangan Islam, Tuhan melarang keras hamba-Nya untuk berputus asa dari rahmat-Nya yang sedemikian luas. Seperti termaktub dalam QS. Az-Zumar ayat 55, Allah bahkan secara khusus me-mention para pendosa, orang-orang zalim yang kesalahannya telah melampaui batas, agar tak pernah berputus harapan dari rahmat-Nya.
Karena terkadang, kesalahan yang teramat banyak membuat pelakunya insecure, minder, baik untuk Kembali ke jalan yang benar (taubat) ataupun menormalisasi kehidupannya di masyarakat.
Sementara di ayat pamungkas Al-Baqarah, Allah menegaskan bahwa masalah yang dikirimkan untuk manusia itu sejatinya sepaket dengan kesanggupannya menkalukkan masalah.
Bunuh diri itu semisal mendahului takdir. Justru karena manusia tak pernah tahu kapan kematian akan menjemputnya. Ya, takdir adalah misteri, tak ada manusia yang benar-benar bisa memastikan seperti apa nasibnya esok hari.
Maka jalan paling logis dus realistis untuk menghadapi takdir adalah dengan bersikap optimis untuk menjemput takdir kita. Berpikir positif atas diri dan masalah yang membelitnya. Di kalangan Amerika, pandangan ini mendominasi era 1950 an sampai 1980 an, dalam apa yang dipopulerkan kaum Fungsionalisme Struktural sebagai Self Fulfilling Prophecy: ramalan yang mewujudkan kenyataan.
Sederhananya, You are what you think. Dan 14 abad sebelumnya, Allah melalui hadis qudsi telah menyatakan hal ini:
"Sesungguhnya Aku (Allah) sesuai persangkaan hamba-Ku..." (HR. Muttafaqun alaih). (*)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI